Kenalkah Anda dengan nama Bill Drayton, Muhammad Yunus, atau Blake Mycoskie? Mereka merupakan sedikit orang yang melakukan bisnis, tetapi juga beramal atau lebih dikenal sebagai wirausaha sosial (social entrepreneur). Bill Drayton merupakan orang yang mempromosikan istilah wirausaha sosial ini dan menyebarkannya ke seluruh dunia melalui Ashoka. Ashoka, sebuah organisasi nirlaba yang mendedikasikan diri untuk menemukan dan membantu wirausaha sosial di seluruh dunia.

Konsep wirausaha sosial ini sudah ada sejak era 1970-an, tetapi baru mulai marak belakangan ini, tak terkecuali di Indonesia. Lalu seperti apakah konsep wirausaha sosial itu? Merujuk pada situs web Pbs.org, ada penjelasan wirausaha sosial itu mengidentifikasikan dan menyelesaikan masalah sosial dalam skala yang besar. Jika wirausaha biasa menciptakan dan mentransformasikan seluruh aspek yang ada menjadi industri, wirausaha sosial berperan sebagai wadah untuk mencetak agen perubahan terhadap masyarakat. Tujuannya, meningkatkan sistem sosial dan bernilai sosial.

David Bornstein, penulis buku How to Change The World: Social Entrepreneur and the Power of New Ideas mengatakan, wirausaha sosial mengidentifikasi sumber dari permasalahan sosial. “Mereka melihat orang di pedesaan sebagai solusi, bukan sebagai keuntungan bersifat pasif. Mereka memulai dari kompetensi yang dimiliki komunitas yang dilayani.”

Kendati terlihat menyenangkan, tanggung jawab seorang wirausaha sosial amatlah berat. Selain perilaku sosial, dia harus bisa mengubah sistem sosial yang salah di masyarakat. Di sinilah dibutuhkan kekuatan dan keteguhan seorang wirausaha sosial. Jika berhasil, perusahaannya akan mereguk keuntungan yang besar.

Keuntungan didapatkan karena inovasi yang melibatkan masyarakat tersebut akan mendorong ekonomi yang secara langsung berimbas baik pada ekonomi perusahaan. Hasil yang baik membuat manusia terus berusaha mempertahankan usahanya dengan masih mempertimbangkan untung rugi. Inilah jebakan yang kerap terjadi. Pemilik usaha menjadi lebih mengejar keuntungan pribadi ketimbang menyebarkan sisi sosial perusahaannya. Inilah yang kerap dilihat masyarakat awam.

Namun, Drayton pada Jurnal Innovation 2006 menyebut, seluruh usaha yang dilakukan wirausaha sosial itu bukanlah pekerjaan, tetapi dedikasi dari hidupnya. [*/VTO]

foto: shutterstock

noted: berbisnis sekaligus beramal