Oleh:
Prof Dr dr Irawati Ismail SpKJ(K) MEpid, Dr dr Tjhin Wiguna SpKJ(K), dan dr Fransiska Kaligis SpKJ(K)
Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

 

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sangat sering mendengar kata “autisme”. Gangguan spektrum autisme yang diketahui masyarakat sebagai istilah “autis” atau “autisme” dikenal melalui internet, televisi, radio, atau bahkan digunakan dalam percakapan di kehidupan sehari-hari.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat pada 2002 melaporkan terdapat 1 dari 68 anak mengalami gangguan spektrum autisme. Studi yang dilakukan oleh Lyall K et al (2017) menyatakan, banyaknya anak yang mengalaminya di negara berkembang diperkirakan 1,5 persen dari total populasi. Namun, belum ada data pasti tentang jumlah kasus gangguan spektrum autisme di Indonesia.

Istilah autisme berasal dari bahasa Yunani “auto” atau “sendiri” yang berarti terisolasi dari interaksi sosial dan hidup di dunianya sendiri. Dalam dunia medis, dikenal istilah gangguan perkembangan pervasif yang berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) edisi ke-4 terdiri atas gangguan autistik, sindrom Asperger, sindrom Rett’s, gangguan disintegratif masa kanak, dan perkembangan perkembangan pervasif yang tidak dapat digolongkan.

Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa gangguan spektrum autisme dikaitkan dengan berbagai faktor, antara lain faktor genetik, faktor perubahan struktur dan fungsi otak, faktor lingkungan, dan faktor epigenetik. Pewarisan genetik gangguan spektrum autisme pada saudara kembar identik berkisar 36–96 persen, sedangkan pada saudara kembar tidak identik sebesar 0–27 persen.

Hasil pencitraan otak anak dengan gangguan spektrum autisme sering kali menunjukkan adanya peningkatan volume area putih dan abu-abu otak serta pelebaran ruang otak yang berisi cairan. Paparan terhadap zat kimia, seperti merkuri, cadmium, nikel, trikloroetilen, dan vinil klorida memegang peranan penting dalam terjadinya gangguan spektrum autisme.

Konsep gangguan spektrum autisme pertama kali diperkenalkan oleh psikiater anak Leo Kanner dari Universitas Johns Hopkins. Istilah yang digunakan adalah infantile autism dalam artikel yang ditulis pada 1943 untuk mendeskripsikan kesamaan pola perilaku pada sebelas anak yang dijumpai di kliniknya. Anak-anak ini memiliki gangguan dalam berinteraksi sosial dengan orang lain dan lebih fokus dengan keseragaman benda. Artikel yang ditulis Kanner merupakan penemuan baru di dunia medis.

Dapat didiagnosis pada usia 24 bulan

Gangguan spektrum autisme umumnya dapat didiagnosis pada usia 24 bulan. Bahkan, beberapa tanda dan gejala dapat sudah terlihat pada awal kehidupan dan dapat diperhatikan pada bulan-bulan awal kehidupan. Namun karena rendahnya pengetahuan terhadap gejala gangguan spektrum autisme, gangguan ini banyak terdiagnosis pada usia yang lebih tua, yaitu antara 32 sampai 89 bulan.

Padahal, semakin dini diagnosis ditegakkan, maka semakin dini pula terapi diberikan sehingga diharapkan memberikan hasil akhir yang lebih baik. Oleh karena itu, dibutuhkan pengetahuan dan kepekaan dalam mengenal gangguan spektrum autisme.

Untuk deteksi dini gangguan spektrum autisme, diperlukan peran orangtua yang lebih peka untuk memperhatikan tumbuh kembang anaknya. Orangtua perlu mengetahui bagaimana tumbuh kembang normal seorang anak terutama yang sesuai dengan usia anak mereka. Cara paling mudah adalah membandingkan tumbuh kembang anak dengan anak-anak lain yang mempunyai kelompok usia yang sama.

Namun, adanya perbedaan tumbuh kembang dengan anak sebayanya bukan berarti anak tersebut pasti mengalami gangguan spektrum autisme. Anak dengan gangguan spektrum autisme menunjukkan tanda dan gejala yang khas, yaitu adanya perbedaan kualitas berinteraksi sosial dan komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, serta menunjukkan perilaku dan minat yang terbatas, berulang-ulang dan tidak bertujuan.

Tanda yang harus diwaspadai

Berikut ini, tanda-tanda yang harus diwaspadai dan diperhatikan dalam mendeteksi anak dengan gangguan spektrum autisme.

Pada usia 12 bulan, anak belum mampu berceloteh, menunjuk mainan atau makanan dengan satu jari, belum mampu melakukan gerakan yang bertujuan, misalnya menggapai mainan. Pada usia 18 bulan, anak belum mampu mengucapkan kata bermakna (misalnya mama, papa) atau anak hanya bergumam atau berceloteh. Pada usia 24 bulan, anak belum mampu membentuk dua kata, bukan hasil meniru orang lain. Anak dengan gangguan spektrum autisme tidak menunjukkan kualitas kemampuan berbahasa atau interaksi sosial sesuai usia perkembangannya.

Jika anak dengan gangguan spektrum autisme menginginkan sesuatu, ia cenderung tidak menyebutkannya. Ia lebih sering menggerakkan tangan pengasuhnya untuk mengambil barang tersebut. Anak dengan gangguan spektrum autisme ada yang tidak berbicara verbal sama sekali sehingga sering kali disalah-mengerti dengan bisu atau gangguan pendengaran oleh orangtuanya, dan ada juga yang mengulang-ulang kata-kata yang ia dengar.

Ketidakmampuan untuk memahami bahasa yang tersirat juga dialami oleh anak dengan gangguan spektrum autisme. Ia tidak dapat menangkap arti perkataan, perbuatan, dan emosi yang tersirat sehingga menyulitkan untuk membina hubungan dengan orang lain. Saat berbicara pun, anak dengan gangguan spektrum autisme sering memiliki ritme atau intonasi yang tidak biasa sehingga nada bicara terdengar monoton. Anak dengan gangguan spektrum autisme juga menunjukkan perilaku yang terbatas dan berulang-ulang, misalnya memutar-mutar balok, menyusun balok dalam urutan warna tertentu atau sangat melekat dengan benda-benda tertentu.

Tanda dan gejala gangguan spektrum autisme memiliki manifestasi yang berbeda tiap anak sehingga tidak semua anak dengan gangguan spektrum autisme memiliki gejala yang sama. Beberapa anak menunjukkan gejala yang khas, tapi ada beberapa anak tidak menunjukkan gejala yang khas. Meskipun gangguan spektrum autisme memiliki tiga gejala khas yaitu gangguan dalam kualitas interaksi dan komunikasi sosial, serta melakukan tindakan berulang-ulang, sangat mungkin jika seorang anak dengan gangguan spektrum autisme hanya menunjukkan gangguan pada satu atau dua aspek, sedangkan aspek lainnya tidak terlalu terhambat.

Derajat keparahan

Berdasarkan DSM 5, derajat keparahan gangguan spektrum autisme dibagi menjadi derajat keparahan level 1, 2, dan 3.

Derajat keparahan level 1 membutuhkan dukungan, yaitu mengalami kesulitan dalam memulai komunikasi dan membuka pembicaraan jika tidak mendapatkan bantuan. Anak dapat berbicara satu kalimat penuh dan dapat memulai pembicaraan meskipun terkadang gagal dan tampak aneh, menunjukkan perilaku yang tidak luwes, dan mengalami kesulitan saat harus mengganti aktivitasnya.

Derajat keparahan level 2 cukup membutuhkan bantuan yang mendasar, yaitu mengalami ketidakmampuan bermakna dalam berkomunikasi sosial yang terlihat meskipun sudah mendapatkan bantuan. Anak dapat mengucapkan satu kalimat sederhana, tetapi kemampuan interaksi terbatas karena keterbatasan minat terhadap hal tertentu dan memulai pembicaraan, menunjukkan perilaku tidak fleksibel dan sulit untuk menyesuaikan diri.

Derajat keparahan level 3 sangat membutuhkan bantuan pada aktivitas yang mendasar, yaitu mengalami ketidakmampuan berat dalam berkomunikasi sosial, memiliki keterbatasan dalam memulai pembicaraan, dan hanya dapat bereaksi minimal terhadap pembicaraan tersebut. Anak hanya mengetahui beberapa kata dan sangat jarang memulai pembicaraan. Ia hanya melakukan pendekatan jika ada hal yang dibutuhkan dan hanya berespons terhadap pendekatan yang sangat langsung, menunjukkan tingkah laku yang kaku dan sangat sulit menyesuaikan diri jika terdapat perubahan lingkungan.

Dengan mengetahui tanda awal gangguan spektrum autisme, diharapkan masyarakat dapat lebih peka dalam mengenali gejala tersebut, terutama bagi profesi kesehatan, baik dokter maupun perawat, serta profesi yang banyak berinteraksi dengan anak, misalnya guru, pekerja di tempat penitipan anak, pengasuh anak.

Apabila seorang anak diduga mengalami gangguan spektrum autisme, bawalah segera ke pusat-pusat pelayanan yang memiliki pelayanan psikiatri anak dan remaja, misalnya Unit Rawat Jalan Terpadu di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Psikiater anak akan melakukan pemeriksaan, menegakkan diagnosis, dan memberikan tatalaksana yang sesuai dengan kebutuhan anak dengan gangguan spektrum autisme. Diagnosis ditegakkan berdasarkan wawancara dengan orangtua, observasi pada anak dengan menilai kemampuan kognitif, berbicara, dan berbahasa.

Saat ini, belum ditemukan cara untuk menyembuhkan anak dengan gangguan spektrum autisme. Tatalaksana yang ada saat ini ditujukan untuk mengurangi gejala gangguan spektrum autisme sampai mencapai kemandirian pada anak. Tatalaksana bersifat individual yang dapat berbeda pada masing-masing anak. Hal ini disebabkan tatalaksana yang diberikan disesuaikan dengan aspek yang paling mengganggu dalam kehidupan sehari-hari dan tergantung dengan derajat keparahan.

Tatalaksana dengan obat dan tanpa obat

Tatalaksana yang diberikan bersifat terstruktur dengan target yang jelas disertai dengan evaluasi untuk mengoptimalkan hasil yang dicapai. Anak dengan gangguan spektrum autisme membutuhkan lingkungan yang mendukung proses belajar dan terapi. Tatalaksana harus dilakukan secara rutin dan terus-menerus. Saat ini, tatalaksana untuk anak dengan gangguan spektrum autisme dapat berupa pendekatan dengan obat dan tanpa obat.

Tatalaksana dengan obat biasanya diberikan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa pada anak yang menunjukkan masalah emosi dan perilaku yang cukup berat, misalnya perilaku melukai diri sendiri, perilaku agresif terhadap orang lain, perilaku hiperaktif, atau emosi yang sulit dikontrol, dan mengganggu proses terapi lain yang dijalankan bagi anak.

Masalah emosi dan perilaku yang disebutkan di atas terjadi akibat ketidakseimbangan berbagai senyawa kimiawi di otak, seperti dopamin, epinefrin, dan nonepinefrin. Masalah perilaku ini sering kali menyulitkan orangtua dan guru dalam proses belajar pada anak dengan gangguan spektrum autisme. The US Food and Drug Administration (US FDA) telah menyetujui keamanan pemberian obat risperidone dan aripiprazole untuk digunakan pada anak dan remaja dengan gangguan spektrum autisme yang memiliki gangguan emosi dan perilaku.

Anak dengan gangguan spektrum autisme yang memiliki masalah perilaku yang sama belum tentu memberikan respons yang sama dengan pemberian obat yang sama. Hal ini dikarenakan adanya ekspresi genetik yang berbeda dan mungkin juga karena anak dalam fase perkembangan yang berbeda. Umumnya sekitar 48–56 persen anak dengan gangguan spektrum autisme memberikan respons baik dalam terapi obat. Dengan terapi obat, diharapkan gangguan perilaku anak dengan gangguan spektrum autisme dapat diatasi sehingga dapat berfungsi optimal di rumah, sekolah, atau tempat lainnya.

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum, selama, atau sesudah anak dengan gangguan spektrum autisme mendapatkan obat oleh karena itu dibutuhkan pemantauan yang berkesinambungan. Orangtua perlu berdiskusi dengan dokter spesialis kedokteran jiwa untuk mengetahui dengan jelas target terapi obat yang diberikan. Misalnya, jika terapi obat diberikan untuk mengatasi perilaku hiperaktif, perlu didiskusikan perilaku hiperaktif seperti apa dan kapan evaluasi perbaikannya, serta berapa intensitas yang ingin dicapai dengan pemberian obat tersebut.

Selain itu, efek samping obat perlu dijelaskan kepada orangtua agar bisa memahami efek yang tidak diharapkan tersebut. Orangtua juga sebaiknya melakukan pencatatan perubahan yang terjadi sehingga perubahan yang bukan merupakan target pengobatan dapat dideteksi sedini mungkin. Apabila tidak dijumpai adanya perbaikan sesuai target pengobatan, pengobatan perlu dievaluasi lebih lanjut.

Terdapat beberapa jenis tatalaksana tanpa obat yang dapat diberikan untuk anak dengan gangguan spektrum autisme dan pemberian tentunya disesuaikan dengan masalah yang dihadapi masing-masing anak. Tatalaksana tanpa obat yang ada antara lain, terapi okupasi, terapi wicara dan berbahasa, Applied Behavioural Analysis (ABA), dan terapi lainnya.

Fokus terapi okupasi untuk meningkatkan kemampuan motorik halus dan atau kasar serta kemampuan sensorik. Terapi wicara diberikan pada anak dengan gangguan spektrum autisme yang mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi. Pada anak dengan gangguan berbahasa berat, maka diperlukan media komunikasi dengan menggunakan gambar dan bahasa isyarat. Komunikasi dengan gambar dapat meningkatkan kemampuan komunikasi anak terutama jika dimulai dari usia dini.

Anak dengan gangguan autisme juga dilatih untuk memahami struktur bahasa yang lebih kompleks sehingga memudahkan komunikasi dengan sekitarnya. Terapi ABA digunakan untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi sosial, mempelajari kemampuan sosial dan perilaku yang dapat diterima masyarakat. Anak dengan gangguan spektrum autisme juga dilatih bagaimana sebaiknya berinteraksi dengan orang lain, berkomunikasi dan menunjukkan perhatian kepada orang lain.

Mengasuh anak dengan gangguan spektrum autisme bukan hal yang mudah untuk orangtua. Orangtua sering kali merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan anak dengan gangguan spektrum autisme. Orangtua diharapkan turut serta dalam merencanakan tatalaksana dan terlibat dalam tatalaksana tersebut. Penting bagi orangtua untuk memastikan bahwa anak dapat mempraktekkan keterampilan yang didapat selama proses terapi oleh karena waktu yang dihabiskan bersama keluarga lebih banyak dibandingkan bersama terapis.

Dalam hal ini, keterlibatan orangtua sangat memengaruhi kesuksesan tatalaksana anak dengan gangguan spektrum autisme dalam mengurangi gejala dan meningkatkan kemampuan komunikasi. Pendidikan untuk anak dengan gangguan spektrum autisme sebaiknya dimulai sedini mungkin untuk mengembangkan keterampilan sosial, komunikasi, serta pengembangan diri dan akademis.

Lingkungan pendidikan yang sesuai

Lingkungan pendidikan yang tidak mengikat dinilai tepat untuk anak dengan gangguan spektrum autisme. Orangtua juga akan berdiskusi dengan dokter spesialis kedokteran jiwa untuk menentukan tipe sekolah seperti apa yang cocok untuk anak dengan gangguan spektrum autisme. Guru yang terlibat pun diharapkan sudah mendapat pelatihan dan berpengalaman dalam mengajar anak dengan gangguan spektrum autisme.

Memaksakan anak dengan gangguan spektrum autisme untuk bersekolah di sekolah umum sering kali memberikan tekanan, baik bagi anak maupun keluarga. Fokus pendidikan anak dengan gangguan spektrum autisme tidak ditujukan untuk mengejar nilai akademis, melainkan untuk mengembangkan potensi dan perkembangan mental anak.

Untuk mengembangkan potensi anak dengan gangguan spektrum autisme, diperlukan pemahaman mengenai tanda dan gejala yang dialami anak tersebut agar bisa mendapatkan intervensi yang optimal. Pembelajaran yang tepat perlu disesuaikan dengan perkembangan usia dan mental anak dengan gangguan spektrum autisme.

Anak-anak dengan gangguan spektrum autisme, pengembangan difokuskan pada kemampuan untuk merawat diri sendiri, kemampuan untuk berkomunikasi baik verbal maupun nonverbal, dan interaksi sosial dengan teman-temannya. Sedangkan saat remaja, pembelajaran difokuskan pada memahami perasaan diri, seksualitas, menjalin hubungan pertemanan, mengembangkan kemampuan akademis untuk hidup mandiri, maupun persiapan menghadapi dunia kerja.

Anak dengan gangguan spektrum autisme yang memiliki kesulitan intelektual membutuhkan lebih banyak penyesuaian. Pendidikan yang diberikan pada anak-anak ini lebih difokuskan pada pengembangan akademis yang perlu disesuaikan dengan kecepatan belajar anak. Pada anak dengan gangguan spektrum autisme yang memiliki kemampuan akademis yang baik dapat melanjutkan pendidikannya hingga ke SMA atau perguruan tinggi.

Cukup banyak anak dengan gangguan spektrum autisme yang sudah menyelesaikan pendidikan sampai ke tingkat sarjana dan bekerja. Walaupun demikian, sering kali dalam proses menempuh pendidikannya, mereka memerlukan pendampingan karena mereka mengalami kesulitan untuk komunikasi dan interaksi sosial, misalnya ketika mereka perlu mengerjakan tugas kelompok atau melakukan presentasi di depan kelas. Dukungan sekolah dan dukungan keluarga dapat memberikan harapan yang lebih baik pada anak dengan gangguan spektrum autisme.

Sebagai kesimpulan, gangguan spektrum autisme merupakan suatu gangguan perkembangan yang perlu mendapat perhatian serius oleh karena gejala-gejala bersifat kompleks dan deteksi dini merupakan salah satu kunci keberhasilan tatalaksana.

Selesainya penyusunan artikel ini berkat bantuan Hibah Program Pengabdian Kepada Masyarakat Aksi UI Untuk Negeri.