Pandemi Covid-19 menjadi fenomena langka yang tidak hanya menghadirkan banyak ancaman, tetapi juga peluang. Baik karyawan maupun perusahaan, keduanya harus mengalibrasi penerapan strategi baru tidak hanya dalam hal bertahan dalam bisnis, tetapi juga pengembangan kompetensi dan adaptasi aktivitas kerja lain yang lebih condong berbasis teknologi.

Premis ini menjadi esensi dalam webinar Kognisi oleh Kompas Gramedia belum lama ini yang bertajuk “Expected Skill during Pandemic”. Dalam webinar ini, hadir Andri Hidayat selaku Diagnostics Service & IT Director di PT Prodia Widyahusada Tbk sebagai pembicara utama dan dimoderasi oleh Eko Prasetyo Widodo selaku Strategy Formulation & Execution Manager Kompas Gramedia. Acara ini disambut antusiasme yang luar biasa oleh kehadiran hampir 150 peserta dari publik, mahasiswa, dan karyawan Kompas Gramedia.

Adaptasi adalah kunci hadapi perubahan

Dinamika dunia yang sudah banyak berubah dari beberapa tahun terakhir, tentunya turut mengubah kebiasaan serta perilaku hidup. Tak ada lagi kepastian bagaimana kehidupan akan berjalan dalam 10 tahun mendatang, ditambah dengan pandemi ini membuat hidup menjadi lebih tidak pasti dalam berbagai lini kehidupan.

Adaptif dengan perkembangan teknologi menjadi hal yang mutlak mengingat terbatasnya ruang gerak para pekerja, tetapi harus senantiasa menjaga produktivitas. Misalnya saja, adaptif terhadap perubahan proses kerja. Survei Gartner pada Mei 2020 menunjukkan bahwa dari 421 pimpinan dan 4.535 karyawan menunjukkan bahwa sebanyak 48 persen karyawan akan memilih memberlakukan “kerja dari rumah” dibanding sebelumnya di angka 30 persen.

“Tentunya ini menjadi tantangan bagi perusahaan untuk menyiapkan digital dexterity atau ketangkasan digital bagi karyawan serta bagaimana menjaga semangat berkolaborasi secara efektif,” tambah Andri.

Sistem cloud, omnichannel, dan big data sendiri sebenarnya memberikan dampak yang kurang signifikan bagi proses bisnis digital. Menurut Andri, ada hal yang lebih besar dalam menentukan keberhasilan perusahaan atau tidak dalam transformasi digital.

“Peningkatan kompetensi, adaptasi budaya, pola pikir, cara kerja, kepemimpinan, model operasi tim TI terkait proses bisnis, dan pengembangan visi misi itu sendiri perlu mendapat perhatian lebih sebelum bahas soal infrastruktur,” ujarnya.

Profil “digital dexterity

Ketangkasan digital (digital dexterity) merupakan kepercayaan, pola pikir, serta perilaku yang mengakselerasi transformasi bisnis digital. Setiap individu akan dilihat berdasarkan ambisi dan kemampuannya untuk (1) bekerja secara digital, serta (2) membangun bisnis digital. Kepribadian, perilaku, dan pola pikir tersebut akan sangat memengaruhi ketangkasan digital ini. Dalam tatanan sederhana, ketangkasan digital dapat dimulai dari mengubah kebiasaan lama.

“Misalnya, dulu mungkin karyawan enggan menyelenggarakan rapat secara virtual dengan berbagai macam alasan, tapi dengan kondisi keterpaksaan ini, semua tiba-tiba jadi bisa. Orang menjadi lebih adaptif dan leluasa dalam bekerja karena teknologi,” imbuh Andri.

“Jadi, melabel diri ‘gaptek’ itu bukan faktor terbesar dalam gagalnya digital dexterity. Justru ada di agility (kelincahan) dan pola pikir. Mampu sama mau kan beda yah, pertanyaannya, mau gak mencoba berubah?” lanjutnya. Namun, di lain sisi data Survei Gartner pada 2018 menyebutkan bahwa secara global, hanya sekitar 9 persen karyawan, 16 persen pimpinan, dan 18 persen staf TI yang memiliki tingkat ketangkasan digital yang tinggi dari total sampel 3.481.

Artinya, bekerja secara digital tidak lantas langsung menjamin seseorang otomatis kompeten membangun bisnis digital. Itu dua arena pertarungan yang berbeda. Lanskap tenaga TI saat ini adalah tingginya permintaan keterampilan TI dengan sumber daya manusia yang sangat terbatas. Ini menjadi persoalan bagaimana perusahaan meningkatkan keterampilan karyawan yang sudah ada agar lebih siap menghadapi kompetisi bisnis pada kemudian hari.

“Fungsi TI yang mayoritas masih berada pada tatanan pemeliharaan jaringan dan desktop support akan segera kedaluwarsa, apabila ia tidak juga belajar mengenai UX design, devops, artificial intelligence, dan data science yang sangat clear manfaatnya bagi pengembangan bisnis pada kemudian hari,” ujar Andri.

Faktor pendukung “digital dexterity

Ketangkasan digital tentunya perlu didukung dengan elemen yang tepat. Pertama, lingkungan (environment), bagaimana tim TI bisa lebih banyak berdiskusi dengan bisnis dan mendukung untuk bekerja lebih lincah.

“Di Prodia, semua proyek TI (mis: implementasi), project manager adalah orang bisnis sehingga kedua departemen ini jadi lebih sering berkomunikasi agar saling memahami kebutuhan dan belajar dari nature pekerjaan masing-masing. Kolaborasi inilah yang menjadi kunci pengembangan bisnis,” ujar Andri.

Kedua adalah kepemimpinan (leadership) atau pengambil keputusan akan setiap kebijakan digitalisasi. Selain itu, yang terakhir adalah mengembangkan kompetensi yang relevan.

Menurut Andri, ada lima kompetensi atau keterampilan yang perlu dimiliki oleh karyawan pada masa depan, yakni: (1) kejelian berbisnis (business acumen); (2) adaptif terhadap hal baru; (3) memengaruhi jaringan internal dan eksternal (political savvy); (4) kolaborasi efektif dengan berbagai level karyawan dari berbagai divisi (fusion collaboration); dan (5) pemahaman relasi antara teknologi dan bisnis (system thinking).

“Sebagai contoh, karyawan yang memiliki kompetensi business acumen tinggi, dapat meningkatkan bisnis hingga 10 kali lipat,” ujar Andri.

Akan tetapi, terlepas dari kelima keterampilan tersebut, menurut Andri, ada skill yang masih dicari dari 2015 hingga saat ini, yakni complex problem solving, berpikir kritis, dan kreativitas.

Jadi, kemudian apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan? Andri menutup sesi webinar dengan memberikan kesimpulan bahwa organisasi perlu menyiapkan talentanya sesuai lima kompetensi tadi untuk lebih siap menghadapi persaingan bisnis.

Namun, di sisi lain, yang tidak kalah penting adalah pengembangan individu dalam membangun kemampuan unik dari sisi emosional, spiritual, bahkan seni. Tidak hanya karena pengembangan kompetensi di area tersebut lebih menantang dan sangat personal, tetapi juga lebih karena hal tersebut tidak mungkin tergantikan oleh teknologi.

Kognisi adalah platform berbasis edukasi persembahan Kompas Gramedia yang dibangun pada Mei 2019. Kognisi secara periodik juga mengadakan webinar yang terbuka untuk publik. Informasi lebih lanjut mengenai webinar Kognisi selanjutnya bisa langsung dikunjungi di akun Instagram @kognisikg dan situs learning.kompasgramedia.com (khusus karyawan Kompas Gramedia). Selamat belajar, Kogifriends! Stay safe and stay sane!

Penulis: Sulyana Andikko;