Pertanyaan tersebut dilontarkan Executive Creative Director Global Team JWT Singapore Juhi Kalia kepada peserta seminar dalam ajang festival periklanan di Jakarta pada akhir 2013. Kalimatnya begitu menggelitik bagi kita semua yang sedang menghadapi gegap-gempita terpaan teknologi dan tren media sosial sejak satu dekade silam.

Kaum muda boleh saja berpendapat bahwa saat ini adalah era hyper-connected berkat banyaknya penyambung pesan yang tak lagi bersifat tunggal. Apabila Anda mulai menulis status via Twitter, pesan juga dapat hadir di Facebook. Para pengguna Path juga dapat menyinkronisasikan momen yang terekam dengan media sosial lain seperti Facebook dan Twitter. Segalanya terkoneksi hanya dalam satu klik.

Lain lagi dengan pandangan para baby boomer (generasi internet dengan tahun kelahiran 1946“1964). Mereka yang lebih familier dengan televisi menilai bahwa semakin tingginya penggunaan teknologi serbacanggih dalam wujud ponsel justru akan semakin memutuskan komunikasi. Ketika anak-anak lebih bersahabat dengan telepon genggam, komputer ataupun produk jejaring sosial, intensitas komunikasi tatap muka dengan orangtua pun semakin berkurang. Wajar saja jika era disconnect dianggap lebih mewakili kondisi saat ini menurut para generasi tua.

Meaning connection

Lepas dari perdebatan perspektif antara era hyper-connection dan disconnect, para pebisnis tentu saja tak ingin melewatkan peluang hadirnya beragam produk media sosial. Bagaimana tidak, pertumbuhan jumlah pengguna Facebook, Twitter, Pinterest, LinkedIn, dan Instagram terus mengalami peningkatan. Uniknya, tiap-tiap orang memiliki alasan atau motivasi penggunaan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik media sosial yang dipilih. Perilaku inilah yang ditangkap para pemasar.

Salah satu media sosial yang jadi andalan pebisnis adalah Twitter. Keunggulannya adalah pengguna dapat leluasa menyebarkan informasi teranyar dalam hitungan menit maupun detik. Akan tetapi, pemanfaatan tak sebatas satu arah. Pebisnis dituntut untuk berinteraksi dengan para pelanggan yang menjelma menjadi follower. Pastikan lontaran pelanggan ditanggapi, baik itu pujian maupun keluhan. Siasat ini dilakukan guna meningkatkan engagement dan loyalitas konsumen terhadap brand.

Juhi mengingatkan, apabila para pemilik brand tidak responsif terhadap keluhan, eksistensinya akan terancam. Contoh kasus terbaru, pemilik akun @HVSVN, Hasan Syed, rela membeli tweet promosi berbayar untuk menyampaikan keluhan terhadap pelayanan maskapai penerbangan British Airway terkait hilangnya bagasi milik sang ayah.

Dalam tweet promosi, Syed mengajak para pengguna Twitter untuk tidak menggunakan jasa British Airways dan mengatakan layanan pelanggan maskapai tersebut sangat buruk. Jurus ini memberi peluang lebih besar tweet terbaca kepada publik ketimbang mengandalkan tweet organik yang hanya disimak oleh follower akun pribadi yang jumlahnya tak seberapa.

Ketika sebuah brand telah memutuskan untuk terjun dalam media sosial, brand tersebut harus berani mengambil segala konsekuensi. Brand wajib menjelma menjadi manusia (human), responsif, dan benar-benar mendedikasikan diri kepada para pelanggan (follower) agar mereka merasa spesial. “Just be there and then make a contact,” pungkas Juhi. [GPW]

noted: “hyper-connected or disconnected?”