Perlawanan terhadap feodalisme, oposisi terhadap poligami, dan kesetaraan pendidikan adalah inti perjuangan Kartini. Kartini, yang terkesan pada gagasan tentang kesetaraan, menentang unggah-ungguh, etiket adat yang mengharuskan seseorang yang lebih muda atau lebih rendah status sosialnya menunjukkan sikap hormat yang berlebihan terhadap orang yang lebih tua atau yang lebih tinggi status sosialnya.
Kartini, yang hidup di Jepara pada masa kolonialisme, juga selalu bercita-cita semua orang bisa mencecap pendidikan. Pada waktu itu, hanya mereka yang punya privilese, misalnya keturunan bangsawan, yang bisa memperoleh akses terhadap pendidikan. Kartini, yang merupakan anak dari Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, mendapat kesempatan yang mewah ini. Justru karena hal itu, ia menyadari besarnya tanggung jawab untuk membagikan pengetahuan yang ia miliki kepada mereka yang tidak bisa mengakses pendidikan.
Pendidikan untuk perempuan bagi Kartini sangat vital. Pendidikan adalah alat agar perempuan dapat lebih berdaya dan melepaskan diri dari kungkungan domestik. Apalagi, saat itu, poligami menjadi praktik yang lazim. Para perempuan dapat dinikahkan orangtuanya kapan saja dan tidak diberi hak menyuarakan opininya. Kerap, suami pilihan orangtua adalah pria yang sudah beristri.
Kelak, Kartini juga menjadi istri keempat Bupati Rembang Raden Mas Adipati Djojoadiningrat. Dengan berat hati, keputusan itu diambilnya untuk melegakan hati ayahnya yang sedang sakit-sakitan. Namun, sebelum menikah, Kartini mengajukan syarat untuk diperbolehkan memberi pendidikan untuk para remaja perempuan.
Kecintaan pada kesenian
Bukan hanya sikap-sikap keras yang melekat pada Kartini, ia juga seseorang dengan budi pekerti halus yang sangat mencintai seni. Ia menggemari sastra dan kepiawaiannya berbahasa begitu tampak dalam tulisan-tulisannya, baik pada artikel maupun surat-suratnya. Keterampilannya ini berpadu apik dengan ketajaman pikirannya. Tulisan-tulisan Kartini pun menjadi kuat, jernih, sekaligus indah.
Tak heran, menjadi sastrawan adalah hasratnya. Dalam suratnya yang bertanggal 11 Oktober 1901 kepada Estelle Zeehandelaar, Kartini menulis: “Kau tahu sendiri akan kecintaanku pada sastra, bahkan menjadi salah satu angan-anganku untuk sekali waktu jadi sastrawan yang berarti.” Kartini menganggap sastra sebagai alat yang keramat untuk mengangkat derajat dan peradaban rakyat.
Kartini juga seseorang yang mencintai kerajinan tangan, batik, dan musik. Bersama dengan adik-adik perempuannya, Kartini kerap membatik dan mengenakan batik buatan mereka sendiri. Kartini juga menulis naskah berbahasa Belanda soal proses membatik berjudul Handschrift Japara. Naskah ini dijadikan pengantar pameran batik di Den Haag pada 1898 dan diterbitkan dalam buku De Batikkunst in Ned. Indie n hare Deschiedenis karangan GP Rouffaer dan Dr HH Juynboll.
Kartini aktif memperjuangkan kesejahteraan seniman ukir Jepara, mengampanyekan nilai estetika ukiran, dan memasarkannya terutama lewat tulisan. Salah satu prosa Kartini tentang seni ukir Jepara yang paling terkenal adalah “Van een Vergeten Uithoekje” (Pojok yang Dilupakan). Ia juga turut menciptakan pola-pola ukiran baru bernapaskan seni rakyat.
Kartini adalah manusia yang utuh, dengan segala gairahnya pada kehidupan, nilai-nilai yang diyakininya, kecintaannya pada seni, bahkan ketakutan dan rasa kesepiannya. Daya juangnya menunjukkan dirinya yang sejati, yang membuat namanya abadi sampai kini.
Baca juga: