Mahkota emas Kerajaan Siak memeram perjalanan panjang bukan hanya tentang kekayaan dan kejayaan kesultanan selama lebih dari 200 tahun, tapi juga tentang pengorbanan bagi Republik Indonesia. Berakar dari bahasa Sanskrit, mahkota ini, yang berhias pola bunga seroja di setiap pucuknya—simbol kuatnya pengaruh Buddha—menjadi saksi bisu dari perjalanan yang penuh liku, usaha yang keras, dan pengalaman yang kadang sangat menantang. Persis seperti proses rumit dalam pembuatannya.

Kesultanan Siak berdiri dalam situasi yang sulit. Secara geopolitis, kesultanan ini dijepit oleh berbagai “raksasa” yang menjadi kekuatan regional, di antaranya Aceh, Melayu-Johor, Portugis, dan disusul oleh kedatangan Inggris serta Belanda yang saling berebut untuk berkuasa total. 

Selat sempit ini juga adalah rumah bagi sekumpulan suku bangsa, negeri-negeri Melayu yang mandiri dan merdeka. Di pedalaman nya, hidup Bangsa Minangkabau yang tak bisa disepelekan kekuatannya dalam mengorganisasi perniagaan komoditas hutan dan sumber daya alam lainnya. 

Sementara itu, di pesisir, ditinggali orang-orang Bugis, Orang Laut, dan kelompok-kelompok “perompak” yang lihai berniaga tapi tak jarang berselisih dan bergesekan. Maka, di atas kertas, ikhtiar membentuk sebuah kerajaan yang utuh dan bertahan hingga ratusan tahun tampaknya adalah upaya yang sangat berat. 

Namun, Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah atau Raja Kecik (kadang disebut juga Raja Kecil, 1699-1746) tampaknya berhasil membangun kharisma dan konsensus di antara kekuatan-kekuatan yang berserak itu, lalu mendirikan kerajaan pada 1723 (Bernard, 2003).

Kemakmuran Siak dibangun di atas jejaring perdagangan internasional yang menghubungkan China dan Eropa yang mempertukarkan komoditas global seperti lada, cendana, damar, kopi, kain, dan belakangan opium juga senjata. Siak juga menghimpun komoditas pangan dan hutan yang dibutuhkan negeri-negeri seberang dan menjanjikan keuntungan. 

Pada paruh kedua abad ke-18, konfederasi Siak semakin makmur. Hal ini salah satunya berkat penemuan dan perdagangan timah dan emas. Amat mungkin sebagian emasnya ada yang digunakan untuk membuat mahkota ini. Inilah yang menjadi fondasi kerajaan, selain tentu saja kelihaian dalam membangun koalisi dan persekutuan dari berbagai suku dan bangsa itu (Bernard, 2003). 

Sultan yang dicintai rakyat

Menjelang pertengahan abad ke-19, pelabuhan-pelabuhan Siak mendapatkan persaingan ketat. Selain perselisihan internal, di batas-batas kerajaan, Inggris dan Aceh mulai menggerogoti kekuasaan. Oleh karena itu, Sultan Siak beralih pada Belanda untuk meminta bantuan. Maka ditandatanganilah Traktat Siak pada 1858. Selepas perjanjian ini, praktis Siak kehilangan kemerdekaannya. 

Di tengah keterbatasan itu, Sultan Syarif Kasim II (lahir pada 1890) naik takhta pada 1915. Dia sempat mengenyam pendidikan ala Belanda di Batavia dan memiliki gagasan besar untuk mengemansipasi pendidikan di kerajaannya. Perempuan diizinkan bersekolah. 

Syarif Kasim II juga menginisiasi sekolah khusus yang bernama Sultanah Fathimah School pada 1927 dan Madrasah Annisah dua tahun berselang. Untuk mengantisipasi perubahan zaman, Sultan Syarif Kasim II juga merevisi konstitusi kerajaan: Babul Qawaid. Para pemuka agama didorong untuk terlibat dalam berbagai acara resmi kerajaan. 

Namun, Sultan Siak menolak campur tangan Belanda dalam sistem peradilan lokal dan mempertahankan hak-hak ulayat suku-suku minoritas. Ringkasnya, dia dikenal sebagai sultan yang dicintai rakyatnya karena ikhtiarnya dalam pembangunan di bidang pendidikan dan sosial (Reid, 2014). 

DOK LEIDEN UNIVERSITY LIBRARIES

Memilih bersama Republik

Sebagaimana pendahulunya, Sultan Syarif Kasim II kembali harus berhadapan dengan “para raksasa”. Di masa pendudukan Jepang, sebagai kepala pemerintahan ia bekerja keras untuk melindungi rakyatnya dari kewajiban kerja paksa penguasa Jepang. 

Pada masa Revolusi Kemerdekaan, negeri-negeri Melayu yang berada di Sumatra Timur saat itu, termasuk Siak, menghadapi situasi yang baru sama sekali. Mereka dihadapkan pada pilihan: hidup bersama Belanda yang berusaha kembali ke wilayah kuasa atau bergabung bersama republik baru yang bernama Indonesia. 

Serangkaian negosiasi dilakukan untuk membujuk negeri-negeri ini masuk pada republik yang baru. Di tengah ketidakpastian dan ketegangan, Sultan Syarif Kasim memilih bergabung bersama Indonesia. Pada November 1945, Sultan mengumumkan penyerahan harta kerajaannya sebesar 13,5 juta gulden untuk republik. 

Harta kerajaan itu termasuk sebuah mobil merek Piccard yang baru keluar pada awal 1900-an dan mahkota emas berlapis permata yang diambil saat Sultan melawat ke beberapa tempat, termasuk ke Aceh dan Medan, untuk berbicara pada laskar pendukung kemerdekaan (Bernard, 1997). 

Sementara itu, beberapa sultan dan bangsawan di Sumatra Timur mengalami nasib nahas, menjadi korban amuk massa yang terjadi pada peristiwa yang dikenal sebagai Revolusi Sosial. 

Dengan demikian, mahkota emas berlapis berlian dan rubi ini bukan hanya terdiri atas cerita kecerdikan pendiri kerajaan dan para penerusnya dalam mengelola hasil alam, politik, dan perdagangan. Bukan cuma kisah kekayaan alam dan bagaimana keberagaman bisa dikelola menjadi kekuatan yang dahsyat. Namun, juga menjadi pengingat peristiwa di awal terbentuknya republik dan pengorbanan besar yang dibuat Sultan Syarif Kasim II untuk republik baru bernama Indonesia itu. 

Teknik kerawang 

Mahkota emas tersebut diperkirakan dibuat pada masa Sultan Syarif Kasim I (berkuasa hingga 1889, kakek Sultan Syarif Kasim II). Mahkota seberat 1,8 kilogram, berdiameter 33 sentimeter dengan tinggi 27 sentimeter ini, dibuat menggunakan teknik filigree atau kerawang yang rumit. Teknik ini sebenarnya telah dipraktikkan sejak ribuan tahun lalu di Mesopotamia dan Mesir, kemudian menyebar di wilayah kekuasaan Romawi hingga seluruh Asia, termasuk Nusantara. 

Teknik kerawang dilakukan tak ubahnya seperti merenda. Kawat-kawat emas dan perak dijalin, dianyam, dipelintir, dipilin, dan dipatri hingga menghasilkan pola-pola repetitif yang estetik. Setelah selesai, proses ini akan menghasilkan perhiasan yang unik dan kaya dengan detail tapi relatif ringan saat dipakai. 

Untuk mengerjakan perhiasan dengan teknik semacam ini juga dibutuhkan kekuatan fisik dan ketelatenan. Seorang harus sabar dan tahan berjam-jam mengerjakannya, serta mengerti betul timing antara panas yang optimal dan waktu yang tepat untuk mematri antarlogam. Mata pengrajin harus benar-benar awas dan otot-otot tangan mesti stabil untuk menghasilkan ornamen yang detail dan rapi.

Adapun ornamen yang melekat pada mahkota emas ini, antara lain tiga bunga teratai mekar bertaburkan batu merah delima dan intan. Dihiasi pula dengan sulur-sulur benang emas. Daun-daun kecil emas dikaitkan dengan cincin menggantung di keempat lengkungan mahkota. Di atas lingkaran kepala dipercantik dengan kawat emas tipis yang membentuk kata “mahkota emas” dalam huruf Arab. [Diolah dari berbagai sumber]

Baca jugaMakam Raja-raja Kotagede, Peristirahatan Terakhir Perintis Wangsa Mataram