Besarnya tak lebih dari telapak tangan orang dewasa. Panjangnya hanya 10 sentimeter. Dibalut bahan sutra atau katun, ia memiliki warna beragam dengan motif bunga memikat. Lotus shoes, demikian namanya disebut.

Sepatu lotus, tak lain untuk menyebut alas kaki yang digunakan khusus bagi kaki yang telah mengalami perubahan bentuk hingga menyerupai lotus. Kaki lotus ini pun menjadi simbol kecantikan perempuan Tionghoa yang mulai dipraktikkan sejak abad ke-10.

Proses ini membutuhkan waktu panjang hingga mendapat bentuk ideal. Sebagian di antaranya bermula begitu dini, sejak usia 4 atau 5 tahun. Sepasang kaki gadis-gadis cilik itu dibebat kuat dengan kain. Lalu secara berkala direndam dengan ramuan herbal untuk membantu proses pembentukan. Tujuannya tak lain agar kaki agar tak tumbuh besar dan memanjang sehingga telapak kaki mau tak mau  mengalami fraktur di beberapa bagian.

Membebat kaki pada perempuan Tionghoa ini bertahan selama 10 abad hingga akhirnya dilarang pada awal abad ke-20. Pada masa itu, daya pikat seorang perempuan ditentukan oleh kaki mungilnya. Jika ingin mendapat pinangan dari lelaki berpotensial tinggi, maka kaki harus mungil.

Di sisi lain, praktik ini pun menunjukkan status simbol seseorang. Perempuan yang memiliki kaki mungil dianggap berasal dari keluarga berada karena berarti ia tak perlu bekerja. Mengingat kesulitan yang dialami jika harus berjalan atau bekerja berat dengan kaki yang sudah mengalami perubahan bentuk. Awalnya memang praktik ini hanya dilakukan di kalangan atas. Namun, dalam perkembangannya, perempuan-perempuan desa pun banyak yang melakukannya. Padahal, mereka tetap bekerja di ladang dan melakukan berbagai hal laiknya orang pada umumnya.

Meski telah dilarang dilakukan sejak 1911, pada kenyataannya praktik ini masih bertahan hingga beberapa dekade sesudahnya. Seorang fotografer asal Inggris, Jo Farrell, belum lama ini berhasil mendokumentasikan perempuan-perempuan dari generasi terakhir yang mempraktikannya. Pencariannya ke berbagai penjuru Tiongkok selama hampir satu dekade membuahkan hasil. Ia bertemu dengan perempuan-perempuan tangguh berkaki mungil yang masih hidup di era modern dan menceritakan kisah mereka.

Memorabilia

Berakhir di abad ke-20, praktik membebat kaki itu kini menjadi bagian dari sejarah tradisi yang memikat sekaligus menimbulkan decak kagum. Sulit untuk dapat membayangkan rasa sakit yang dialami selama tahunan membebat kaki sekaligus romansa kisah di baliknya. Menurut cerita, dalam proses awal juga dapat menyebabkan seseorang tidak bisa berjalan sama sekali selama setahun.

Belum lagi membayangkan ukurannya yang begitu mungil. Tak jauh dari ukuran sepatu balita. Jika berjalan-jalan ke Malaka, Malaysia, Anda bisa berkesempatan melihat langsung sepatu-sepatu mungil tersebut. Yakni menuju toko sepatu Wah Aik, yang terletak di Jalan Tokong.

Toko yang kini dikelola oleh generasi ketiga itu memang khusus membuat sepatu lotus dan berbagai alas kaki dengan gaya etnik Tionghoa. Keahlian sang pemilik dalam membuat sepatu lotus bisa disimak dari kedetilan aksen, padu padan motif yang cantik, serta kualitas jahitan yang rapi.

Sepasang sepatu lotus dipamerkan di bagian pintu masuk yang akan segera menarik perhatian turis yang lewat. Beberapa pasang sepatu lotus juga diletakkan di sebuah etalase kaca. Sepatu-sepatu mungil itu memang kini dijajakan sebagai salah satu suvenir untuk dibawa pulang dari Malaka dengan harga 95 ringgit Malaysia. Namun, tidak sedikit di antaranya yang juga merupakan pesanan dari para perempuan berkaki mungil, yang kini usianya rata-rata berkisar 80–100 tahun. [ADT]

noted: kisah sepatu mungil