Menari bukan sekadar bergerak. Menari adalah komunikasi intim antara diri sendiri dengan tubuh dan jiwa. Menciptakan energi untuk menjalani keseharian dengan lebih positif.

Pengalaman bahwa menari memberikan spirit yang baru itu dirasakan salah satunya oleh Chrystina Binol. Ia adalah salah satu pengurus dan penata tari Sanggar Mawar Budaya yang berbasis di Jakarta. Pada 2012, ia divonis kanker payudara.

Dalam masa-masa pengobatannya, Chrystin tidak berhenti menari. Bahkan, ia masih menyempatkan diri mengajar tari. Ia juga mengikuti pentas dari di Kazakstan beberapa waktu setelah kemoterapi. “Waktu itu kulit saya menghitam, tubuh kelihatan kuyu, dan kepala saya masih nyaris botak. Rambut saya segini,” kata Chrystin sambil merapatkan ibu jari dan telunjuknya, menunjukkan betapa tipis rambutnya saat itu. Bagi Chrystin, menari menjadi salah satu sumber energinya.

Foto-foto dokumen Sanggar Mawar Budaya

Energi itu jugalah yang dibawa Chrystin dalam mengelola Mawar Budaya. Berdiri sejak 1990, sanggar ini mencoba mementaskan karya pergelaran mandiri dengan tajuk “Tiada Batas” pada usianya yang ke-28 ini. Sebelumnya, Mawar Budaya telah menghasilkan berbagai karya tari Betawi dan tari tradisi dari daerah lain di Indonesia serta berulang kali mendapatkan penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri.

Tak sekadar menghadirkan pertunjukan, Mawar Budaya ingin pergelaran ini sekaligus bisa menjadi sarana untuk berbagi. Oleh karena itu, Mawar Budaya melibatkan komunitas Cancer Information and Support Center (CISC) dalam pagelaran tari. Bentuk berbagi yang lain adalah dengan donasi dari sponsor untuk pertunjukan ini.

Memaknai perjuangan

Pergelaran Tiada Batas dipentaskan pada 28 September 2018 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dalam program Gelar Seni Pertunjukan Tradisi TMII. Di sini Mawar Budaya menggabungkan berbagai unsur seni seperti seni suara, gerak/tari, teater, pantun bertutur, dan bela diri. Tari yang ditampilkan antara lain Tari Nindak Ondel-ondel & Tari Lenggang Putri, Tari Topeng Tigen (Tiga Generasi), Tari Lenggang Nyai, serta Drama Tari Tuan We dan Dasima.

Tari Lenggang Nyai dibawakan oleh delapan orang penyintas kanker dari CISC. Chrys bercerita, rasa bahagia dari menari akan menjadi terapi penyembuhan bagi para penyintas, sebagai kekuatan untuk melawan keganasan sel kanker. “Kami ingin menyampaikan bahwa vonis kanker bukanlah akhir dari segalanya,” kata Chrystin.

Armadhyta, salah satu anggota komunitas CISC yang juga menarikan Lenggang Nyai bercerita, ia mulanya tak begitu suka menari. Namun, di CISC ia jadi menikmati menari karena Chrystin kerap mengajar tari di sana. Setelah rutin menari, Dhyta merasakan perubahan positif. Secara fisik ia merasa lebih sehat, daya ingatnya juga terasah. Yang lebih penting, ia bisa memotivasi para penyandang atau penyintas kanker di sekitarnya untuk punya daya juang dan tetap menikmati hidup.

Pada pergelaran ini, Chrystin juga dengan sadar memilih menampilkan drama yang terinspirasi kisah Nyai Dasima. Dasima adalah sosok yang punya jalan hidup tidak mudah, tetapi diceritakan tidak pernah menyerah. “Perjuangan Dasima sejalan dengan perjuangan penyandang kanker dan juga Mawar Budaya sendiri selama 28 tahun. Tentu ada cinta dan pengorbanan di sana,” kata Chrystin.

Saat ini, Mawar Budaya terus menebarkan energi positif lewat tarian. Sanggar ini juga tetap kon­sisten mengenalkan dan melestarikan budaya lokal melalui seni tari kepada para generasi muda. “Visi kami di bidang pendidikan. Kami ingin generasi usia dini bisa menarikan tari tradisi seutuhnya, dengan menghayati dan memaknainya,” kata Chrystin. [Fellycia Novka Kuaranita]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 8 Oktober 2018.