Seni tradisi menjadi salah satu cara merawat peninggalan leluhur agar tetap bernapas dalam deru kehidupan modern. Ia menjelma dalam berbagai liku hidup. Tari, musik, pakaian, seni rupa, hingga kuliner. Mengenalnya menjadi salah satu cara untuk belajar menjadi Indonesia.

“Ceritakan padaku, apa yang harus kuketahui tentang Indonesia”. Permintaan ini terlontar dari seorang perempuan berusia 33 tahun yang sehari-hari mengurusi berbagai ajang internasional tingkat dunia. Tempat bekerjanya selalu berpindah, dari satu negara ke negara lain.

Lebih dari 20 negara sudah ia jelajahi. Pekerjaannya pun membawanya bertemu orang dari berbagai ras. Pada saat itulah ia menyadari, hingga 33 tahun hidupnya, ia tak banyak tahu tentang negerinya sendiri.

“Ujung-ujungnya saya selalu ke Google tiap ada yang tanya-tanya. Misalnya, tempat berlibur selain ke Bali. Budaya atau festival budaya yang menarik di Indonesia ada apa aja, gimana sejarahnya, macam-macam pertanyaannya. Kadang, pertanyaan mereka atau cerita teman-teman setelah mereka datang ke Indonesia, membuat saya jadi malu sendiri,” terang Ratih, yang kini tengah berada di Spanyol.

Ratih tidak sendiri. Seumur hidup tinggal di kota besar membuatnya jauh dari segala sesuatu yang bersifat tradisi, asli Indonesia. Derap pembangunan yang cepat dan membawa berbagai informasi dari luar kian mudah diserap. Sayangnya membuat generasi muda juga cepat melupakan berbagai hal asli Indonesia.

Tidak sedikit yang lupa, sejatinya Indonesia ibarat mozaik peradaban manusia yang menampilkan berbagai budaya dari suku bangsa dan ras yang berbeda. Indonesia yang multikultural, multiras, dan multiagama, sejatinya bukan hal baru, tetapi menjadi akar peradaban. Belajar tentang Indonesia bisa lewat banyak cara. Bukan hanya dari museum, buku pelajaran atau keluarga inti, tetapi juga lewat seni tari.

Pintu budaya

Tari dalam dunia anak-anak merupakan salah satu kegiatan fisik yang menyenangkan sekaligus edukatif. Bagi penggiat seni seperti Vita Valeska, menari menjadi wadah untuk memberi paparan tentang kehidupan pada anak-anak asuhnya. Di sanggar tari miliknya, Sanggita Kencana Budaya, ia tak hanya sekadar mengajar tari, tetapi juga mengajak anak didiknya menyelami seni dan kehidupannya lebih jauh.

“Dari dulu saya selalu bertanya, bagaimana caranya anak-anak Indonesia mau tahu tentang tarian Indonesia dan akhirnya belajar tariannya. Awalnya belajar tari modern, enggak apa apa. Tapi pelan-pelan dikenalkan dengan tari daerah yang langgam musiknya diatonis dan seterusnya. Ini semua proses, semua ada tahapannya. Di sini anak-anak tidak hanya belajar menari, tetapi juga wajib tahu asal usul tarian yang sedang dipelajari,” terang Vita.

Contohnya, tari Lenggang Nyai asal Betawi. Saat mempelajarinya, anak-anak akan diminta membuat tulisan singkat tentang daerah tarian itu berasal. Mulai dari makanan khasnya, budayanya, festival adat yang biasa digelar, dan seterusnya. Mengetahui karakter budaya akan menegaskan karakter tari dan gerakan yang sedang dipelajari.

Bukan hanya dengan menggali informasi lewat internet dan buku, anak-anak juga diajak berkenalan lebih jauh dengan menyambangi langsung daerah-daerah di Indonesia. Sejak 2010, seniman tari ini menggagas program khusus bernama Pentas Liburan Belajar Budaya (PLBB). Selalu diadakan saat periode libur sekolah, anak-anak diajak berlibur sambil belajar budaya.

Perjalanan ke Cirebon, Jawa Barat, pada 2010, menjadi kesempatan perdana bagi anak-anak menari langsung di sebuah desa. Anak-anak pun mendapat pengalaman berbeda dengan menginap di rumah penduduk desa. Selama berada di Desa Jatisura, Cirebon, anak-anak juga membuat workshop tari untuk anak-anak desa, kemudian tampil bersama.

1107-Langgam-Tari-4-min
1107-Langgam-Tari-3-min
1107-Langgam-Tari-2-min
1107-Langgam-Tari-1-min
1107-Langgam-Tari-6-min

Mereka juga melihat cara pembuatan genteng dan keramik, belajar membatik, berjalan-jalan di sekitar Kota Cirebon menuju keraton dan menelusuri museum. Tidak ketinggalan, mencicip berbagai makanan tradisional setempat.

“Namanya juga anak-anak, kadang mereka suka ragu kan disuruh nyobain makanan yang belum pernah dimakan, tapi ya selama PLBB ini, mereka mau gak mau mesti mau makan,” cerita Vita. Mau tak mau, anak-anak juga belajar beradaptasi dengan budaya lingkungan setempat, kehidupan desa, belajar disiplin waktu, hingga mengasah perilaku yang baik.

Kesuksesan perjalanan ini tidak hanya membuat anak-anak didik ketagihan, tetapi juga orangtua mereka yang turut mendampingi. Selanjutnya, PLBB diselenggarakan setiap setahun sekali. Pada 2011, mereka berjalan-jalan ke Bandung, 2012 menuju Lombok, 2013 menyusuri Yogyakarta, 2014 ke Bali, 2015 keliling Padang, 2016 jalan-jalan ke Banjarmasin, dan tahun ini ke Makassar.

Sejak 2012, PLBB dibuat sebagai periode menyambut Hari Ibu yang jatuh pada Desember. Perjalanan ke setiap daerah pun selalu diiringi cerita-cerita legenda rakyat setempat dan diperkenalkan dengan tarian khasnya. “Suka atau tidak suka, harus tahu,” tegas Vita yang juga sudah membawa anak-anak sanggar pentas di mancanegara.

Dalam setiap perjalanan ini, Vita pun mengajak anak-anak pentas di mana saja. “Yang penting kita berekspresi. Di laut, sungai, tepi jalan, restoran, hotel, di mana saja di mana ada kesempatan. Biasanya kita bekerja sama dengan orang-orang lokal juga, baik yang seniman maupun bukan seniman.”

Belajar tari, menurutnya, memberi wawasan budaya yang lebih luas. Banyak tarian tradisi Indonesia pun memperlihatkan kekayaan akulturasi ragam budaya dan keanekaragamannya. Tari Bima, misalnya, yang kostumnya kental dengan sentuhan khas India. Tarian Betawi, cengkok musiknya akan mengingatkan pada langgam khas Tiongkok.

“Saya ingin anak-anak tahu tentang Indonesia. Ke mana pun ia berada, tetap menjaga ke-Indonesia-annya. Dari hal simpel seperti keliling Indonesia, membuat mereka menjadi Indonesia. Minimal, kalau nanti mereka hidup di negara lain, mereka bisa bercerita tentang Indonesia. Dari mana mereka mengenal Indonesia, ya dari tari,” ujar Vita menutup pembicaraan. [MI RANI ADITYASARI]

 

Foto-foto dokumen Sanggita Kencana Budaya

Artikel ini terbir di Harian Kompas edisi 10 Juli 2017