“Memasak, pertama-tama, adalah cinta. Memasak adalah cara menyampaikan cinta. Namun, memasak juga merupakan seni, bagaimana komponen seni berpadu dengan hal-hal teknis.” Begitu ungkap Herve This, yang temuannya pada 1988, gastronomi molekuler, mengubah perspektif dunia tentang cara memasak dan menikmati makanan.

Bersama fisikawan Nicholas Kurti, ahli fisika kimia Herve This yang tentu saja juga penggemar kuliner membongkar proses di balik terciptanya makanan. Mereka mengumpulkan resep, bereksperimen, dan menganalisis. Hasil riset itu membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang mereka jadikan formula menggubah makanan dengan bahan dan cara yang berbeda. Sebuah lensa baru dalam memasak.

Dalam memasak, ada dua fenomena dasar, yaitu fisika dan kimia. Sebagai contoh sederhana, This mendemonstrasikan pembuatan mayones yang berbahan dasar kuning telur, cuka, dan minyak. Ketiga bahan utama tersebut sebenarnya tidak bisa begitu saja berbaur. Namun, kuning telur berfungsi sebagai emulsifier yang berfungsi menjembatani percampuran bahan air (cuka) dan lemak (minyak). Dorongan dari tenaga kinestetis ketika ketiga bahan tersebut dikocok akan membuat molekul-molekulnya saling terikat. Jadilah mayones yang kental.

Teknik gastronomi molekuler yang mengandalkan pengetahuan tentang transformasi fisika dan kimia makanan kini terus berkembang. Menjadikan makanan tampil dalam bentuk dan rasa yang tidak disangka-sangka. Mengundang rasa penasaran lalu menutupnya dengan kejutan manis. Siapa sangka bulatan-bulatan bening serupa kaviar di dalam tumpukan burger adalah bentuk lain dari saus dan mustard atau spageti bening kemerahan di piring adalah jus stroberi? Pantaslah kita memberi hormat kepada orang-orang kreatif yang membuat seni kuliner menjadi lebih seru.

Namun, di balik keseruan-keseruan itu, tetap muncul keraguan di benak sebagian orang. Ketika mereka mendengar nama gastronomi molekuler, teknik ini kerap disalahartikan, dianggap menghasilkan makanan yang tidak sehat, sintetis, dan tidak alami. Barangkali anggapan itu juga timbul karena dalam proses memasaknya, teknik ini sering menggunakan bahan-bahan yang namanya kurang akrab di telinga kita, seperti natrium alginat, kalsium klorida, atau xanthan gum. Faktanya, sebagian besar bahan-bahan ini dibuat dari sumber biologis, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, yang aman dikonsumsi.

Kreasi ala Indonesia

Andrian Iskak, koki Indonesia yang menekuni gastronomi molekuler, mengungkapkan, dengan mengetahui proses fisika dan kimia pada pembuatan makanan, kita sebenarnya bisa memasak dengan banyak cara, bukan sekadar yang konvensional.

“Kita misalnya bisa menggoreng tidak dengan minyak karena konsep dasarnya sudah dipahami. Gastronomi molekuler juga sudah dipakai lama dalam industri makanan, misalnya susu bubuk. Menurut saya itu juga gastronomi molekuler, proses pembuatannya juga kompleks. Bagaimana sesuatu yang cair diubah ke bentuk padat, lalu ke cair lagi oleh end user,” tutur Andrian, Selasa (20/1).

Beberapa teknik gastronomi molekuler bahkan bisa membuat cita rasa dan nutrisi di dalam makanan lebih terjaga dibandingkan dengan teknik konvensional. “Merebus kentang misalnya. Air yang digunakan ketika merebus bisa mengubah rasa kentang. Dalam gastronomi molekuler, kita bisa membuat hasil yang sama seperti rebusan tanpa direbus, dengan menggunakan alat sous-vide. Selain itu, ada banyak teknik dan alat memasaknya,” jelas Andrian.

Di dapur kreasinya di restoran Namaaz Dining, Andrian menciptakan beragam menu yang menggugah indera penglihatan, penciuman, pencecap, bahkan peraba. Ambil salah satu contoh menunya, pisang bakar. Bukan pisang gepeng dengan bekas bakaran kuning kecokelatan yang akan hadir di meja, melainkan sebentuk lilin lengkap dengan lelehan dan sumbu yang menyala di atasnya. Pisang terbungkus di tengah-tengahnya dan semua bagian makanan itu dapat dimakan.

“Restoran ini berawal dari ide. Kita punya banyak teknik, fasilitas, ada pula teorinya. Kita tinggal bereksperimen dan menghasilkan sesuatu yang baru,” ungkap Andrian tentang bagaimana menu baru tercetus. Di daftar menunya yang berganti setiap enam bulan, Andrian mengedepankan menu-menu Indonesia, seperti tumis oncom, tongseng, atau sate lilit, tentu saja dengan penyajian yang sebelumnya tak terbayangkan.

Kuliner dan sains adalah bentuk seni yang berpadu begitu apik ketika digabungkan. Untuk membuat seni itu lebih nikmat dicecap, jangan lupakan formula utamanya. Seperti kata This, cinta. [NOV]

noted: kala sains dan kuliner berpadu apik di dapur