Aku, adik Siska, kakak Julian, mama, dan papa juga gowes pada hari Minggu. Papa bilang, kami akan berkumpul di Tugu menunggu rombongan lain.
Kami berangkat dari rumah dengan santai. Sepeda kukayuh sambil menikmati matahari pagi yang hangat menimpa tubuhku. Jalanan mulai ramai karena rombongan pesepeda dari berbagai jurusan melalui jalan yang kami lalui.
Beberapa saat kami mengayuh, sampai juga di Tugu Golong Gilig, yaitu miniatur Tugu yang terletak di pojok jalan. Kami selfie-selfie, seperti juga rombongan lain.
Beberapa menit kemudian, datang Tante Irna bersama Friska dan Vita. Menyusul Om Johan bersama Tante Renny. Kami saling bersalaman, kemudian bersama-sama menyusuri Jalan Malioboro. Pada hari Minggu, Malioboro ditutup untuk kendaraan bermotor. Oleh karena itu, kami bisa bersepeda dengan leluasa.
Ketika kami sampai di Titik Nol, rombongan berfoto dengan background kantor pos dan sebuah kantor bank. Kedua bangunan itu sangat menarik dengan gaya arsitektur kolonial yang terkesan kuat dan anggun.
Om Rudy meminta kami untuk bergaya bebas dengan meneriakkan, “Yogya… Yogya… Yogya… Yes.” Dan jepreet…. Maka, jadilah foto yang beraneka gaya. Om Rudy segera membagikan ke grup gowes kami. Kami memandangi foto-foto yang dikirimkan Om Rudy dengan antusias.
Di Titik Nol ini, banyak rombongan pesepeda berhenti. Tiba-tiba kami dibuat tertarik oleh serombongan remaja yang bersepeda jangkung. Aneka sepeda jangkung kami saksikan. Ada yang setinggi satu meter, satu setengah. Tapi ada juga yang tingginya tiga meter.
Aku takjub sambil bertanya-tanya, bagaimana mereka naik dan turun dari sepeda itu?
Dan, pertanyaanku terjawab. Rombongan itu berhenti. Pengendara turun dengan menapaki masing-masing besi dan turun. Orang-orang tidak melewatkan kesempatan. Satu per satu rombongan berswafoto dengan para pesepeda unik itu. Juga rombongan kami.
Hasilnya indah: kami berderet di depan dengan aneka gaya, di belakangnya sepeda-sepeda jangkung tegak dipegangi pemiliknya.
Beberapa saat kemudian, rombongan itu melanjutkan perjalanan. Masing-masing pengendara mendorong sepeda sambil menapaki besi dan dalam waktu singkat sudah nangkring dan sepedanya melaju ke arah timur.
Semua tertawa oleh demonstrasi gratis para pesepeda unik itu. Ah, bersepeda ternyata asyik. Selain sehat kami juga mendapat hiburan yang sehat pula.
“Asyik… asyiiik. Yogya memang asyik. Yuk, ikut yuk!” *
Penulis: Kak Anna
Pendongeng: Paman Gery (Instagram: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita