Beruntunglah kita sebagai bangsa Indonesia. Berbekal kekayaan warisan budaya yang beragam dan kemajemukan masyarakat yang dinamis, mampu memberikan napas inspirasi untuk mengembangkan usaha kreatif berbasis kearifan lokal.

Bahkan, bukanlah sebuah cita-cita yang muluk bahwa industri kreatif Tanah Air kelak akan menjadi masa depan perekonomian Indonesia. Hal itulah yang diyakini oleh Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dalam berita yang dilansir Kompas.com Jumat (26/8).

Menurut Agus, industri kreatif sangat potensial dikembangkan pada masa mendatang. Agus menuturkan, keanekaragaman budaya di Indonesia menjadi nilai tambah industri kreatif yang dimiliki Indonesia, dibandingkan negara lain.

“Salah satu kebudayaan dan kearifan lokal tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Modal tersebut menjadi sumber kekuatan industri kreatif yang tidak dimiliki bangsa lain,” ujar Agus.

Agus menambahkan, sejak 2010 hingga 2013, industri kreatif menyumbang 5,3 persen pertumbuhan nasional. Industri kreatif ini juga berkontribusi terhadap ekspor sebesar 6,1 persen dan menyerap 10,1 persen tenaga kerja.

Senada dengan hal itu, Kementerian Perindustrian terus mendorong para pelaku industri kreatif untuk terus berinovasi seiring perkembangan tren dan teknologi terkini. Adanya kondisi Indonesia yang heterogen dan keragaman sosio kultural dapat menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat di Tanah Air untuk semakin kreatif.

Potensi

Tak pelak potensi yang besar itu perlu untuk terus dijaga dan dikembangkan. Industri berbasis inovasi sektor kerajinan, fashion, alas kaki, dan animasi, misalnya, bisa berkembang lebih pesat.

Di sisi lain, berkat kemajuan teknologi digital, memungkinkan usaha kreatif semakin mudah dikenal dan berkembang. Pemakaian platform digital seperti situs web, maupun media sosial untuk berjualan sudah menjadi hal yang jamak ditemui dewasa ini.

Sayangnya, dukungan pemerintah belum dirasakan menyeluruh. Disarikan Harian ini, Sabtu (24/9), dukungan pemerintah terhadap ekosistem kewirausahaan bidang teknologi digital belum berkembang di Indonesia. Kendalanya adalah belum adanya regulasi pemerintah yang mendukung mereka, baik terkait investasi, pajak, maupun pendanaan.

Oleh karena itu, kondisi ini menjadi tugas pemerintah. Menurut Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif Ricky Pesik, pekerjaan rumah pemerintah terbesar kini adalah konsolidasi antarlembaga untuk mendukung kewirausahaan bidang teknologi digital.

Optimistis

Di balik tantangan dan peluang yang ada, tak dapat ditampik bila euforia pertumbuhan industri kreatif berbasis produk lokal memang menjadi fenomena positif. Berbondong-bondong anak muda Indonesia saat ini, berinovasi menciptakan karya kreatif berkualitas internasional.

Salah satunya Chevalier. Berawal dari hobi, Egar Putra Bahtera (24) menekuni Chevalier sehingga berkembang pesat seperti sekarang ini. Pria lulusan Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) kini berfokus pada pengembangan bisnis sepatunya yang berbasis kearifan lokal.

“Berawal dari suka beli sepatu di Taman Puring, Jakarta, terpikir kenapa saya tidak membuat lini sepatu sendiri. Untuk itulah saya mulai melakukan riset dari 2010 sekaligus menemukan perajin sepatu yang klop dengan keinginan saya,” ucap Egar antusias.

Egar melanjutkan ceritanya jika memiliki cita-cita mengembangkan potensi perajin lokal. Egar menuturkan,”Saya ingin fokus di sepatu kelas premium. Untuk itu saya tertantang untuk mengajak perajin saya membuat sepatu dengan kualitas kulit yang premium. Dan, ternyata mereka bisa. Seratus persen sepatu Chevalier adalah buatan perajin dari Bandung, Jawa Barat.”

Untuk mendukung kualitas premium lini sepatunya, Chevalier memakai kulit impor dari Horween Leathers Company, sebuah produsen kulit dari AS yang telah ternama.  Di samping itu, Egar bersama tim produksi membuat cetakan sepatu (shoelast) sendiri-sendiri.

“Membuat sepatu merupakan hal rumit. Maka, cetakan sepatu tidak bisa dibuat sama. Di situlah tantangannya, bagaimana cetakan mampu menggabungkan elemen estetika, kesehatan, dan matematika, untuk menemukan bentuk sepatu yang cantik dan nyaman,” terang Egar bersemangat.

Selain menerapkan riset untuk mendapatkan kualitas sepatu yang mumpuni, edukasi menjadi hal yang sama esensialnya. Egar menerapkan strategi untuk meyakinkan konsumen mengenal dan akhirnya membeli koleksi Chevalier, dibutuhkan edukasi. Pasalnya, rata-rata harga sepatu yang dilempar ke pasar dibanderol mulai Rp 1 jutaan. Selain lewat situs online ataupun media sosial, Chevalier dipasarkan di semua cabang The Goods Dept, gerai ritel di Jakarta yang berbasis kurasi.

Salah satu bentuk edukasi yang strategis adalah berkolaborasi dengan selebritas ternama Tanah Air, Dian Sastrowardoyo menciptakan sepatu perempuan. Sebelumnya Chevalier lebih dikenal dengan jenis produk sepatu boot atau loafer pria. Bersama Dian, Egar menciptakan sepatu loafer yang pointy untuk menggambarkan konsep androgini yang seksi  sekaligus tetap  mempertahankan karakter klasik khas Eropa.

Kerja keras Egar pun berbuah manis. Bersama sekitar 30 karyawannya, Chevalier terus berkembang dan senantiasa mendapatkan respons positif konsumen. Untuk pertama kalinya, label lokal ini akan mengikuti ekshibisi internasional, Capsule Show pada Januari 2017.

Digandeng Kementerian Perdagangan, rencananya Chevalier, representasi industri kreatif Tanah Air, akan berpameran di Capsule Show, sebuah pameran bergengsi yang memamerkan produk industri kreatif lokal dari seluruh dunia. Berbarengan dengan perhelatan New York Fashion Week, kini Chevalier melangkah optimistis menuju global. [AJG]

foto: Egbert Siagian

noted:Â