Keramik yang kokoh berawal dari proses lentur yang membuka segala kemungkinan. Ditempa berkali-kali, keramik terus beradaptasi dengan lingkungan dan membentuk ulang dirinya. Seperti juga Ayu Larasati, perupa keramik dan wirausaha yang dengan ketekunan dan keluwesannya terus belajar dalam mengolah renjananya.

Perkenalan pertama Ayu Larasati dengan teknik pembuatan keramik adalah pada tahun kedua kuliahnya di jurusan Desain Industri di Ontario College of Art and Design, Kanada. Waktu itu ia berangkat dari pengalaman yang sama sekali nol dibandingkan dengan teman-temannya yang kebanyakan sudah pernah membuat sesuatu dengan media tanah liat.

Sekitar satu dekade kemudian, Ayu mendapati dirinya hampir setiap malam berkutat dengan tanah liat di apartemennya di Toronto, setelah sepanjang hari bekerja penuh waktu sebagai desainer produk di sebuah perusahaan manufaktur. Ia percaya pada dualisme designing (merancang) dan making (membuat). Sehari-hari di perusahaan, ia lebih banyak mendesain. Ia ingin kembali juga ke making, mengerjakan sesuatu lagi secara langsung dengan tangannya.

Kegiatan pengisi waktu malam di apartemennya itu berlanjut serius. Ayu menemukan, membuat sesuatu dengan tanah liat adalah passion, renjananya. Sampai kini, ia menekuninya.

Ayu Larasati
Ayu Larasati di Unearth, galeri dan toko yang menampilkan karya keramiknya dan sejumlah karya lain yang dikurasi.

Ayu Larasati kini menjadi salah satu perupa keramik yang diperhitungkan di Indonesia. Desain dan pembuatan keramik dikerjakan bersama timnya di Ayu Larasati Studio. Produk-produknya dijual secara daring dan di toko miliknya, Unearth.

Keramik, menurut Ayu, punya karakter sangat menarik. Tidak seperti media lain semisal kayu atau metal yang hasil akhirnya bisa dirancang persis seperti desainnya, keramik dipengaruhi oleh banyak variabel, seperti suhu, angin, kelembaban, karakter tanah liatnya sendiri, dan sebagainya. Begitu tungku pembakaran dibuka, selalu ada kejutan-kejutan kecil pada hasil akhirnya. “I try to design the way they want it to be,” kata Ayu. Tim Kompas Klasika berbincang lebih jauh mengenai proses kreatifnya.

Baca juga:

Lebih Dalam Mengenal Jenis Keramik dan Seluk Beluknya

7 Cara Jadikan Batik sebagai Dekorasi Interior Rumah

Bisa diceritakan bagaimana perkenalan Mbak Ayu dengan keramik?Keramik Ayu Larasati

Pada tahun kedua kuliah, kami harus mengeksplorasi berbagai material, termasuk keramik. Di antara teman-temanku, ternyata aku sendiri yang belum pernah membuat sesuatu dari tanah liat. Aku merasa harus mengejar banyak.

Setelah lulus, aku bekerja sebagai desainer produk. Pekerjaanku kebanyakan menggambar, banyak mendesain dengan software 3D. Aku mendapati, ada segregasi antara mendesain dan membuat/making. Making, kan, pakai tangan, desain pakai kepala, jadi itu kayak terpisah, padahal nyambung.

Keramik ini menarik karena aku balik lagi ke making. I think I really need to work with my hand again. Tapi nggak cuma menggambar.

Apa yang spesial dari mendesain dan membuat keramik?

Seperti yang tadi kubilang, keramik ini lebih banyak dialognya, nggak satu arah seperti desain produk pada umumnya. Jika mendesain dengan kayu atau besi, kurang lebih hasil akhir bisa seperti yang dibayangkan. Kalau keramik belum tentu, karena banyak faktor yang di luar kontrol. Benda ini sangat sensitif, kena api, angin, atau paparan panas, hasilnya bisa berbeda. With clay, I can explore the unlimited possibility of shape.

Jadi waktu bertemu keramik, aku belajar lagi, tidak bisa pakai perspektif desain produk yang sebelumnya. Banyak unlearning dan relearning, tahap demi tahap untuk mengenali tanah liat ini. Life long learning di keramik berasa banget. Kalau dari sisi desain, aku suka produk-produk fungsional yang bisa dipakai, tetapi juga bisa menjadi bentuk art.

Apa saja tahap-tahap produksi keramik?

Pertama tentu dari desain, dari sketsa lalu kita buat 3D-nya. Setelah itu membentuk tanah liat di meja putar, trimming, mengukir, memberi handle, pembakaran pertama selama 8 jam, glasir, pembakaran kedua selama 12–16 jam, lalu pendinginan selama 24 jam agar glasirnya mengkristal.

Di Ayu Larasati Studio kami punya tim yang pekerjaannya sudah spesifik masing-masing orang. Ada yang memutar, memasang handle, glasir, juga yang menangani pembakaran.

Pembakaran juga butuh orang khusus karena metode pembakaran yang berbeda bisa menghasilkan hasil yang sangat berbeda. Ada teknik reduksi dan oksidasi. Kalau reduksi, lubang oksigennya dikecilkan. Jadi di dalam tungku tidak terlalu banyak oksigen dan pembakarannya akan menarik oksigen dari dalam keramiknya. Kalau oksidasi, lubang oksigen dilonggarkan.

Glasir juga departemen yang sangat berbeda. Glasir yang misalnya sama pun, jika disusun di rak yang berbeda di dalam tungku, hasilnya juga akan berbeda. Glasir yang sama di jenis tanah yang berbeda juga akan berbeda hasilnya.

Apa proses yang paling menarik atau menyenangkan dari proses produksi?

Pas lagi membuka tungku, karena kita tidak tahu hasilnya akan seperti apa. Waktu keramik dimasukkan, cuma terlapisi glasir yang warnanya putih, ketika dibuka bisa berbeda banget, warna-warni.

Pembakaran ini seperti memasukkan tanah ke kawah gunung berapi. Keramik dimasukkan ke tungku dengan suhu 1.240 derajat Celsius sampai glasirnya meleleh tetapi tanahnya tidak, lalu mendingin dalam waktu singkat sampai menjadi seperti batu. So it’s really like mimicking nature.

Keramik Ayu LarasatiBagaimana Mbak Ayu mendeskripsikan karakter karya keramik rancangan Mbak Ayu?

Aku lebih kayak structured, ada bentuk yang jelas dan kelihatan bahwa itu direncanakan. Dengan karakter ini, aku mungkin lebih menggali skill. Aku merasa kalau ingin profesional, harus ada konsistensi dan standar untuk diriku sendiri juga.

Materialnya sendiri, yang di karya-karyaku tampak menonjol, sudah mendiktekan gayanya. Kalau dari tone-nya, lebih ke estetika Timur atau Jepang, tidak seperti gaya Barat.

Apa kegembiraan terbesar dari membuat keramik?

Memegang atau memutar tanah liat memberikan kepuasan tersendiri, very soothing. Apalagi kemarin setelah sempat positif Covid-19 dan dua minggu aku nggak bisa kerja. Pas tangan ketemu clay lagi, baru menyadari betapa soothing-nya. Selama ini I take this for granted.

Pernah mengalami kejenuhan dalam membuat karya?

Kurasa dalam bekerja atau berkarya, kita kayak lari maraton, dan di satu titik harus menembus tembok tertentu untuk bisa lanjut. Kayaknya aku sudah melalui titik itu sehingga aku sudah lega.

Pernah aku merasa muter keramik itu susah banget, dan ada titik ketika merasa capek banget, sampai sakit pundak. Tapi memang pada waktu itu aku juga kurang olahraga, kurang peregangan. Lalu aku coba ikut yoga dan jadi jauh lebih baik.

Kebosanan itu sesuatu yang harus dijawab sendiri. Tergantung bagaimana cara kamu belajar dari repetisi itu, entah kamu menjadi lebih baik atau berhenti, opsinya cuma itu. Kebosanan mungkin ada di semua jenis pekerjaan, tetapi pilih mana yang bisa membuat kita merasa lebih damai saja.

Apa yang waktu itu memicu kebosanan?

Mungkin karena keramik itu tadinya hobi, lalu menjadi pekerjaan. Ada kutipan, jangan biarkan hobimu jadi pekerjaan utamamu. Tapi di aku, ini menjadi pekerjaan, jadi kayak ada peralihan. Kebosanan itu karena adanya kesadaran bahwa ini jadi bisnis, jadi profesi dan karier. Passion definition changes, I can’t romantize it.

Aku sempat yoga juga kan, dan karena jadi sering ada yang mengajak aku untuk itu teacher traning. Tapi aku memutuskan biarlah yoga jadi sanctuary-ku saja. Aku nggak mau ini jadi serius banget sehingga ini become the second ceramic.

Ayu Larasati di UnearthMbak Ayu sempat menyinggung passion. Apa itu passion menurut Mbak Ayu?

This is tricky because I thought I knew passion but I don’t think I know now. Hahaha.. It’s just as cheesy as it is, it’s just love. Passion is what you do for love. You don’t see any other choices. You have all this possibilities, and you choose that. Kayak hatimu di situ dan terpanggil untuk itu. Do I see myself doing other things? Enggak sih. Do I see myself not doing ceramic day in and day out? Enggak sih. I think that’s passion.

Apa definisi sukses menurut Mbak Ayu?

Aku tidak pernah punya goal tertentu, karena sekali lagi, berangkat dari keramik ini aku belakar bahwa kalau kita mencoba mengontrol sesuatu, mungkin kita jadi terpaku untuk mengejar itu saja, padahal sebenarnya barangkali ada banyak kemungkinan, tetapi kita dibutakan target. Kalau kita tidak mencapainya, kita jadi kecewa. Jadi aku mencoba tidak menargetkan sesuatu.

I think success is just trying my best and reflecting what can I do better. Apakah aku bisa melakukan lebih? Tapi “lebih”-nya juga harus didefinisikan ulang, bukan cuma dalam arti kuantitas.