Berpikir kritis merupakan salah satu dari empat keterampilan nonteknis (soft skill) yang dibutuhkan pada era revolusi industri 4.0. Soft skill tersebut juga dikenal dengan 4C, yaitu berpikir kritis (critical thinking), kreativitas (creativity), komunikasi (communication), dan kolaborasi (collaboration). Berpikir kritis adalah titik awal suatu inovasi.

Terkait hal itu, Kognisi dan Harian Kompas mengadakan kelas elektif daring dengan tema How to be a Critical Researcher bersama pembicara dari Litbang Harian Kompas, Yohanes Mega dan Yoesep Budianto yang diselenggarakan pada 22 September lalu.

 

Pada awal sesi, Yohanes menjabarkan empat keahlian dasar yang dibutuhkan sebagai peneliti, yaitu intuisi (instinct) dengan mengamati fenomena di sekitar, kesangsian (rasa heran atau curiga), mencari tahu fenomena yang sedang terjadi, dan menganalisis untuk menentukan kesimpulan awal.

Keahlian tersebut dapat dilatih dengan berbagai cara seperti bersikap skeptis, mencari informasi dari berbagai sumber kredibel untuk menabung wawasan, dan menuangkan ide melalui berbagai media.

 “Hoax buster”: konten kredibel tidak minta diperhatikan

Menjadi pembasmi konten hoaks dan informasi bias adalah tugas dari hoax buster. Yohannes mengaku cukup sering melihat informasi bias di grup Whatsapp keluarga.

“Kita bisa menjadi salah satu agen yang mengklarifikasi benar atau salah dengan berbagai tips,” papar Yohanes. Konten hoaks biasanya memiliki ciri-ciri yang dapat ditelaah, yaitu (1) judul dan pengantar yang bombastis; (2) isi yang umumnya bermuatan fanatisme dan menyajikan data yang tidak lengkap; (3) menyebutkan tokoh tertentu; (4) penutup untuk menyebarluaskan informasi; (5) sumber tidak terverifikasi; dan (6) dampak umum yang bersifat negatif.

Selain menelaah ciri-ciri konten hoaks, terdapat beberapa cara memeriksa informasi, yaitu melalui mesin pencarian (Google) dengan mengetik kata kunci terkait atau mencari rujukan ke laman berita daring terpercaya. Cara lain bisa juga melalui penelusuran gambar dengan mengunggah foto di Google Images dan memeriksa unsur 5W1H pada tampilan foto tersebut, hingga klarifikasi langsung terhadap institusi terkait.

Tuntaskan rasa penasaran dengan data dan metode analisis kredibel

“Peneliti adalah seseorang yang mempertimbangkan dan memilih satu atau dua metode ilmiah untuk menyudahi rasa penasaran. Nah, terkadang juga menambah rasa penasaran dan memiliki pola pikir kritis yang bermula dari penemuan pola dari fenomena yang sporadis,” ujar Yoesep dalam sesi selanjutnya.

Kemudian, ketajaman riset dapat diamati dengan berbagai tahapan seperti menjelaskan fakta (deskriptif), memperdalam informasi (exploratory), menjawab pertanyaan mengapa (explanatory), serta menggunakan berbagai pendekatan dan sudut pandang berujung memberikan saran, serta rekomendasi (evaluative).

Ketika sudah mendapatkan ragam sumber data dari laman resmi pemerintah, media sosial ataupun literatur ilmiah, peneliti yang berpikir kritis akan menelaah pendekatan analisis yang sesuai untuk menentukan metode riset yang akan digunakan.

Pertama, pendekatan kuantitatif, bertujuan menghitung berbagai variabel sebagai upaya untuk menjelaskan apa yang diamati dengan menggunakan sudut pandang yang obyektif, generalisasi, proyeksi, dan penjelasan kausal. Hasil dari pendekatan kuantitatif adalah data yang cenderung terstruktur berupa angka dan statistik pendukung lain.

Kedua, pendekatan kualitatif, yang bertujuan menjelaskan secara lengkap dan terperinci tentang apa yang diamati dengan menggunakan sudut pandang subjektif. Hasil dari pendekatan kualitatif berupa kontekstualisasi, penafsiran, dan perspektif pemahaman, sehingga menghasilkan data teks yang lebih tidak terstruktur.

Mencari cara untuk menjawab dengan tepat disebut sebagai metode riset. “Jangan sampai kita menjawab suatu pertanyaan riset itu meleset, artinya tidak sesuai dengan tujuan kita,” ungkap Yoesep.

Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan seperti: menggunakan data publikasi dan kutipan (bibliometrics), data empiris kondisi sosial dan budaya (ethnography), eksperimen, analisis konten, diskusi kelompok, wawancara, dan kuesioner.

Kelas ini ditutup oleh moderator dengan beberapa poin bagaimana peneliti mengkomunikasikan data dan narasi serta kutipan dari Robert Shiller, seorang ekonom pemenang Nobel Ekonomi pada 2013 dalam buku terbarunya Narrative Economics.

“Narasi yang berkembang dalam masyarakat dapat memengaruhi kondisi dan perilaku masyarakat, bahkan mampu mendorong sebuah tindakan. Narasi juga membantu menunjukkan bagaimana reaksi masyarakat terhadap suatu peristiwa. Pemahaman narasi juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kejadian besar pada masa lalu sekaligus membantu memprediksi fenomena serupa di masa depan,” tutup Yoesep.

Kognisi adalah platform berbasis edukasi persembahan Kompas Gramedia yang dibangun pada Mei 2019. Kognisi secara periodik juga mengadakan webinar yang terbuka untuk publik. Informasi lebih lanjut mengenai webinar Kognisi selanjutnya bisa langsung dikunjungi di akun Instagram @kognisikg dan situs learning.kompasgramedia.com (khusus karyawan Kompas Gramedia). Selamat belajar, Kogi Friends! Stay safe, healthy, and sane!

Penulis: Riska Krisnovita, Editor: Sulyana Andikko,