Sebagian besar masyarakat Indonesia masih bergantung pada nasi sebagai sumber karbohidrat utama keseharian. Itulah sebabnya, hampir setiap hari kita mendengar percakapan “khas” seperti “Belum makan, nih karena belum makan nasi.”

Seperti dilansir dari Balai Besar Pelatihan Pertanian Ketindan, beras merupakan komponen utama dalam konsumsi energi per kapita sebesar 54 persen dalam pola makan masyarakat Indonesia. Dominasi ketergantungan pada satu jenis pangan tertentu ini secara bertahap harus dikurangi.

Melihat ketergantungan tersebut banyak pihak berinovasi mencari alternatif pangan selain beras padi. Hal ini salah satunya dilakukan dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus penemu beras analog, Prof Slamet Budijanto.

Alternatif pangan

“Beras analog diciptakan berawal dari keprihatinan Prof Slamet terhadap ketergantungan masyarakat Indonesia pada konsumsi beras padi. Selain itu, Prof Slamet melihat begitu banyaknya alternatif pangan sumber karbohidrat yang tumbuh di Indonesia dan belum dimanfaatkan secara maksimal,” ungkap Junior Food Product Developer PT FITS Mandiri Arintiara Ramadhyastasari (Tasya) saat ditemui di lokasi pembuatan beras analog di Bogor, Rabu (18/1).

Sekadar untuk diketahui, PT FITS Mandiri beroperasi di bawah naungan PT Bogor Life Science and Technology (holding company of IPB). Tasya menuturkan, tujuan Prof Slamet mengembangkan beras analog adalah agar produk ini bisa memberikan pilihan pangan pokok selain beras padi dengan keunikan memiliki bentuk seperti bulir beras.

Kenapa disebut beras analog? Tasya menjawab, produk ini memiliki konsep seperti meat analog. Meat analog adalah konsep makanan yang dibentuk seolah-olah seperti daging, padahal terbuat dari protein nabati. Beras analog memiliki konsep serupa itu. Bentuknya mirip bulir beras padi, tetapi terbuat dari bahan pangan lain misalnya jagung.

 

“Beras analog yang kami produksi terbuat dari jagung berjenis BISI-2. Untuk menjamin kesetaraan mutu produk yang dihasilkan, kami menggunakan standar ukuran partikel tepung jagung (40 mesh) dan warna tepung jagung (oranye),” terang Tasya.

Selain jagung, beras analog sebenarnya bisa menggunakan tepung dari pangan sumber karbohidrat lain, seperti singkong. Jagung dipilih karena secara kandungan serat dan gizi sangat baik. Selain itu, Indonesia juga memiliki cukup banyak daerah penghasil jagung.

Kandungan gizi

Berdasarkan uji kandungan gizi yang dilakukan, dalam 100 gram beras analog jagung terdapat 77,42 karbohidrat; 12,04 kadar air; 10,34 serat pangan; dan 5,78 protein. Menariknya, dalam uji tersebut, produk ini tak terdeteksi adanya kandungan gula.

“Beras analog memiliki kandungan serat yang lebih tinggi dari beras padi (10,3 persen). Selain itu, berdasarkan penelitian mahasiswa IPB, beras analog memiliki nilai indeks glikemik rendah (52),” tambah Tasya.

Proses pembuatan

Produksi beras analog membutuhkan mesin ekstruksi khusus. Penulis sempat melihat langsung proses pembuatan produk ini di Bogor. Sebelum masuk ke lokasi pembuatan, pengunjung wajib menggunakan masker dan pakaian khusus. Hal ini bertujuan agar area produksi tetap steril.

Di dalam lokasi, terdapat beberapa mesin berukuran cukup besar. Mesin-mesin tersebut dioperasikan dua orang. Proses pembuatan produk diawali dari tahap pencampuran bahan baku tepung jagung. Proses ini menggunakan mesin dry mixing.

Setelah itu, pemasakan dan pencetakan dilakukan dengan mesin ekstruder yang menggunakan teknologi hot extrusion. Alat ini yang memproses tepung jagung sehingga bisa berbentuk bulir seperti beras padi. Kemudian, bulir beras analog dikeringkan menggunakan mesin drying oven. Terakhir, bulir tersebut didinginkan dengan fan cooler.

Tasya menjelaskan, beras analog sebanyak 1 kilogram bisa dihasilkan dari 0,94 kilogram tepung jagung. Artinya, hanya sedikit ampas tepung jagung yang terbuang. Kapasitas mesin produksi beras analog adalah 400 kilogram per hari. Hal ini dengan catatan 5 jam kerja dengan 1 kali pergantian kerja. Namun, angka ini masih 20 persen dari kapasitas mesin yang sebenarnya.

Cara memasak

Beras analog bisa dinikmati dengan cara ditanak seperti nasi biasa. Uniknya, produk ini bisa dimasak tanpa perlu dicuci terlebih dahulu. Hal ini karena beras analog sudah matang saat diolah dengan menggunakan mesin ekstruder.

Cara memasaknya juga cukup mudah. Jika menggunakan rice cooker, didihkan air lalu masukkan beras analog, aduk sebentar, lanjut tekan cook hingga matang. Jika menggunakan kompor gas, caranya didihkan air, masukkan beras analog, aduk sebentar, lalu biarkan hingga matang dalam keadaan api tetap menyala. Perlu diingat takaran yang digunakan adalah 1:1. Perbandingan ini berdasarkan volume, bukan berat.

Setelah ditanak, beras analog memiliki tekstur yang empuk sangat mirip dengan nasi putih. Bagaimana dengan rasanya? Kita akan mendapati rasa yang khas, yaitu hambar, tak ada kesan manis, dan beraroma jagung. Daya tahannya juga tak jauh berbeda dengan nasi putih.

Baca Juga: 5 Alternatif Makanan Pengganti Nasi yang Baik untuk Tubuh  

Di pasaran, beras analog jagung dijual dengan harga Rp 30.000 per 800 gram. Produk ini salah satunya bisa ditemui di gerai Serambi Botani, Botani Square, Bogor. Selain rasa original, tersedia juga bubur analog jagung dengan variasi, contohnya rawon, soto daging, dan soto ayam.

“Melalui beras analog, kami ingin masyarakat bisa mengenal pangan pokok selain beras padi yang lebih menyehatkan karena kandungan seratnya yang tinggi dan nilai indeks glikemiknya rendah,” tutup Tasya. [INO JULIANTO]