OLEH PIPIT MEILINDA, RAIS FATHONI, & SOFWAN NOERWIDI

Tepian Bengawan Solo di Trinil menjadi saksi sejarah penting pada September 1891. Tim penelitian yang dipimpin Eugène Dubois, seorang dokter militer dan ahli anatomi dari Belanda, menemukan gigi geraham atas ketiga yang diperkirakan berasal dari manusia purba.

Hanya berselang satu bulan, mereka menemukan atap tengkorak dengan ciri arkais: bentuk memanjang, lunas sagital, dan tulang alis yang tebal. Pada awalnya, Dubois memperkirakan volume otak tengkorak tersebut sekitar 700 cc, lebih menyerupai kera dibanding manusia, sehingga ia menamainya Anthropopithecus, yang berarti manusia-kera.

Pada Agustus 1892, Dubois menemukan tulang paha kiri yang lokasinya hanya 15 meter dari lokasi sebelumnya. Tulang ini menyerupai manusia modern dan menunjukkan kemampuan berjalan tegak. Dubois kemudian menyimpulkan bahwa gigi, tengkorak, dan tulang paha tersebut berasal dari individu yang sama, kemungkinan perempuan tua.

Pada laporan tahun 1893 di Batavia, nama spesies ini diperbarui menjadi Anthropopithecus erectus.

Konsep “The Missing Link”

FOTO: DIE PITHECANTHROPUS-SCHICHTEN AUF JAVA. GEOLOGISCHE UND PALÄONTOLOGISCHE ERGEBNISSE DER TRINIL-EXPEDITION (1907 UND 1908), PAGE 18.

Pada akhir 1894, pandangan Dubois berubah. Ia menghitung ulang volume otak tengkorak menjadi sekitar 900 cc, menempatkannya sebagai bentuk transisi antara kera dan manusia.

Nama spesies pun diganti menjadi Pithecanthropus erectus, merujuk pada gagasan Ernst Haeckel tentang “the missing link” atau bentuk peralihan antara manusia dan kera. Istilah ini terinspirasi dari karya Haeckel yang percaya bahwa Asia Tenggara, dengan keanekaragaman kera besar, menjadi tempat ideal untuk melacak asal-usul manusia.

Temuan Dubois awalnya diragukan banyak pihak, terutama karena belum ada fosil serupa selain Neanderthal (ditemukan 1856). Namun, pada 1930-an, fosil manusia purba ditemukan di Jawa seperti di Ngandong (Blora), Sangiran, dan Perning (Mojokerto).

Penemuan lainnya di Zhoukoudian, dekat Beijing, memperkenalkan Sinanthropus pekinensis. Kemiripan antara kedua fosil ini membuat Ernst Mayr pada 1950 menyatukannya dalam satu spesies, Homo erectus.

FOTO IHA/MUSEUM MANUSIA PURBA SANGIRAN

Warisan Dubois

Setelah Dubois menghentikan penelitiannya di Trinil pada 1895, misi tersebut diteruskan Margarethe Lenore Selenka pada 1907-1908. Ekspedisinya di Trinil tidak berhasil menemukan fosil manusia purba tambahan, tetapi menghasilkan data penting tentang fauna Pleistosen.

Dalam 130 tahun terakhir, penelitian fosil di Jawa terus berlanjut, dari Rancah hingga Perning. Tokoh-tokoh seperti Teuku Jacob dan Sartono Sastroamijoyo berkontribusi besar dalam kajian ini pasca kemerdekaan Indonesia.

Hingga kini, lebih dari 50 persen fosil Homo erectus yang ada di dunia ditemukan di Jawa, menjadikan pulau ini sebagai lokasi signifikan dalam memahami evolusi manusia. Lebih dari 200 spesimen ditemukan, termasuk atap tengkorak Grogolan Wetan, fragmen rahang Ardjuna 9, hingga tengkorak Bjg 1602. Temuan terbaru Homo erectus dari Situs Sangiran yang ditemukan pada 2016 di Sragen.

Replika tulang paha dari situs Trinil. DOK IHA/MUSEUM MANUSIA PURBA SANGIRAN

Pameran 130 Tahun Pithecanthropus

Dalam rangka memperingati 130 tahun temuan bersejarah ini, Kementerian Kebudayaan  menggelar pameran khusus. Beragam  disimpan di brankas koleksi berbagai museum dan instansi di Indonesia–yang tidak pernah dipamerkan sebelumnya–secara eksklusif akan ditampilkan dalam pameran ini. Pameran ini bertujuan memperdalam pemahaman masyarakat tentang evolusi manusia dan peran penting Indonesia dalam penelitian global.

Lebih dari sekadar mengenang sejarah, perayaan ini diharapkan menginspirasi generasi muda untuk melestarikan kekayaan budaya dan alam Indonesia, menjadikan negeri ini terus relevan dalam studi evolusi manusia dunia.

Baca juga: Lemba, Jejak Seni pada Lembaran Kulit Kayu