Kain batik yang diciptakannya tak hanya menggambarkan Kartini sebagai seorang perempuan pribumi yang ingin maju, tetapi juga sebagai seorang entrepreneur sosial yang memanfaatkan jejaringnya untuk membantu masyarakat.
Kartini, antara pikiran dan karya seni
Sejarawan, ilmuwan, dan budayawan telah menulis ribuan halaman mengenai Kartini, mengungkap sosoknya sebagai seorang intelektual dan emansipatoris. Melalui surat-suratnya, kita melihat betapa ia memperjuangkan gagasan kebebasan berpikir, pentingnya pendidikan, dan hak-hak perempuan.
Namun, Kartini bukan hanya pemikir yang menggoreskan ide melalui tulisan; ia juga seorang artisan. Di balik hidupnya yang terbatas oleh adat dan pingitan, ia menyalurkan ekspresi melalui kerajinan tangan, termasuk kotak perhiasan, ukiran, hingga kain batik yang ia buat sendiri.
Dalam keterbatasan ruang geraknya, Kartini tetap berupaya menjalin hubungan dengan masyarakat sekitar. Salah satunya dengan mengunjungi pengrajin ukir di Kampung Belakang Gunung, yang saat itu hidup dalam kondisi serba kekurangan. Kartini menyaksikan langsung kemiskinan yang membelenggu mereka, dan hatinya tergerak. Dengan jejaring yang ia bangun hingga Batavia, Semarang, dan bahkan Belanda, Kartini mempromosikan hasil kerajinan pengrajin Jepara, termasuk pengrajin ukir, emas, dan tenun (Marihandono, 2016).
Kartini memberikan perhatian besar kepada para pengrajin ini, bahkan meminta mereka membuat berbagai kerajinan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar ekspor. Kartini tidak sekadar menjadi perantara, tetapi juga mentor. Ia memberikan bimbingan, membuat desain, dan menyediakan pendopo untuk memamerkan hasil karya mereka. Kartini memperlihatkan bagaimana ia bukan hanya seorang wanita yang peduli dengan pendidikan dan emansipasi, tetapi juga seorang penggerak yang berani mengubah kondisi masyarakatnya.
Batik Kartini, perpaduan tradisi dan inovasi
Kartini menyimpan kecintaan besar terhadap batik. Ia bahkan menulis secara detail mengenai seni membatik dalam karangan berjudul “Handschrift Jepara”, yang ditujukan untuk pameran seni perempuan di Den Haag pada 1898. Naskah ini begitu memukau, hingga Ratu Belanda pun dikabarkan terkesan dengan tulisan Kartini (Tashadi, 1985).
Salah satu motif batik yang ia ciptakan adalah seikat bunga anyelir, atau yang dikenal sebagai motif buketan. Kata “buketan” berasal dari bahasa Belanda, boeket, yang berarti seikat bunga. Di akhir abad ke-19, motif bunga menjadi populer dalam batik pesisiran, terutama batik-batik yang disesuaikan dengan selera masyarakat Eropa atau indo, yang tertarik mengenakan kain khas Nusantara.
Batik Kartini sulit untuk dikategorikan sepenuhnya sebagai batik pesisiran, meskipun motif buketannya mencerminkan pengaruh asing dan warna cerah ala batik pesisiran. Secara umum, batik di Jawa terbagi menjadi dua jenis: batik keraton atau mataraman, dan batik pesisiran.
Batik keraton biasanya memiliki aturan warna tertentu yang dominan dengan warna coklatt atau sogan. Sebaliknya, batik pesisiran lebih bebas dengan corak warna-warni ceria, menerima pengaruh budaya dari Eropa, Arab, hingga China.
Batik Kartini adalah gabungan keduanya. Motif buket anyelir dengan warna biru merupakan ciri khas batik pesisiran, sementara dasar warna coklat sogan pada tangkai, daun, dan garisnya tetap mempertahankan nuansa batik keraton yang lebih tradisional.
Batik Kartini merepresentasikan pergulatan dua dunia yang dijalani Kartini. Di satu sisi, ia hidup dalam dunia patriarki dan feodalisme lokal yang ia kritik dalam banyak suratnya. Di sisi lain, ia berhubungan dengan kalangan Eropa yang juga menindas dan eksploitatif, yang dikritiknya dengan tajam.
Kartini menolak tradisi kawin paksa, pingitan, dan poligami. Namun, pada akhirnya ia tunduk pada tradisi keluarganya yang membuatnya menikah di usia muda. Sehelai batik Kartini menjadi cerminan dari kompleksitas kisah hidupnya, yang penuh dengan kontradiksi dan upaya untuk mendobrak batas.
Batik Kartini sebagai warisan hidup
Gagasan dan warisan Kartini dalam dunia batik tetap hidup dan berkembang. Beberapa murid Kartini di Jepara meneruskan motif-motif yang pernah ia ciptakan atau ilhamkan, seperti RA Suci yang membuat motif parang, gondosuli, hingga buketan parang kanthil, lung kanthil, dan kopi pecah.
Bahkan hingga kini, ada pengrajin di Jepara yang terinspirasi dari motif-motif Kartini. Misalnya, Suyanti Djatmiko menciptakan motif sekarjagad semanggi yang terinspirasi dari keakraban Kartini dengan Kardinah dan Rukmini. Alfiyah, pengrajin lainnya, menciptakan motif merak kanthil Jepara yang menggambarkan binatang peliharaan Kartini dan bunga kanthil (Magnolia x alba) yang tumbuh di sekitar pendopo Kabupaten Jepara (Alamsyah dkk, 2020).
Sehelai kain batik Kartini bukan hanya pusaka budaya, tetapi juga warisan semangat dan ide-ide besar yang Kartini sampaikan kepada dunia. Lewat batik, Kartini tetap hidup sebagai simbol perjuangan yang melampaui batas-batas zaman dan terus menginspirasi, seperti yang ia lakukan semasa hidupnya.
Dari motif yang ia buat, Kartini mengabadikan nilai-nilai estetika, empati, dan perlawanan dalam bentuk yang tak lekang waktu.
Baca juga: Lemba, Jejak Seni pada Lembaran Kulit Kayu