Kangkung, bayam gendola, daun semanggi, dan beberapa buah cabai rawit yang baru dipetik berjajar di atas tampah bambu. “Kami mau masak pecel hari ini. Sayurannya mengambil dari kebun sendiri,” ujar Sri Murniati Djamaludin (70), Selasa (26/5) pagi.

Gaya hidup semacam itu—memenuhi sendiri kebutuhan sayuran—sudah beberapa tahun dipraktikkan Sri Murniati dan suaminya, Djamaludin Suryohadikusumo (81). Makanan diolah dalam rantai yang tak putus. Mereka mengonsumsi sayuran hasil berkebun, menjadikan sisa-sisa olahannya sebagai kompos, dan menggunakan kembali kompos itu untuk menyuburkan sayuran yang mereka tanam.

“Kebetulan di samping rumah kami ada tanah dari pengembang yang tidak digunakan, masih kosong. Kami berniat menyewanya. Namun, pengembang malah mempersilakan kami menggunakannya. Kami pun menjadikan tanah ini sebagai fasilitas umum, tempat orang bisa belajar membuat kompos dan menanam sayuran atau tanaman obat,” cerita Djamaludin. Sejak 2006, Menteri Kehutanan RI periode 1993–1998 ini pun mengubah lahan yang awalnya mangkrak menjadi Kebun Karinda.

Karinda merupakan singkatan dari Karang Indah. Ya, kebun ini berada di perumahan Bumi Karang Indah, bilangan Lebak Bulus, Jakarta. Di kebun ini, tumbuh beragam sayuran dan tanaman obat. “Kami sampai tidak tahu berapa jenis tanaman yang tumbuh di sini, mungkin sekitar 70,” ujar Sri.

Lahan seluas 300 meter persegi itu menjadi tempat bertumbuh yang subur untuk sawi, bayam, kangkung, kumis kucing, daun sembung, lidah buaya, jinten, pohon tin, binahong, jati belanda, cincau, temulawak, jahe, kunyit, dan bermacam tanaman lain. Sejumlah tanaman dirambatkan, yang lain ditanam di tanah atau disusun di pot secara vertikal untuk menghemat penggunaan lahan.

Berbagi pengetahuan

Disadari benar oleh pasangan suami-istri Djamaludin, sampah merupakan salah satu persoalan terbesar di banyak perumahan. “Sayang, belum banyak yang tergerak untuk mengolah sendiri sampahnya. Mereka merasa sudah iuran untuk kebersihan dan tahu beres ketika tukang sampah sudah mengangkut sampah,” tutur Djamaludin.

Padahal, persoalan tak serta-merta selesai karena sampah hanya menumpuk di tempat penampungan. Jika setiap keluarga mau bergerak, masalah sampah pelan-pelan akan terurai. Pengomposan secara mandiri akan mengurangi volume sampah organik rumah tangga sehingga sampai 70 persen. Pencemaran akibat sampah yang dibakar dibuang begitu saja ke tanah atau pun akan berkurang.

Pasangan Djamaludin tidak menyimpan sendiri pengetahuan yang mereka punya. Sebaliknya, mereka aktif berbagi dengan warga serta berbagai komunitas tentang pembuatan kompos. Kelompok-kelompok yang ingin belajar dapat membuat janji dan berkunjung ke Kebun Karinda.

“Kami memang sengaja mengundang mereka ke sini karena di sini ada alat praktiknya, mereka bisa melihat dan mencoba sendiri proses pembuatannya. Selain itu, mereka juga bisa melihat hasilnya, sayur-sayuran yang tumbuh subur karena diberi kompos,” ujar Djamaludin.

Secara singkat, proses pengomposan dimulai dari pemilahan sampah organik: sampah dapur dan sampah kebun. Sampah dapur diproses di wadah yang tidak terlalu besar seperti keranjang cucian, gentong, atau ember. Jika sudah memiliki kompos matang, campur kompos tersebut dengan sampah dapur yang telah dicacah. Perbandingannya 1:1. Mikroba dalam kompos tersebut akan memancing fermentasi sampah. Jika belum memiliki kompos matang, sampah bisa dicampur dengan larutan mikroba, gula, dan air untuk membuat kompos awal.

Mirip dengan sampah dapur, sampah kebun sebaiknya dicacah dulu agar pengomposan berlangsung lebih cepat. Pisahkan sampah dedaunan dengan ranting karena ranting sulit terurai. Sampah kebun biasanya lebih banyak sehingga wadah yang diperlukan lebih besar. Wadah ini bisa dibuat dari bahan-bahan yang ada di sekitar kita, seperti batu bata, bambu, batako, atau drum. Jika memungkinkan, tambahkan 1 bagian kompos matang ke dalam 3 bagian sampah kebun sebelum bahan-bahan dimasukkan ke wadah.

Yang patut diperhatikan, adonan kompos perlu diaduk paling tidak seminggu sekali. Ini berfungsi mempercepat proses pengomposan serta menjaga adonan kembali panas dan dalam kondisi aerobik (mengandung oksigen agar bakteri tetap hidup). Hal ini juga membuat tumpukan tidak memadat sehingga tetap berpori dan aerasinya baik. Adonan pun tidak membusuk dan menimbulkan bau.

Dari kegiatan membuat kompos, relasi-relasi sederhana yang begitu manusiawi pun terbentuk. Pasangan Djamaludin terus-menerus berinteraksi dengan orang baru yang ingin belajar. “Orang-orang juga sering membantu kami mengumpulkan sampah organik. Pada sore hari, kadang tukang sayur keliling meninggalkan sisa-sisa sayurannya di dekat pagar agar bisa kami olah,” imbuh Sri.

Lebih dari sekadar berkebun dan membuat kompos, laku hidup yang dijalani pasangan Djamaludin setiap hari adalah wujud bakti kepada masyarakat, alam, dan Yang Kuasa. Mereka percaya, mengubah sampah menjadi kompos dan mengembalikannya ke tanah untuk menyuburkan tanaman berarti ibadah. Bentuk pelaksanaan amanah untuk merawat bumi. [NOV]

noted: berkebun berbagi berbakti