Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau. Pepatah klasik ini tak pernah kehilangan makna di setiap zaman. Di era digital, pikiran seperti ini kian sulit dibendung. Kehadiran media sosial membuka pintu lebar-lebar untuk menyelami kehidupan orang lain, yang tidak kita kenal sekalipun, hingga ke bagian paling personal. Mengagumi, wajar. Menginspirasi, sebaiknya begitu. Namun, bagaimana jika yang muncul justru kecemasan?

Cemas karena tidak mampu mengalami yang dirasakan orang lain. Cemas, ketika mengetahui teman-teman atau keluarga tengah berlibur ke tempat-tempat menarik yang tengah jadi buah bibir. Cemas, ketika predikat kudet alias kurang update disematkan pada diri.

“Pada dasarnya saya memang enggak betah seharian di rumah. Apalagi saat weekend. Weekend, cuma di rumah, pas lihat sosmed orang-orang lagi pada punya kesibukan, ya, saya sering merasa bete sendiri,” aku Erickson (30).

Di era digital, kecemasan semacam ini punya istilah tersendiri. Fear of missing out (FoMO), namanya. Pada 2013, istilah ini telah dimasukkan di kamus Oxford English Dictionary yang semakin mengukuhkan eksistensi fenomena FoMO. Oxford menjelaskannya sebagai sebuah kekhawatiran yang dimiliki seseorang karena kehilangan sesuatu atau tidak merasakan (sesuatu) secara langsung.

Mereka yang mengalami FoMo merasa takut ketinggalan berita terbaru, gelisah bila tidak terhubung atau mengikuti tren di dunia maya. “FoMO pada intinya adalah social anxiety. Ada ketakutan bahwa orang itu akan ketinggalan sesuatu. FoMO erat kaitannya dengan teknologi, media sosial. Karena dari media sosial, kan, bisa melihat si A atau B lagi nongkrong di luar negeri atau di tempat-tempat yang keren. Sementara, kok, gue enggak, ya,” tukas psikolog sosial Ade Banani.

Kenali diri

Lantas, bagaimana kita tahu bahwa diri kita atau orang-orang terdekat kita telah terjangkit FoMO? “Gejala yang paling sering ditemui, misalnya kita ajak teman untuk bertemu di suatu tempat. Alih-alih langsung memberi tahu bisa atau tidak di tempat dan waktu yang sudah ditentukan, ia mengulur waktu hingga detik-detik terakhir. Kenapa? Karena dia akan cari opsi lain yang lebih menarik. Yang lebih instagrammable, lebih menjual di tampilan media sosialnya,” Ade memberi contoh.

Saat ini, kata Ade, juga ada beberapa remaja yang setiap beberapa bulan marah-marah dengan orangtuanya karena tidak pernah berlibur dan jalan-jalan. Akibatnya isi feed akun Instagram-nya itu-itu saja. Atau, mungkin Anda pernah melihat pengunjung yang datang membawa fotografer lalu mengambil foto di berbagai spot menarik di sebuah kafe? Mereka bisa menghabiskan waktu lama hanya untuk mendapatkan bidikan terbaik di satu spot.

Dan yang paling ekstrem, tipe pengunjung ini juga sedia membawa baju ganti untuk mendapatkan hasil foto terbaik. Mereka foto model? Bukan. Foto-foto ini nantinya diunggah di akun media sosial pribadi mereka.

Mereka yang mengalami FoMO cenderung tak bisa lepas dari ponsel dan menelusuri newsfeed media sosial. Meski tengah berada di tempat lain dan bersama teman-temannya pun, tetap merasa “wajib” untuk mengetahui apa yang terjadi di “luar” sana.

“Pada dasarnya, semua itu ada di diri. Intinya pengendalian diri,” terang Ade. Setiap orang sebaiknya tahu apa yang dia mau. Paham dengan segala potensi dan tujuan yang dicari serta mengerti cara mengarahkannya. Orang-orang semacam ini biasanya tidak mudah terganggu.

“Yang kena FoMO biasanya yang belum tahu. Makanya biasa terjadi pada dewasa muda, walau tidak tertutup kemungkinan juga menjangkiti orang-orang yang hitungannya sudah berumur. Tapi pada dasarnya, selama kita mengenal diri kita sendiri, pasti lebih stabil,” kata Ade.

Yang membuat FoMO perlu diwaspadai, jika rasa cemas dibiarkan terus-menerus, dapat mengarah pada kecemasan berlebih dan obsesif, yang mengganggu kesehatan jiwa seperti depresi.

Sejak dulu, perasaan ditinggalkan ibarat minyak yang akan semakin membuat perasaan rendah diri dan depresi menjadi-jadi. Namun gara-gara media sosial, semakin mungkin orang yang telah merasa rendah diri, menghitung berapa kali mereka tidak ada di dalam “daftar undangan”.

“Ini kan (masa) transisi dari tidak ada media sosial sampai akhirnya media sosial kini jadi fenomenal. Banyak orang yang belum paham cara menggunakan media sosial. Karena yang tadinya cuma pakai telepon koin, begitu yang ditampilkan adalah hal-hal yang indah, bahagia, kita lupa bahwa pada akhirnya orang tersebut hanya manusia biasa,” ungkap Ade.

Kendati demikan, Ade mengingatkan, bukan berarti media sosial benar-benar negatif. Media sosial mampu memberi banyak hal positif, mulai dari membuka jejaring sosial yang lebih luas, menjadi media berekspresi, hingga sebagai media bisnis.

Namun, sejatinya media sosial hanya menampilkan sisi-sisi kehidupan yang telah disortir, diedit dengan fitur khusus yang membut tampilan foto semakin indah, dan amat mungkin telah diberi tambahan bumbu-bumbu penyedap. Ya, rumput tetangga akan selalu tampak lebih hijau. Namun, jangan lupa, mereka juga manusia. [ADT]

 5 Cara Melawan FoMO

Psikolog sosial Ade Banani memberikan beberapa saran agar FoMO tidak menghantui.

  1. Menggunakan media sosial dengan penuh kesadaran bahwa yang orang tampilkan di dunia maya hanyalan bagian indah dari hidup mereka, bukan sisi sebaliknya.
  2. Menyadari bahwa kita tidak bisa mendapatkan semua yang kita mau. “You can’t have it all, you don’t have to have it all,” ujar Ade.
  3. Mengasah kemampuan memilah kebutuhan dan keinginan.
  4. Memahami kelebihan dan kekurangan diri agar tahu cara untuk mengasah diri.
  5. Berani berkata tidak dan fokus pada peluang-peluang yang mampu mengembangkan diri.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 8 November 2017