Melemahnya rupiah terhadap dollar AS berimbas pada dunia usaha yang menggunakan bahan baku impor. Contoh paling gampang adalah perajin tahu dan tempe. Mereka merasa amat terpukul karena harga kedelai yang melonjak tinggi. Kedelai menjadi salah satu komoditas impor di negeri ini yang produk olahannya dianggap sebagai makanan rakyat. Ironis.

Pengusaha yang terdampak melemahnya nilai tukar rupiah masih bisa bersiasat agar usahanya tetap menggelinding sehingga terhindar dari pilihan merumahkan karyawan. Langkah awal yang bisa ditempuh adalah mencari bahan baku lokal untuk sementara waktu. Mutu bahan baku lokal mungkin tak setinggi bahan impor, tetapi jika pengusaha secara jujur menjelaskan produknya dan memberikan harga yang pantas, pasar niscaya tetap menyerapnya.

Langkah selanjutnya adalah penghematan pada proses produksi dan distribusi. Sekecil apa pun bentuk penghematan akan amat membantu memperpanjang napas usaha setelah diakumulasikan dengan efisiensi pada proses lainnya. Contohnya kemasan sepatu atau sandal. Jika harga karton untuk membuat kotak kemasannya melonjak, bisa diganti dengan kemasan plastik yang lebih murah, selama masa sulit ini. Tentu, harga jualnya juga harus disesuaikan.

Menurunkan ukuran atau kuantitas produk juga menjadi langkah masuk akal. Misalnya, saat inflasi tinggi, sekaleng biskuit yang dulunya berisi 10 jenis roti dikurangi menjadi delapan jenis. Ini lebih bisa dimaklumi konsumen daripada menurunkan kualitas biskuitnya.

Cara terakhir adalah menaikkan harga. Meski mudah dilakukan, cara pragmatis ini akan memukul daya beli konsumen. Harga sepotong tempe yang naik 200 persen akibat harga kedelai mahal, misalnya, bisa membuat makanan ini tak lagi dilirik.

Yang lebih penting untuk menghadapi krisis ekonomi seperti ini adalah tidak berkecil hati. Sebab, kesulitan sering menciptakan ruang kreasi untuk orang yang mengalaminya. Naluri manusia untuk bertahan hidup, membuat seseorang bisa menjadi kreatif di saat sulit. Dalam dunia bisnis, otak dan otot seorang usahawan akan kian terasah saat diterjang badai moneter. [*/TYS]

foto: shutterstock