Tradisi ini, menurut berbagai sumber pernah menjadi penopang ekonomi masyarakat desa saat krisis keuangan dan pandemi terjadi. Masyarakat pedesaan di Jawa menjadikan tradisi ini sebagai budaya untuk saling membantu dan mendukung sesamanya.
Salah satu contoh nyatanya adalah saat inflasi tinggi terjadi di era 1960-1965, di mana angka inflasi mencapai 600 persen. Jimpitan dilakukan oleh masyarakat Jawa. Mereka yang memiliki kelebihan beras, mulai menyisihkan sedikit beras dan dikumpulkan untuk dibagikan kepada tetangganya yang membutuhkan.
Baca juga :Â Anti Boncos, Pakai 5 Strategi Mengatur Finansial saat Ramadhan Ini
Apa itu tradisi jimpitan?
Menurut sebuah studi, nama jimpitan sendiri berasal dari bahasa Jawa, yaitu “jimpit” yang dalam kamus Bausastra Jawa berarti wilonganing barang lembut nganggo pucuking driji yang artinya mengambil barang lembut atau kecil dengan menggunakan ujung jari.Sedangkan, jimpitan dalam istilah yang lebih konkret berarti beras kang diklumpukake saka warga kanggo ragad pakumpulan desa. Artinya, beras yang dikumpulkan warga demi kepentingan perkumpulan desa.
Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jimpitan memiliki arti sumbangan berupa beras sejimpit yang dikumpulkan secara beramai-ramai. Tradisi ini masih berjalan di beberapa daerah dengan berbagai penyesuaian.
Di Yogyakarta misalnya, masih ada desa yang melakukan tradisi ini saat bertugas ronda. Biasanya setiap rumah menaruh sejumput beras yang ditaruh di depan rumah untuk kemudian dikumpulkan petugas ronda sembari berkeliling mengawasi lingkungan.
Namun, dalam perkembangannya, di beberapa daerah sudah mengganti beras dengan uang. Alasannya, karena uang lebih likuid dan praktis, serta hasilnya bisa digunakan untuk berbagai kegiatan kampung atau sosial.
Baca juga :Â Klaim Asuransi Tidak Bisa Sembarangan, Ini Hal yang Perlu Diperhatikan
Mirip dengan asuransi syariah
Tradisi jimpitan ini mirip dengan konsep asuransi syariah. Dalam konsep jimpitan, hasil pengumpulan beras, atau uang saat ini, hasil kumpulan uangnya untuk membantu sesama orang kampung, misalnya untuk membantu yang sedang sakit, membangun jalan, dan lainnya.Sementara dalam konsep asuransi syariah, para peserta asuransi membayar premi yang untuk kemudian dikumpulkan dalam satu wadah bernama dana tabarru. Dana ini, menurut konsep syariah, tidak boleh diputar mencari keuntungan lain selain digunakan untuk membantu sesama anggota.
Jadi, dana tabarru di asuransi syariah merupakan premi yang dikumpulkan dari seluruh pemegang polis asuransi untuk keperluan tolong menolong alias membayarkan klaim peserta asuransi.
Nah, menarik ya kalau ternyata nenek moyang Indonesia sudah memiliki budaya ini sejak lama. Dari tradisi ini, kamu bisa belajar bahwa dari menyisihkan sedikit dari harta bisa membantu orang lain, jika dilakukan secara bersama-sama.