Dua prasasti bersejarah, Prasasti Talang Tuo dan Prasasti Tugu, mencatat hubungan erat antara manusia dan alam. Keduanya tidak hanya menggambarkan kemampuan manusia Nusantara dalam mengelola alam demi kesejahteraan bersama, tetapi juga memberikan perspektif baru tentang harmoni antara manusia dan lingkungan.
Dari kedua prasasti itu, kita melihat usaha manusia masa lalu untuk menciptakan keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan. Sebuah nilai yang masih relevan hingga saat ini.
Dalam sejarah, sering kali diceritakan bagaimana manusia menaklukkan alam: dari penemuan api hingga revolusi industri, manusia terus mengubah dunia sekitarnya. Di satu sisi, perubahan ini membawa kemajuan yang luar biasa bagi peradaban manusia.
Namun, di sisi lain, kita juga menyaksikan dampak negatifnya—hutan yang hilang, perubahan iklim, dan kepunahan spesies. Era yang kita kenal sebagai antroposen menggarisbawahi dominasi manusia terhadap alam, sering kali mengabaikan keberadaan makhluk hidup lain yang turut berbagi kehidupan di planet ini.
Prasasti Talang Tuo dan Prasasti Tugu, dua peninggalan bersejarah yang kini tersimpan di Museum Nasional. Keduanya mencatat usaha manusia Nusantara dalam mengelola alam secara bijak. Bahkan, pesan yang terkandung di dalamnya bisa dijadikan bahan refleksi bagi manusia modern mengenai apa sebenarnya arti kesejahteraan, dan untuk siapa kesejahteraan itu dimaksudkan.
Prasasti Tugu: membangun irigasi dan mengatur air
Bagi manusia Nusantara, air adalah bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Di mana pun kita melangkah, air selalu menjadi bagian dari lanskap alam—baik itu sungai, danau, pesisir, maupun laut. Bahkan, banyak peradaban besar di Nusantara tumbuh dan berkembang di dekat sumber air.
Contohnya, Sriwijaya, kerajaan maritim terbesar di Nusantara, didirikan di tepi Sungai Musi. Sementara Kerajaan Tarumanegara yang dipimpin Raja Purnawarman juga meninggalkan jejak di sekitar sungai-sungai di Jawa Barat.
Prasasti Tugu mencatat salah satu proyek monumental Raja Purnawarman, yakni pembangunan irigasi sepanjang 12 kilometer yang selesai dalam waktu 21 hari. Pembangunan irigasi ini diperkirakan melibatkan ribuan tenaga kerja dan bertujuan untuk mengatur aliran air dari pegunungan serta mengatasi banjir di wilayah kerajaan.
Lokasi persis kanal ini masih menjadi teka-teki hingga kini. Beberapa ahli berpendapat, kanal tersebut mungkin berada di Bekasi. Sementara yang lain berkeyakinan lokasinya berada di sekitar tempat ditemukannya prasasti, yaitu di daerah Tugu, Jakarta Utara. Yang jelas, proyek tersebut mencerminkan usaha manusia dalam mengelola air demi kesejahteraan masyarakat, baik untuk mengairi lahan pertanian maupun mencegah banjir.
Dalam konteks modern, tantangan yang dihadapi Raja Purnawarman mungkin tidak jauh berbeda dengan yang dihadapi pemerintah Jakarta saat ini, yaitu bagaimana mengatasi limpahan air dari pegunungan dan aliran sungai yang mengarah ke ibu kota. Dengan membangun kanal Candrabagha dan Gomati, Purnawarman berusaha menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, agar air yang melimpah menjadi berkah, bukan bencana.
Prasasti Talang Tuo, taman untuk semua makhluk
Di sisi lain, Prasasti Talang Tuo yang ditemukan di Palembang, Sumatera Selatan, mencatat inisiatif Raja Sriwijaya, Sri Jayanasa, dalam membangun sebuah taman bernama Sri Ksetra. Taman ini bukan sekadar tempat rekreasi bagi manusia, tetapi juga dirancang untuk menyediakan manfaat bagi semua makhluk hidup, termasuk satwa dan tumbuhan.
Tertanggal 23 Maret 684 masehi, Prasasti Talang Tuo mencatat pembangunan taman tersebut yang dilengkapi dengan bendungan dan kolam untuk mengatur distribusi air. Ini dilakukan untuk memastikan tanah tetap subur dan pasokan air bersih terjamin bagi masyarakat. Namun, yang menarik dari prasasti ini adalah isi pesannya yang tidak hanya berfokus pada kesejahteraan manusia, melainkan juga kesejahteraan seluruh ekosistem.
Dalam prasasti ini, kata “sejahtera” atau “kemakmuran” menjadi pembuka, sebuah konsep yang tidak hanya mencakup manusia, tetapi juga seluruh makhluk hidup. Di dalamnya tertulis harapan agar taman tersebut dapat menjadi tempat bagi berbagai pohon—seperti kelapa, pinang, dan aren—serta menyediakan makanan bagi satwa. Ini adalah refleksi yang sangat berbeda dari cara pandang modern yang sering kali melihat alam hanya sebagai sumber daya untuk dieksploitasi.
Sri Jayanasa tampaknya memahami pentingnya menjaga keseimbangan alam. Pembangunan taman Sri Ksetra menunjukkan komitmennya untuk mendekatkan diri dengan alam, sebuah prioritas yang tampak jelas dari waktu pembangunannya yang hanya berselang dua tahun dari keberhasilan ekspedisi militer ke wilayah yang dianggap sebagai cikal bakal ibu kota Sriwijaya.
Dalam tradisi Buddha, taman memiliki makna yang mendalam. Selain sebagai tempat rekreasi, taman juga berfungsi sebagai tempat meditasi dan refleksi spiritual. Taman Sri Ksetra mungkin dimaksudkan untuk menjadi tempat yang indah bagi warga, tapi lebih dari itu, taman ini juga berfungsi sebagai ruang untuk menjalankan aktivitas keagamaan dan spiritual. Ini sejalan dengan ajaran Buddha yang menekankan pentingnya harmoni antara manusia dan alam.
Refleksi untuk masa kini
Prasasti Talang Tuo dan Prasasti Tugu memberikan kita pelajaran berharga tentang bagaimana nenek moyang kita melihat hubungan antara manusia dan alam. Bagi mereka, alam bukan hanya sesuatu yang bisa dieksploitasi, tetapi sesuatu yang harus dijaga dan dihargai. Mereka memahami bahwa kesejahteraan manusia tidak bisa dipisahkan dari kesejahteraan lingkungan.
Pesan dari kedua prasasti ini relevan bagi kita yang hidup di era antroposen, tatkala manusia sering kali merasa superior atas alam. Namun, seperti yang diajarkan oleh Prasasti Talang Tuo, kesejahteraan yang sejati hanya bisa tercapai jika kita juga memperhatikan kesejahteraan seluruh ekosistem, bukan hanya kepentingan manusia semata.
Kita diajak untuk merenungkan kembali, untuk mencapai harmoni, keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian alam menjadi kunci utama.