Mengkritik atau dikritik sebenarnya adalah hal yang amat lumrah dalam berkarier. Budaya tersebut menjadi syarat untuk mengalami kemajuan.

Meski mudah diucapkan, tak banyak orang yang berani melontarkan kritik atau dengan legawa menerima kritik, baik staf maupun pimpinan. Yang lebih jelas lagi, hanya ada sedikit orang mampu menyampaikan kritik terhadap pimpinan.

Kita sering berpikir, mengkritik pimpinan ibarat bermain api yang bisa membakar diri sendiri. Sebab itulah sebagian besar karyawan lebih memilih menutup mulut rapat-rapat daripada membuat “perkara” dengan pimpinan.

Hendrie Weisinger, penulis buku The Power of Positive Criticism, mengatakan, tetap ada pimpinan yang dengan ikhlas menerima kritik dari anggotanya. Yang tak disukai oleh pemimpin adalah dipermalukan, terancam, atau diremehkan.

Oleh karena itu, bila staf ingin mengajukan kritik bagi pimpinannya, disarankan agar memikirkan dengan matang materi yang hendak disampaikan dan cara penyampaiannya. Pimpinan adalah orang yang berhubungan langsung dengan staf dalam dinamika pekerjaan. Bukan orang asing.

Weisinger mengingatkan, materi kritik yang diungkapkan kepada pimpinan sebaiknya berhubungan dengan pekerjaan dan mengandung informasi yang penting dan valid. Oleh karena itu, kita harus tahu benar persoalan yang akan dikatakan.

Sejumlah praktisi karier juga mengungkapkan, cara mengkritik pimpinan tak bisa disamaratakan. Anak buah harus melihat sejumlah hal dari sang pemimpin, seperti latar belakang, daerah asal, dan tanggung jawabnya.
Mengingat seorang pimpinan umumnya punya kesibukan yang tinggi, kritik sebaiknya dilontarkan pada saat yang tepat. Kalau perlu, kritik bisa diucapkan dengan melibatkan empat mata saja.

Kalau melihat budaya Barat, kita acap berpikir betapa lincahnya staf dan pimpinan saling melempar kritik. Hal itu dipengaruhi budaya. Di Barat, standar pendidikannya cenderung sama sehingga mereka lebih terbuka mengajukan dan menerima kritik.

Indonesia yang dipengaruhi budaya Timur yang kental, situasinya tidak demikian. Tak semua orang Indonesia memiliki pendidikan yang sama. Akibatnya, ada orang yang terkesan antikritik.
Karena pengaruh budaya itulah, sebaiknya bila kita ingin memberikan kritik pada pimpinan, jangan membuat si bos merasa harga dirinya jatuh. [*/TYS]

foto: shutterstock