Selain itu, kekagetan para lulusan baru itu karena pekerjaan yang mereka hadapi jauh berbeda dengan jurusan semasa kuliahnya. Jika tak diimbangi dengan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan pekerjaan dan penguasaan tugas, fresh graduate bisa kepayahan dengan dunia barunya. Lebih-lebih jika rekan kerja atau atasan kurang memberikan pengarahan pada fresh graduate.
Kuliah selama 3-4 tahun memang tidak menjamin mendapat pekerjaan yang sesuai. Bahkan, terbuka kemungkinan jenis tugas sangat berbeda dengan materi kuliah. Di sisi lain, terkadang lulusan merasa lebih pintar karena telah lulus dari perguruan tinggi dengan nilai IPK tinggi.
Ingat, gelar pendidikan yang tinggi tidak selalu menjamin penguasaan terhadap suatu pekerjaan. Handoko (43), staf HRD suatu perusahaan tambang di Jakarta, mengungkapkan, ia pernah merasa “terkecoh” dengan karyawan baru lulusan perguruan tinggi luar negeri. Si karyawan ini melamar dengan ijazah setara S-2.
“Ternyata, kinerjanya tak seperti yang saya bayangkan. Bahkan, kinerjanya di bawah para lulusan S-1 dari perguruan tinggi domestik. Melihat performa di bawah rata-rata, karyawan baru tersebut akhirnya tidak lulus dari masa percobaan,” kata Handoko, Selasa (30/3/2021).
Permasalahan lain yang kerap dialami lulusan baru, lanjut Handoko, yakni bidang tugas yang dikerjakan dianggap tak sesuai penamaan posisi saat melamar. Ia pernah mendapati beberapa rekrutan barunya mengundurkan diri meski belum sampai tiga bula bekerja.
“Dulu, saya pernah merekrut lima staf baru untuk business development. Tiga di antaranya mengundurkan diri tak lama setelah bekerja. Alasannya, mereka mengira pekerjaannya cuma di kantor. Padahal, kalau pertambangan itu, rata-rata stafnya perlu pergi ke site (lokasi tambang) juga untuk mengetahui kebutuhan operasional dan strategi perusahaan ke depan,” ujar Handoko.
Baca juga :
- Mempersiapkan Mahasiswa Menghadapi Persaingan Dunia Kerja
- Strategi Wawancara Kerja, Mencari Kecocokan Budaya, Organisasi, dan Pekerjaan
Beda jurusan
Fenomena lainnya, lulusan program studi tertentu yang digadang-gadang banyak dibutuhkan pun tidak selalu mudah mendapat pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang diambil. Ini bisa terjadi jika jurusan itu banyak dibuka oleh perguruan tinggi, atau menjadi program studi favorit.
Nonik (22), lulusan perguruan tinggi di Yogyakarta mengaku mendapat pekerjaan yang berbeda dengan jurusan saat kuliah. Ia adalah lulusan program studi Hubungan Internasional. Nyatanya, pekerjaan yang didapat pertama kali adalah sebagai marketing melalui media sosial. Ini sebenarnya wajar terjadi. Banyak lulusan program studi tertentu yang “berubah haluan”.
Faktor yang juga melatarbelakangi, antara lain dari sisi perusahaan penyedia lowongan kerja, calon karyawan dipandang mempunyai kemampuan lebih dalam bidang yang berbeda. Kemungkinan lainnya, lowongan pekerjaan memang bisa diisi oleh lulusan dari berbagai program studi.
Dari sisi pencari kerja, para lulusan sudah sering mengetahui bahwa banyak formasi pekerjaan bisa diisi oleh disiplin ilmu yang berbeda. “Kalau kita melamarnya menjadi dosen mungkin harus sesuai jurusannya. Tapi, kita, kan, melamarnya bukan untuk tenaga pendidikan. Jadi, selama bisa melakukan tugas dan cepat beradaptasi, ya, tidak masalah. Apalagi tawaran remunerasinya cukup oke,” kata Nonik.
Alasan lainnya, bisa juga karena lulusan perguruan tinggi ingin mencari pengalaman terlebih dulu. Hal ini membuat lulusan perguruan tinggi mudah berpindah pekerjaan atau mencari pekerjaan di luar program studi yang dikuasai.
Kuliah memang tidak selalu menjamin akan memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi. Namun, masa kuliah menjadi penting sebagai salah satu basis penguatan logika berpikir, penambahan atau penguatan keilmuan, serta pengembangan relasi atau jaringan (networking).
Menurut National Association of Career Colleges (NACC), Kanada, sebagian orang bisa mendapatkan satu pekerjaan dan merasa sesuai. Namun, lebih dari 50 persen pekerja harus berganti hingga 7 kali pekerjaan untuk memperoleh jenis pekerjaan yang sesuai atau yang diinginkan.
Di samping itu, NACC menyebutkan bahwa lebih dari 70 persen pekerjaan membutuhkan keterampilan teknis, selain basis edukasi. Sejumlah perusahaan juga memilih mempekerjakan karyawan baru yang telah mempunyai kemampuan penanganan tugas tertentu. Adapun masa on the job training paling banyak dilaksanakan di perusahaan atau institusi besar, atau yang memiliki lebih dari 100 orang karyawan.