Tahun 1935 menjadi titik awal dari penemuan yang memicu rasa penasaran dunia terhadap spesies primata raksasa yang dikenal sebagai Gigantopithecus blacki. Ditemukan pertama kali oleh Gustav von Koenigswald, seorang paleontolog asal Jerman, fosil gigi dari primata ini diidentifikasi di Hongkong, bukan dari penggalian situs purbakala, tetapi dari toko obat tradisional Tiongkok.

Fosil yang biasa disebut dengan nama dragon bones atau dragon teeth tersebut, diyakini sebagai bagian dari spesies primata besar yang belum dikenal sebelumnya.

Berdasarkan fosil yang ditemukan, Gigantopithecus memiliki ukuran tubuh yang mencengangkan. Tingginya diperkirakan mencapai 3 meter dengan berat hingga 500 kilogram. Fosil-fosil tambahan berupa gigi dan rahang yang ditemukan di berbagai situs gua di Tiongkok Selatan menguatkan bahwa spesies ini hidup sekitar periode Pleistosen, dengan lingkungan hutan lebat dan subtropis.

Penelitian yang lebih lanjut menemukan sekitar 2.000 gigi dan empat fragmen rahang dari lokasi yang berbeda di wilayah Asia. Penemuan ini menjadi landasan kuat bagi Koenigswald untuk menamai spesies ini sebagai Gigantopithecus blacki, yang artinya kera besar. Penamaan blacki dipilih untuk menghormati Davison Black, ahli paleontologi yang berkontribusi besar pada pemahaman evolusi manusia di Asia.

Kejutan di Semedo

Keberadaan fosil Gigantopithecus tak hanya terbatas di Tiongkok. Pada 2014 dan 2022, fosil rahang dan gigi besar dari spesies ini ditemukan di kawasan Cagar Budaya Semedo, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.

Penemuan ini membuka wawasan baru, yakni Gigantopithecus mungkin pernah hidup di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dua spesimen fosil pertama ditemukan oleh seorang warga bernama Dakri. Temuan ini ditandai sebagai spesimen nomor 0119 dan 0120. Sementara itu, spesimen terbaru ditemukan oleh Susworo pada 2022.

Spesimen nomor 0119 berukuran panjang 10,2 cm, lebar 8,1 cm, dan tinggi 3,8 cm, serta ditemukan di petak 33 Kalen Damad Hutan Semedo sedangkan spesimen nomor 0120 digali dari petak 33 Brug Blendung dengan ukuran panjang 7 cm, lebar 9,8 cm, dan tinggi 4,7 cm.

Penelitian terhadap spesimen Semedo yang disimpan di Museum Sangiran dilakukan oleh Sofwan Noerwidi dan tim. Mereka mengamati pola fisur dan cuspid pada gigi, dan menemukan kesamaan dengan spesimen dari Tiongkok.

Hasil komparasi morfometri ini menunjukkan bahwa spesies ini memiliki hubungan dengan kera besar lain, seperti orangutan dan gorila, tapi dengan karakteristik unik khas Gigantopithecus.

Pola makan dan kepunahan

Penelitian menunjukkan bahwa Gigantopithecus memiliki pola makan herbivora dengan mengonsumsi tanaman berserat tinggi seperti daun, batang, buah, dan kemungkinan bambu.

Hasil analisis isotop karbon pada gigi menunjukkan bahwa mereka hidup di habitat hutan lebat dengan kanopi rapat. Lingkungan seperti ini memang masih ditemukan di beberapa wilayah Asia hingga saat ini, yang menjadi habitat bagi panda.

Kepunahan Gigantopithecus diperkirakan terjadi sekitar 300.000 tahun lalu. Para ahli menyimpulkan bahwa perubahan iklim yang mengurangi habitat hutan lebat, persaingan dengan manusia purba Homo erectus, serta reproduksi yang lambat menjadi faktor-faktor utama penyebabnya.

Gigantopithecus Expo 2024

Guna mengenalkan lebih dalam tentang Gigantopithecus dan penemuan yang fenomenal ini, Museum Semedo akan mengadakan Gigantopithecus Expo 2024. Dengan tema “Reimajinasikan Warisan Budaya”, pameran ini menjadi ruang eksplorasi kolaboratif dan edukatif bagi masyarakat.

Pameran ini juga melibatkan komunitas budaya di Kabupaten Tegal yang akan menyajikan karya seni kreatif, mulai dari instalasi artistik hingga interpretasi ilmiah mengenai Gigantopithecus. Gigantopithecus Expo 2024 diharapkan tidak hanya memberikan wawasan sejarah, tetapi juga membangun kesadaran dan minat masyarakat terhadap warisan purbakala yang berpotensi memberikan dampak budaya berkelanjutan.

Baca juga: Dua Prasasti, Rekayasa Manusia, dan Alam: Refleksi dari Talang Tuo dan Tugu