Kiprah Bung Tomo bukan cuma pada Pertempuran Surabaya, yang kita kenang sebagai Hari Pahlawan. Sejak muda sampai jelang akhir hayat, ia berperan mengobarkan perjuangan dengan beragam cara.

Dengan pena maupun orasi, Sutomo selalu punya kemampuan menggerakkan para penyimaknya. Sikap nasionalismenya tak perlu diragukan. Tak pernah ia berpihak pada kepentingan macam-macam, selain kemerdekaan Indonesia dan kedaulatan rakyat. Inilah beragam fakta menarik seputar Bung Tomo.

1. Bung Tomo aktif sebagai wartawan

Memiliki pemikiran yang tajam dan piawai menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan, Bung Tomo aktif dalam dunia jurnalisme. Ia pernah menjadi wartawan lepas untuk Harian Soeara Oemoem di Surabaya 1937, redaktur mingguan Pembela Rakjat pada 1938, wakil pemimpin redaksi untuk Kantor Berita Pendudukan Jepang Domei-Surabaya pada 1942-1945, dan Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya pada 1945.

Bung Tomo bersama wartawan senior Romo Bintarti juga memberitakan kemerdekaan Indonesia untuk rakyat Jawa Timur. Dalam tulisan ini, bahasa Jawa digunakan untuk menghindari sensor Jepang.

Baca juga:

Kisah Bung Tomo, Sang Pengobar Semangat Pertempuran Surabaya

Sejarah Singkat Hari Pahlawan, Bermula dari Sengitnya Pertempuran Surabaya

Bung Tomo ketika berorasi2. Membentuk Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI)

Pada masa-masa setelah proklamasi kemerdekaan RI, suasana masih mencekam. Tentara Sekutu berpatroli di beberapa wilayah di Indonesia dengan misi memulangkan tentara Jepang ke negaranya. Namun, diam-diam ada niat untuk mengembalikan Indonesia sebagai jajahan pemerintah Belanda.

Membaca situasi itu, Sutomo ke Jakarta untuk menemui Sukarno dan meminta persetujuannya untuk mendirikan radio perjuangan. Namun, usulan itu ditolak. Sutomo getun. Ia makin kecewa ketika melihat bendera Belanda bebas berkibar di Jakarta. Kembali ke Surabaya, Sutomo mendirikan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) yang bertujuan mengobarkan semangat revolusi.

3. Bung Tomo mendirikan Radio Pemberontakan

Sebagai corong menyebarkan semangat revolusi, Sutomo juga membentuk Radio Pemberontakan. Lewat radio ini ia berorasi, termasuk jelang Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Jargon “Merdeka atau mati” juga tersiar lewat radio ini.

Tokoh kesohor lain yang menggunakan radio ini adalah K’tut Tantri, perempuan berkebangsaan AS yang lama bermukim di Bali. Pada 10–12 November 1945, dalam bahasa Inggris ia mengecam Sekutu yang menghujani Surabaya dengan bom. Dikatakannya, apabila hal ini menyebabkan terbunuhnya perempuan dan anak-anak, hal tersebut akan menjadi lembaran paling kelam dalam sejarah Inggris.

Bung Tomo4. Mengkritik Sukarno

Bung Tomo konsisten bersikap kritis dan gigih menyuarakan apa yang dianggapnya benar. Di masa pemerintahan Sukarno, ia sempat menjadi anggota DPR pada 1956–1959. Waktu itu, Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada Juli 1959 yang membubarkan Konstituante hasil Pemilu 1955 dan kembali ke UUD 1945.

Bung Tomo tak puas akan kebijakan itu dan pada 24 Agustus 1960 ia menggugat Kabinet Kerja di Pengadilan Negeri. Upaya ini, meski memihak kehidupan berdemokrasi, tidak berhasil.

5. Dibui pada pemerintahan Soeharto

Sikap kritis Bung Tomo juga tampak betul pada masa pemerintahan Soeharto. Pada masa awal-awal Orde Baru berkuasa, Bung Tomo turut mendukung unjuk rasa mahasiswa tentang penolakan komunisme di Indonesia. Kekecewaannya muncul ketika belakangan kebijakan-kebijakan Soeharto dinilainya tidak berpihak kepada rakyat, tetapi justru menguntungkan konglomerat dan investor.

Kritik keras diarahkannya salah satunya pada pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dirancang Tien Soeharto, istri presiden. Karena kritiknya itu, ia dipenjara selama satu tahun sejak 1978 dengan tuduhan melakukan tindakan subversif. Setelah dibebaskan, ia memilih tak lagi terjun ke dunia perpolitikan secara langsung.

Baca juga:

Sejarah Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Persatuan