Kamera analog masih diminati di tengah perkembangan fotografi digital. Beberapa merek dan tipe kamera seperti Nikon FM2, Canonet, Olympus Mju, dan Leica M yang boleh jadi dulu ditinggalkan, sekarang jadi incaran. Begitu pula dengan produk lain, mulai dari film, pemindai negatif, bulk loader, hingga reverse ring yang bisa “mengubah†lensa biasa menjadi lensa makro juga jadi buruan.
Sulit menampik bahwa saat ini kamera analog sedang naik daun, mengiringi perkembangan media sosial sebagai wadah untuk pamer alat atau kamera serta hasil jepretan. Media sosial juga menghubungkan pengguna kamera analog dari lain kota, lain pulau, hingga lain negara. Bentuk kamera analog yang unik dan terlihat lawas menjadi daya tarik.
Mengiringi hal tersebut, toko-toko kamera di Harco Pasar Baru, Jakarta Pusat pun diramaikan oleh penggiat fotografi analog. Di sanalah antara lain mereka bisa mencari kamera analog antik dari bermacam merek dan tahun pembuatan.
Di tengah kemajuan teknologi, kamera dan aksesori kamera analog memang bisa juga didapat melalui situs penjualan daring maupun di media sosial. Namun, kehadiran toko fisik menjadi wahana untuk ngobrol bertukar ilmu dan pengalaman seputar fotografi.
“Fotografi analog memang dirasakan semakin ramai beberapa tahun terakhir. Pehobinya bukan cuma orang tua. Ada juga anak-anak muda atau mahasiswa yang ingin mencoba memotret dengan kamera analog. Mungkin mereka bosan memotret dengan kamera digital. Internet memang memudahkan jual-beli, tapi sebuah toko fisik bagi saya ibarat base tempat orang berkumpul,†kata Eka Raspratama, pemilik toko MainKamera di kawasan tersebut.
Mereka yang menggeluti fotografi analog, seperti dikatakan Eka, biasanya punya cerita yang unik tentang kamera yang dimiliki. Bisa karena kamera itu adalah warisan dari kakek atau orangtua atau bisa juga karena kamera itu didapat setelah berburu selama bertahun-tahun.
“Seperti ini, Leica IIIcK. Saya beli Rp 300 ribu di pasar loak. Setelah saya cek serial number, ternyata itu seri militer Jerman tahun 1945. Terus cek di eBay, harganya berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 200 juta, tergantung kondisi,†kata Eka.
Proses dan pindai
Dibandingkan dengan kamera digital, memotret menggunakan kamera analog memang lebih rumit. Dari proses pemotretan saja, seorang juru foto harus cermat mempertimbangkan sudut pengambilan, komposisi, serta pengaturan rana dan shutter speed kalau tidak mau ada frame yang terbuang. Setelah itu, harus ada proses cuci-cetak atau scan untuk bisa melihat hasil jepretan.
Penyedia jasa cuci-scan film saat ini cukup langka, tetapi bukan berarti tidak ada. Di Jakarta, ada beberapa tempat yang menawarkan jasa tersebut, dengan kualitas dan biaya yang bervariasi. Tak luput di Bandung, ada Hipercatlab yang berdiri lantaran orang kesulitan mendapatkan jasa cuci-scan film hitam-putih yang mudah dan murah.
“Saat ini, kami menangani jasa proses dan scan. Cetaknya belum. Cetak manual (di kamar gelap) masih memungkinkan untuk dilakukan, tapi secara ekonomis biayanya mahal. Biasanya yang cetak manual adalah pemain pro dan mereka biasanya cetak sendiri karena sebuah foto untuk dicetak manual, banyak detail yang harus diperhatikan,†kata Muhammad Fajar Hidayat, pemilik sekaligus yang menjalankan Hipercatlab.
Dengan banderol harga Rp 30–Rp 30 ribu untuk film hitam-putih dan Rp 40 ribu untuk film warna, Hipercatlab pun menggunakan internet dan media sosial untuk “berjualanâ€. Seperti dikatakan Fajar, 95 persen pelanggannya mengenal Hipercatlab dari media sosial dan internet, selebihnya dari mulut ke mulut. [ASP]
noted:Â Dulu Ditinggalkan Kini Jadi Incaran