Inovasi teknologi membuka banyak peluang. Dalam hal perbukuan, inovasi yang antara lain berwujud buku elektronik (e-book) dan buku audio tidak hanya memberikan ruang alternatif untuk “membaca”, tetapi juga bisa lebih memanjakan indera karena pengayaan konten berbentuk grafis maupun suara.

Beragam format digital membuat e-book maupun buku audio semakin dikenal. Lebih-lebih setelah Amazon memperkenalkan Kindle pada tahun 2007. E-book reader berbentuk komputer tablet ini menggunakan layar berteknologi electronic ink (e-ink) yang membuatnya ringan dan nyaman di mata. Kini, Kindle bisa diakses melalui aplikasi Kindle di berbagai platform seperti iOS, Android, dan Windows Desktop.

Di Tanah Air, kita bisa menikmati layanan sejenis antara lain lewat iJakarta. Aplikasi yang diluncurkan bersamaan dengan Hari Buku Nasional (17/5) ini bisa diunduh secara cuma-cuma dan tak butuh merogoh kocek lagi untuk bisa membaca buku-buku di dalamnya. iJakarta menjadi aplikasi perpustakaan digital berbasis media sosial pertama di Tanah Air. Gerakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Ibu Kota.

Kehadiran iJakarta tentu diharapkan bisa mendongkrak budaya membaca. Apalagi beberapa waktu lalu Central Connecticut State University, Amerika Serikat mengumumkan hasil studi deskriptif yang memeringkat literasi (melek huruf) dari 61 negara. Dalam daftar peringkat tersebut Indonesia menempati urutan ke-60.

Sekadar catatan, sebagaimana dilansir Kompas (20/4), menurut standar UNESCO, waktu untuk membaca adalah 4–6 jam sehari. Sementara di Indonesia, waktu membaca hanya 2–4 jam sehari, bandingkan dengan negara maju yang 6–8 jam sehari.

Alokasi waktu menjadi salah satu kendala bagi orang untuk bisa menikmati isi buku. Lebih-lebih yang tinggal atau beraktivitas di kota besar semacam Jakarta. Selain disibukkan tumpukan pekerjaan, perjalanan dari dan menuju kantor saja sudah banyak menyita waktu. Sementara itu, hari libur biasanya dihabiskan bersama keluarga atau beristirahat memulihkan tenaga.

Kendala tersebut bisa disiasati dengan buku audio seperti Audible dari Amazon atau Listeno yang dikembangkan oleh pemuda asal Yogyakarta. Dengannya, siapa pun bisa memanfaatkan “waktu luang”, misalnya saat mengemudi mobil, berada di dalam kendaraan umum, atau saat berolahraga, sambil mendengarkan buku audio.

Selain lewat aplikasi, beberapa situs web menawarkan buku audio yang bisa diunduh secara gratis. Sekadar menyebut contoh Librophile, Ejunto, atau Bookbox yang banyak menawarkan buku audio untuk si buah hati.

Ruang alternatif

Sejatinya, buku—yang menjadi bagian dari kegiatan membaca, menulis, dan belajar—punya banyak hal positif dan kekuatan besar untuk mengubah. Bisa dimaklumi kalau aktivitas membaca acap diserukan, dan tentu akan lebih ideal kalau tersedia ruang untuk membaca.

Di beberapa tempat, kita bisa menemukan ruang tersebut, termasuk toko atau ruang baca indie di luar jaringan toko buku besar. Salah satunya Toko Buku Kecil (Tobucil) and Klabs, yang kini berkembang menjadi tempat komunitas berkumpul.

Seperti diterangkan Manajer Tobucil and Klabs Elin Purwanti, komunitas tersebut terbentuk dari teman-teman nongkrong yang punya hobi sama, membaca. Dari situlah kemudian muncul kelab baca di Tobucil. “Kita pada dasarnya menjual buku. Dan ada komunitas seperti kelab baca, kelab nulis. Terus ke sini ada kelab hobi,” katanya.

Kemajuan teknologi yang membuka kemudahan mengakses internet dan bertualang di media sosial dinilai Elin membuat minat baca di kalangan muda berkurang. Untuk itulah Tobucil yang kini menjadi wadah komunitas untuk berlatih, berbagi, dan berdiskusi berharap bisa mengembalikan minat dan semangat membaca.

“Paling susah itu untuk mengajak orang datang,” pungkas Elin. [ASP]

17

noted: Membaca di Ruang Alternatif