Modernisasi membuat Yogyakarta kian pikuk dan gemerlap sebagai kota wisata. Namun, di beberapa sudut kota, rupa-rupa tradisi dan budaya masih terjaga. Di ranah kuliner misalnya, kue apem masih eksis menjadi bagian ritual adat maupun camilan tradisional yang lezat.

Ngapem akan sering terdengar di bulan Ruwah atau sebulan sebelum Ramadhan. Kata itu menyiratkan kegiatan untuk membuat kue apem. Namun, saat warga hendak menggelar hajatan seperti pernikahan, tradisi ngapem juga biasa dilakukan.

Kue apem telah mengambil bagian dari kesahajaan masyarakat Yogyakarta selama berabad-abad. Menurut sejumlah literatur, kue ini diperkenalkan oleh Ki Ageng Gribig, keturunan Prabu Brawijaya V, yang membawanya dari tanah suci Mekkah pada abad ke-16. Kue apem kemudian dibagikan kepada masyarakat sebagai simbol rasa syukur atas keselamatan dan permohonan maaf atas kesalahannya.

Nama “apem” pun diyakini berasal dari bahasa Arab, yaitu afuum atau affuwun yang berarti ampunan. Ini selaras dengan makna filosofis kue apem sebagai simbol permohonan maaf dan tobat. Dalam tradisi Jawa, penganan ini sering dihidangkan pada acara slametan, khitanan, pernikahan, hingga nyadran (ziarah kubur) sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan doa untuk memohon ampunan atas dosa dan kesalahan.

SHUTTERSTOCK

Ikon Pasar Ngasem

Keunikan kue apem Yogyakarta ada pada teksturnya yang lembut dan rasa manisnya yang pas. Berbeda dengan daerah lain yang biasanya memiliki tekstur padat, kue apem Yogyakarta lebih berserat dan mudah lumer di mulut. Sensasi ini berasal dari tepung beras, kelapa muda, santan, gula pasir, ragi, dan proses fermentasi yang pas.

Bagi pecinta kuliner tradisional, mencicipi kue apem di Pasar Ngasem, Kraton, adalah pengalaman yang tak boleh dilewatkan. Di pasar tradisional ini, terdapat beberapa penjual yang telah melegenda selama bertahun-tahun, salah satunya Apem Beras Bu Wanti.

Apem Beras Bu Wanti telah menjadi ikon kuliner tradisional di Pasar Ngasem. Warungnya telah dibuka sejak tahun 1990-an. Sejak dulu, kue olahan Bu Wanti dikenal lembut, manis, dan gurih. Kekhasan ini bertahan hingga sekarang.

FOTO CM KOMPAS/TYAS ING KALBU

Lidwina (43), warga Umbulharjo, Yogyakarta, yang kini merantau di Swedia, mengaku berkenalan dengan kue apem Pasar Ngasem sejak masih duduk di bangku SMP.

“Seingat saya menjelang lulus SMP tahun 1996, saya diajak bapak jajan apem di Ngasem. Terakhir saya beli di sini sekitar 2 tahun lalu saat saya mudik bersama keluarga. Sekarang saya kenalkan kue ini kepada anak-anak saya,” katanya, awal Juli lalu.

Menikmati kue apem bukan hanya memperkaya pengalaman rasa, tetapi juga membawa kita menyelami sejarah dan tradisi leluhur Jawa. Makanan ringan ini menjadi pengejawantahan nilai-nilai luhur seperti rasa syukur, tobat, pengampunan, dan perilaku belarasa antarmanusia.

Baca juga: Ini Asal Usul Waffle, Kue yang Permukaannya Kotak-kotak