Perkembangan kopi sebagai komoditas, bahan konsumsi, dan tren memiliki kisah serta gelombang tersendiri. Dalam lima tahun belakangan ini misalnya, di Indonesia, orang-orang yang concern di bidang perkopian mulai mengenal istilah third wave coffee (kopi gelombang ketiga).

Siang, 1 Maret 2017 lalu, sungguh kelabu. Gumpalan awan yang menggantung di langit Jakarta seolah tak tahan lagi untuk segera menjatuhkan hujan. Benar saja, air dari langit jatuh dengan derasnya disertai deru petir yang sengit.

Namun, cuaca muram itu tak menciutkan nyali untuk segera meluncur ke sebuah gerai kopi yang tengah ngehits di kalangan anak muda. Ini harus “diperjuangkan”, apalagi menyesap kopi kini telah menjadi bagian dari gaya hidup layaknya fashion.

Untuk sekadar tahu, saat ini kopi tak hanya minuman. Kopi juga menjelma menjadi semacam pengetahuan tatkala penikmatnya mulai penasaran tentang kisahnya dan ingin tahu bagaimana secangkir kopi itu bisa disajikan. Termasuk, timbunan pertanyaan tentang biji-bijian kopi dan asal-muasalnya yang mesti terjawab. Dua hal itu baru sejumput daya tarik komoditas yang konon berasal dari Abyssinia. Saat ini, wilayah itu lebih dikenal sebagai teritorial yang mencakup negara Etiopia dan Eritrea.

Pada 2002, istilah itu diperkenalkan oleh penyangrai kopi (coffee roaster) ternama asal AS, Trish Rothgeb. Kopi gelombang ketiga oleh banyak orang dianggap sebagai era perkembangan kopi yang lebih oke dibanding gelombang pertama dan kedua.

Pada gelombang pertama, produsen kopi memimpin industri dengan menarik massa untuk mengonsumsi kopi sebanyak-banyaknya dengan mengedepankan kepraktisan dan kemudahan. Pada masa ini dipercaya kopi instan menguasai pasaran.

Pada gelombang kedua, industri kopi mulai membaik dengan mementingkan kualitas tapi lebih berfokus pada pemasaran. Di sini, tampil salah satu merek gerai kopi yang sering menjadi tempat nongkrong kelas menengah-atas di sejumlah mal.

Adapun di gelombang ketiga, produksi dan pemasaran tak lagi melulu diutamakan. Namun, kopi itu sendiri yang berperan menjadi aktor utama sebagai penguasa panggung. Maka, mulai tumbuhlah kedai kopi kecil yang lebih mengedepankan ihwal kopi itu sendiri.

Bukan tentang era

Namun, bagi Trish sendiri, menurut Hardiansyah Suteja (Dian), praktisi kopi dan pemilik Philocoffee, yang dimaksud dengan kopi gelombang ketiga adalah pola konsumsi kopi, bukan mengenai era. Pola konsumsi dimaksudkan pada pelayanan di kedai kopi yang dekat dengan konsumen. Semisal, barista yang mau berbagi banyak hal tentang minuman kopi yang dibuat untuk konsumennya.

“Hal ini dia (Trish) perhatikan ketika mengunjungi salah satu kedai di kopi di Oslo, Norwegia. Ketika itu, sang barista sangat detail menyajikan minuman kopi untuk sang pelanggan. Kemudian, dengan keramahannya sang barista menyampaikan informasi terkait kopi tersebut ke sang pelanggan hingga terjadi suatu obrolan yang hangat. Momen ini Trish rasakan sangat berbeda dengan di AS. Saat itu juga, kebetulan Trish sedang membaca tentang feminisme di mana istilah gelombang digunakan. Akhirnya, ketika berbagi tentang pengalaman ‘ngopi’ di Oslo melalui sebuah artikel, Trish menggunakan istilah gelombang untuk menyampaikan pengalamannya,” terang Dian.

Artikel yang ditulis Trish dipublikasikan di Wrecking Ball Coffee Roasters pada 2002 oleh Roaster Guild, The Flamekeeper. Sejalan dengan berembusnya kopi gelombang ketiga, pola konsumsi kopi melalui proses manual brew merebak kencang.

Di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, kedai kopi yang menyajikan kopi dengan teknik manual brew sudah banyak. Meskipun demikian, sebenarnya teknik ini bukan sesuatu yang baru, termasuk di Indonesia. Manual brew telah dikenal sejak lama di berbagai negara dengan masing-masing ciri khas.

Semakin dikenalnya manual brew saat ini, menurut Andreas Adrianto, pemilik Rosso Micro Roastery, dipicu semakin banyak orang senang dengan cita rasa kopi yang tidak berat, tidak pekat. Tidak seperti kopi ala Italia yang dianggap dark roasted. Manual brew pas digunakan untuk mendapat aroma dan cairan kopi yang terasa lebih santai dan ringan.

“Metode manual brew bermacam-macam sehingga alatnya pun bermacam-macam. Teknik membuat kopi dengan cara ini sebenarnya memiliki risiko lebih besar untuk mendapatkan rasa kopi yang tidak konsisten. Nah, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pembuatnya. Di sinilah keunikan teknik manual brew,” terang Andreas.

Kembali pada gelombang dalam perkembangan kopi dunia, jangan lantas keburu mengartikan bahwa gelombang ketiga lebih baik dari yang pertama atau kedua. Setiap gelombang mempunyai kelebihan dan kekurangannya yang mengisi hikayat perjalanan manusia dalam berkawan dengan kopi. [ACHDIYATI SUMI]

 

Artikel ini terbit di edisi cetak Harian Kompas 29 Maret 2017

Foto-foto : E Siagian
Video       : Iwan A.