Oleh Alfin Reza Syahputra, Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian

Industri pariwisata Indonesia, khususnya yang menyuguhkan pertunjukan musik, terbilang cukup maju untuk kawasan Asia Tenggara. Bersaing dengan Singapura dan Malaysia.

Pada tur dunia Coldplay bertajuk “Coldplay Music of the Spheres World Tour 2023” yang digelar di Asia, Amerika, dan Eropa, hanya tiga negara di Asia Tenggara yang mendapatkan kesempatan ini. Salah satunya, Indonesia. Di kawasan Asia, Indonesia dapat disejajarkan dengan Jepang yang juga mendapat jatah menghelat konser band legendaris asal Inggris tersebut.

Alfin Reza Syahputra

Pertunjukan musik, baik festival maupun konser, mampu mendorong siklus ekonomi menggeliat secara makro dan mikro. Seperti konser Coldplay yang menggetarkan Ibu Kota, pertengahan November lalu, diproyeksikan mampu memutarkan ekonomi hingga 75 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,17 triliun menurut Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Perputaran ini berasal dari tiket, transportasi, wisatawan mancanegara, hotel, UMKM, produksi, dan sebagainya.

Di Singapura, Coldplay yang naik panggung selama 6 hari, disebut Bloomberg dan Straitstimes, membuat GDP Singapura tumbuh di luar perkiraan serta mampu menghindari resesi teknikal. Pertunjukan musik kelas internasional nyatanya mampu memberikan dampak ekonomi yang besar terhadap suatu negara. Pertunjukan musik bisa dikelompokkan menjadi festival dan konser.

Konser musik dapat diartikan hanya artis tertentu saja yang tampil atau disebut headlining show. Jika ada penampil lain, penampil tersebut akan disebut opening act atau supporting act. Berbeda dengan festival yang menawarkan banyak pilihan artis pada satu acara, dan biasanya menghadirkan lebih dari satu panggung. 

Dua sisi mata uang

Namun, di samping potensinya membawa pertumbuhan ekonomi, industri musik memiliki sisi lain, ibarat dua sisi mata uang. Sebelum pandemi Covid-19, gaung pertunjukan musik tidak seperti saat ini.

Usai pandemi yang membatasi berbagai aktivitas manusia, pertunjukan musik menjadi ajang revenge tourism (wisata balas dendam) berbagai kalangan. Bahkan, pertunjukan musik saat ini sudah beralih menjadi gaya hidup yang mengarah pada elitisme, konsumtivisme, maupun hedonisme melalui flexing (pamer kemewahan).

Industri ini pun menunjukkan sisi gelapnya selain dampak positifnya. Penipuan dengan bermodus penjualan tiket sangat sering terjadi. Terbaru, penipuan tiket konser Coldplay dengan kerugian mencapai Rp 5,1 miliar.

Selain penipuan, ketidaksiapan dan ketidakmampuan untuk menyelenggarakan konser juga acap terjadi. Festival musik “Berdendang Bergoyang” yang diselenggarakan di Istora Senayan dan Parkir Selatan GBK pada 28–30 Oktober 2022, terpaksa dihentikan oleh kepolisian karena ricuh dan penonton melebihi kapasitas. Sejumlah penonton pun dilaporkan luka-luka dan pingsan.

Menurut catatan kepolisian, penyelenggara mengajukan izin untuk menghelat acara musik tersebut dengan jumlah penonton 3 ribu orang. Faktanya, panitia menjual tiket lebih dari 27 ribu tiket. Akibatnya, konser tidak dilanjutkan dan izin dicabut. 

Denda dan hukuman calo

Melansir Time, salah satu profesor dari University of Tasmania, Can Seng Ooi, mengatakan, Singapura memiliki popularitas di kalangan artis internasional. Menurut Can, ini karena Pemerintah Singapura proaktif berkolaborasi dengan artis dan penyelenggara konser. Singapura mampu memastikan keamanan, memiliki aturan ketat terhadap percaloan, hingga infrastruktur yang saling tersambung.

Taiwan juga serupa. Para calo diancam hukuman penjara selama 3 tahun dan membayar denda hingga 10–50 kali harga tiket. Otoritas Taiwan bekerja sama dengan kepolisian untuk membasmi calo. Bahkan masyarakat mendapat hadiah hingga 100 ribu dollar baru Taiwan atau setara Rp 48 juta, atau 20 persen dari jumlah denda pelaku.

Di Australia, pemerintahnya melarang penjualan kembali tiket dengan harga 10 persen lebih tinggi dari harga normal. Jika kedapatan melanggar aturan ini, bisa didenda sebesar 908–545.220 dollar Australia.

Sementara di Brasil, anggota dewan bernama Simone Marquetto mengusulkan pemberatan hukuman terhadap calo hingga empat tahun penjara. Dalam kebijakan yang sudah berlaku, calo bisa dihukum dua tahun penjara saat tertangkap basah menjual ulang tiket dengan harga jauh di atas rata-rata. Namun, Marquetto merasa hukuman itu kurang setelah melihat dinamika terbaru. 

Pekerjaan rumah

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Beberapa agenda internasional berhasil diselenggarakan dengan catatan yang cukup baik. Termasuk pada penyelenggaraan pertunjukan musik, seperti branding yang tersemat pada DWP (Djakarta Warehouse Project) sebagai salah satu festival musik EDM terbesar di Asia.

Namun, tak dapat dimungkiri, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Untuk membangunnya membutuhkan ekosistem yang solid. Mulai dari kebijakan yang mendukung industri pariwisata terlebih festival maupun konser musik.

Salah satu kebijakan yang sangat baik dengan mempermudah perizinan. Hal ini sudah dilakukan oleh pemerintah hingga kepolisian. Namun, apakah ini sudah cukup? Banyak aspek yang harus disinergikan dan diharmonisasi. Menjadi pekerjaan rumah bagi Kemenparekraf juga seluruh pemangku kepentingan, swasta, maupun setiap pihak pada ekosistem industri pariwisata pertunjukan musik.

Belajar dari beberapa contoh kasus, antara lain fanbase yang tidak dapat diatur; euforia yang mengarah anarkis; percaloan tiket; ketidakmampuan mengelola kerumunan; penonton melebihi kapasitas; lokasi yang tidak didukung fasilitas memadai; hingga kebijakan yang tidak berkesinambungan menjadi pekerjaan rumah yang harus kita pelajari dan selesaikan.

Pemerintah diharapkan mampu mengelola dan membentuk ekosistem yang dapat menunjang terselenggaranya pertunjukan musik dengan skala penonton terkecil hingga sangat besar; skala lokal hingga internasional; dengan kerawanan rendah hingga sangat rawan tapi tetap dapat diselenggarakan secara aman, nyaman, tertib, dan sehat.

Di samping itu, harus didorong agar promotor dan pengelola acara (event organizer) memiliki kompetensi atau sertifikasi. Vendor dan kontraktor juga perlu memenuhi syarat kualifikasi dan menyerahkan perhitungan manajemen risiko. Termasuk, pengatur kerumunan dan keamanan swasta perlu memiliki kualifikasi dan sertifikasi.

Pada intinya, seluruh elemen yang terlibat dalam suatu pagelaran musik harus melalui pelatihan maupun sertifikasi untuk menunjukkan kompetensi dan profesionalitas mereka dalam industri ini.

Dari sisi penonton juga harus berbenah, misalnya menolak membeli tiket pada calo atau jalur tidak resmi. Membeli berarti melanggengkan praktik percaloan. Praktik percaloan masih terjadi karena adanya permintaan (demand) atau pasar. Dengan tidak membeli tiket dari calo berarti akan merusak pasar calo, mengurangi demand sehingga suplai ke calo akan berkurang dan persaingan (war) tiket menjadi lebih masuk akal.

Citra positif Indonesia pada industri pariwisata di bidang musik, sangat bergantung pada harmonisasi seluruh elemen untuk merawat potensi besar ini.

 

Baca juga:

“Prompt Writer”, Profesi Baru Terkait AI