Sebuah perusahaan menganggap penting keberadaan merek dari produk-produk mereka. Bisa saja mereka membuat strateginya sendiri, tetapi bisa jadi hal tersebut malah mengganggu core business perusahaan itu. Terlebih lagi jika mereka belum menjadi sebuah perusahaan raksasa yang mampu mengurusi hal itu secara in-house. Hal itu membuat perusahaan menyadari betul pentingnya konsultan merek.
Aqmarina Awalianti (21), akrab disapa Antik, mengatakan, permintaan klien cukup banyak terkait permasalahan merek. Antik memberi contoh, seperti brand development, brand deployment, dan people engagement. Selain itu, ada pula perusahaan yang membutuhkan bantuan dalam menyusun strategi jangka panjang, pendekatan ke konsumen untuk meningkatkan brand awareness, dan brand association.
“Semua hal yang berkaitan dengan aktivitas branding juga menjadi kebutuhan klien. Misalnya, visual brand, aktivasi merek, hingga pemilihan brand ambassador. Itu semua menjadi pekerjaan para konsultan merek,” ujarnya.
Antik enjoy menjalani profesinya kendati dia masih “hijau” di dunia ini. Dia pun selalu merasa tertantang pada setiap proyek yang sedang dia kerjakan yang membuatnya selalu ingin belajar serta mengembangkan diri. Oleh karena itu, dia selalu berusaha meningkatkan kualitas dirinya, baik di bidang komunikasi maupun pengetahuan yang berkaitan dengan perusahaan yang dipegangnya.
Kemampuan meyakinkan klien dan menyampaikan pesan dengan baik dan sesuai juga penting. Antik menjelaskan, klien terkadang memiliki pemikirannya sendiri, tetapi di sinilah seorang konsultan ditantang untuk meyakinkan klien dalam menyampaikan rekomendasi.
“Yang menarik, bagi saya pribadi, bekerja sebagai konsultan merek adalah kita tahu bagaimana berpikir strategis dengan melihat tren pasar dan brand identity tersebut. Selain itu, hal menantang lainnya adalah saat dituntut memberikan rekomendasi dalam waktu yang singkat,” ucap perempuan yang hobi travelling ini.
Dengan menjadi brand consultant¸ Antik merasa dirinya dituntut menjadi pemikir (thinker) tidak hanya menjadi pelaku (do-er). Dia merasa dituntut berpikir end to end dan tidak hanya berpikir bagaimana atau dengan apa kita mengerjakan sesuatu, tetapi mengapa hal itu dapat terjadi dan apa sebabnya. [VTO]
foto: Aqmarina Awalianti