Cita-cita awalnya adalah menjadi dosen. Namun, cita-cita itu disembunyikan sejenak ke dalam laci impian dan kini dia adalah menjalani profesinya sebagai periset. Sejak menjalani kuliah sarjana, Muhamad Heychael (27) merasa tidak akan cocok kerja di industri karena tidak akan bisa menjadi tuan atas diri sendiri. Sekarang, dia adalah koordinator penelitian untuk LSM Remotivi, lembaga independen yang memantau kinerja dan kerja pertelevisian di Indonesia.
“Passion gue itu diskusi, penelitian, dan aktivisme. Sejak dari sarjana, gue udah akrab sama dunia itu. Tidak pernah terlintas di kepala bakal jadi peneliti di LSM seperti sekarang ini. Kerja di Remotivi juga kebetulan melihat lowongan saat menjadi pascasarjana di Universitas Indonesia,” ujarnya yang sudah bekerja selama tiga tahun di Remotivi.
Ternyata, di tempat tersebut, Heychael menemukan keasyikan sebagai peneliti. Dia diberikan ruang untuk mengeksplorasi ide, serta mengasah kemampuan dan pemikiran dalam melakukan riset. Dia merasa Remotivi malah menjadi sebuah laboratorium untuk bekerja sekaligus belajar. Menurutnya, peneliti itu pembelajar, orang yang pertama menyadari dirinya tidak tahu, kemudian berhasrat untuk tahu. Setelah tahu, dia kemudian ingin tahu lebih banyak lagi.
“Di sinilah asyiknya penelitian, yaitu keasyikan akan penyingkapan dan penemuan. Sepertinya, ini yang menjadi motivasi gue untuk terus berada di jalur ini,” ujar pria dengan paras khas Timur Tengah ini.
Di Remotivi, Heychael menjalankan perannya sebagai periset mulai dari memikirkan ide penelitian yang sesuai untuk menopang kerja advokasi organisasi. Penelitian ini diharapkan terus memproduksi pengetahuan baru mengenai dunia pertelevisian dengan tujuan membuka diskusi publik, misalnya independensi televisi dalam pemilu. Nantinya, hasil riset akan dibawa divisi advokasi dan kampanye untuk dilaporkan ke lembaga terkait seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau Dewan Pers. Ini fungsi pertama peneliti di Remotivi, yaitu “senjata” bagi kerja advokasi.
Fungsi lainnya adalah menjadi sumber pengetahuan baru bagi edukasi publik. Misalnya ada temuan sinetron yang sering kali gagal merepresentasikan profesi asisten rumah tangga (ART).
“Di tengah usaha LSM mengadvokasi kasus kekerasan ART, sinetron justru menjadi ruang peneguhan paradigma dominan yang mengsubordinasi ART. Akhirnya, paradigma yang terbentuk adalah ART itu bukan pekerjaan melainkan pengabdian,” ucapnya. [VTO]