Oleh dr Arundhati Nugrahaning Aji SpKJ(K) / Spesialis Kedokteran Jiwa/Konsultan Psikiatri Geriatri (Lansia) RS Jiwa Dr Soeharto Heerdjan Jakarta

Pandemi Covid-19 sudah berlangsung lebih dari satu tahun dan berbagai tatanan kehidupan berubah karenanya. Kenyataan menunjukkan, penyakit ini dapat berdampak fatal bagi lanjut usia (lansia), termasuk membawa populasi rentan ini berisiko jatuh ke jurang kesepian.

dr Arundhati Nugrahaning Aji SpKJ(K)

Lansia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah mereka yang berusia di atas 60 tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kemudian mengembangkan definisi ini sehingga tidak hanya terkait mengenai usia, tetapi juga mengenai adanya peran baru, hilangnya peran ataupun kemampuan dalam berkontribusi terhadap komunitas.

Lansia pada dasarnya memiliki risiko untuk mengalami isolasi sosial dan kesepian. Keterbatasan ini terjadi tidak hanya akibat keterbatasan fisik yang dimiliki lansia (contohnya, penyakit kronis ataupun gangguan pendengaran), tetapi juga karena mengecilnya jaringan sosial lansia itu sendiri misalnya akibat tinggal sebatang kara ataupun kehilangan orang-orang tercinta.

Seorang lansia akan menyaksikan kematian orang-orang di sekitarnya. Ia akan mengalami kehilangan kerabat dan teman-teman yang mungkin meninggal sebelum dirinya. Jika lansia tidak terlibat aktif pada suatu kegiatan atau komunitas, jaringan sosial yang ia miliki akan semakin mengecil.

Kesepian secara sederhana digambarkan sebagai perasaan kesendirian pada diri seseorang. Kesepian juga bisa diartikan perasaan subyektif akan adanya diskrepansi (ketidaksesuaian) antara hubungan sosial yang diinginkan dengan yang dirasakan. Sementara itu, isolasi sosial merupakan kurangnya jaringan sosial.

Kesepian dan isolasi sosial saling berhubungan, yaitu isolasi sosial bisa menyebabkan terjadinya kesepian, tetapi seseorang dapat menganggap diri mereka terisolasi walaupun mereka mungkin tidak merasakan kesepian, begitu juga sebaliknya.

Pandemi Covid 19 menghalangi lansia untuk dapat mempertahankan jaringan sosial yang selama ini telah mereka miliki. Imbauan untuk tetap berada di rumah, mengurangi perjalanan keluar rumah, serta pembatasan berkumpul merupakan cara yang efektif untuk mengurangi penyebaran virus, dan lansia merupakan salah satu populasi yang rentan tertular penyakit ini.

Bayangan akan terjangkit Covid-19 serta dampak fatalnya juga menyebabkan para lansia memilih untuk menghentikan ataupun membatasi aktivitas di luar rumah. Hal ini tentu dapat memberikan konsekuensi yang positif bagi penyebaran penyakit. Namun, di sisi lain, dapat menyebabkan munculnya dampak negatif terhadap relasi sosial mereka. Jaringan sosial lansia yang sudah terbatas berisiko menjadi semakin mengecil.

Studi menyebutkan, lansia yang tinggal bersama keluarga atau kerabat cenderung mengalami kesepian yang lebih rendah daripada mereka yang tinggal sendirian. Lansia yang tinggal mandiri tanpa sanak keluarga, mungkin semakin merasakan kesepian akibat terbatasnya interaksi tatap muka di luar rumah yang selama ini menjadi jalan untuk mengusir kesepian.

Asumsi tersebut tidak berlaku mutlak karena dalam studi yang lain ditemukan bahwa ternyata lansia yang tinggal seorang diri diperkirakan sudah lebih terbiasa dengan kesendirian sehingga mereka lebih mampu beradaptasi dengan situasi itu.

Bantuan teknologi untuk lansia

Tinggal bersama dengan keluarga ataupun kerabat tidak serta merta menyebabkan lansia terhindar dari kesepian. Pandemi menyebabkan manusia berusaha keras untuk mampu beradaptasi terhadap perubahan, termasuk dalam hal pekerjaan dan pendidikan.

Bekerja dan belajar dari rumah seakan menyebabkan generasi kedua dan ketiga lebih banyak menghabiskan waktu mereka di rumah. Namun, hal ini tidak menjamin berkurangnya kemungkinan kesepian yang dialami para lansia.

Bekerja dari rumah sering kali menyebabkan jam kerja menjadi semakin tidak menentu. Belum lagi ketika para orangtua (generasi kedua) dituntut mendampingi anak-anak mereka belajar secara daring. Pada akhirnya, waktu dan tenaga sudah terserap habis untuk menyelesaikan tugas pekerjaan dan pendampingan anak. Secara fisik, rumah lebih diramaikan dengan kehadiran generasi kedua dan ketiga saat jam kerja, tetapi kedekatan secara emosional untuk menepis kesepian lansia belum tentu terjadi.

Penting bagi kita untuk lebih memperhatikan keadaan kesepian dan isolasi sosial pada lansia. Kesepian dan isolasi sosial terbukti secara signifikan meningkatkan kemungkinan terjadinya kematian dini, demensia, penyakit fisik, seperti penyakit jantung dan stroke, gangguan depresi, gangguan cemas, serta risiko terjadinya bunuh diri pada golongan ini.

Bersyukur saat ini kita hidup pada zaman berteknologi tinggi. Teknologi dapat membantu membangun dan mempertahankan jaringan sosial lansia. Adanya media sosial maupun aplikasi komunikasi bisa membantu mereka untuk melakukan interaksi sosial, baik secara personal dengan keluarga maupun interaksi berkelompok dengan komunitas tempat lansia tersebut terlibat.

Lansia juga dapat melakukan interaksi tatap muka melalui platform-platform seluler. Bahkan teknologi juga menjadi media yang bermanfaat bagi mereka dalam mengakses pelayanan kesehatan atau dukungan psikologis dibutuhkan (telemedicine).

Namun, ada hal penting yang harus diingat agar teknologi ini memberikan manfaat sesuai yang diharapkan, yakni lansia memiliki akses ke teknologi-teknologi tersebut serta mampu mengoperasikannya. Tidak adanya akses internet, tidak memiliki gawai, gagap teknologi, maupun hendaya (disfungsi) fisik merupakan faktor-faktor yang menghambat penggunaan teknologi untuk mengatasi kesepian dan isolasi sosial pada lansia.

Kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Namun, pandemi ini sebenarnya tidak sekadar ujian bagi umat manusia, tetapi juga membawa banyak pelajaran berharga. Semoga pandemi ini menyadarkan kita tentang betapa pentingnya membangun dan mempertahankan jaringan sosial. Bebas dari kesepian berarti terjaganya kesehatan fisik maupun kesehatan mental sehingga lansia Indonesia akan memiliki kualitas hidup yang baik.