Industri pariwisata Indonesia terbukti menjadi salah satu sektor yang tidak terpengaruh oleh kondisi ekonomi global. World Tourism Organization (UNWTO) mencatat, semester pertama tahun ini menunjukkan kenaikan tertinggi sejak 2010. Jumlah wisatawan dunia selama Januari–Juni 2017 mencatat pertumbuhan sebesar 6 persen dengan mencapai 598 juta orang. Dari sisi ekonomi, pertumbuhan ini menggembirakan. Namun dari sisi sosiokultural, lingkungan, maupun masyarakat setempat, bisa jadi sebaliknya.
Kerap kali, derap pariwisata semakin maju, tetapi rakyat lokal hanya jadi penonton. Tidak mendapat manfaat ekonomi, bahkan sumber daya alam dan budaya ikut tergerus sebagai dampak dari arus pariwisata yang besar. Arus massa wisatawan yang tinggi kerap memaksa daya dukung suatu wilayah hingga melebihi kemampuannya menampung jumlah wisatawan yang datang. Baik daya dukung infrastruktur, alam, budaya, maupun manusia.
Memperhatikan daya dukung
Pariwisata menjadi jalan keluar bagi Islandia menghadapi krisis ekonomi pada 2008. Sejak dipromosikan secara masif pada 2009, dalam kurun 6 tahun sektor pariwisata berhasil menyumbang 35 persen pendapatan domestik bruto. Namun, pada 2016 mulai banyak keresahan yang dirasakan. Di antaranya terjadi banyak kerusakan infrastruktur publik akibat terjadi kelebihan pariwisata. Jalanan di desa dan kota kecil rusak karena dilewati ratusan kendaraan bus pariwisata, kualitas terminal, bandara, dan pelabuhan juga menurun.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk lain, dan keseimbangan antara keduanya.
Berdasarkan definisi resmi daya dukung lingkungan hidup, dapat dirumuskan daya dukung lingkungan pariwisata. Yaitu kemampuan lingkungan hidup (alam) menampung kegiatan pariwisata dalam jumlah maksimum yang tidak merusak eksistensi, keberadaan, dan keberlanjutan lingkungan hidup tersebut di masa yang akan datang (Daya Dukung Pariwisata Berkelanjutan Raja Ampat oleh Victor P Nikijuluw, Renoldy L Papilaya, dan Paulus Boli, 2017).
Memperhatikan daya dukung dalam sebuah pengembangan destinasi pariwisata menjadi cara untuk menunjang pariwisata berkelanjutan. Daya dukung lingkungan berfungsi sebagai indikator rujukan atau referensi pengelolaan kepariwisataan berkelanjutan.
Perumusan daya dukung pariwisata ini pun memiliki kriteria yang berbeda-beda sesuai kebutuhan setiap kawasan. Di Manta Sandy, yang masuk dalam ulayat Kampung Arborek, Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, misalnya, hanya boleh maksimal 20 orang baik penyelam maupun snorkeler yang boleh berada di wilayah itu.
Maksimal penyelaman dan aktivitas snorkeling selama 1 jam. Selama mengamati pari manta berenang dan menyantap plankton di wilayah cleaning station pari manta ini, para penyelam dan snorkeler juga harus mematuhi peraturan yang berlaku.
Peraturan yang mulai diberlakukan pada pertengahan tahun ini menjadi jawaban terhadap daya dukung kawasan. Sebelumnya, pengelolaan pariwisata di wilayah ini sempat tidak terkendali. Bisa ada 50 penyelam di titik Manta Sandy dalam satu waktu. Penyelam juga banyak yang memegang dan bahkan mengejar manta. Manta merasa terganggu sehingga akibatnya menghilang dari titik itu.
Padahal, kondisi alami sebuah kawasan menjadi modal dasar pembangunan pariwisata yang utama. Pada pariwisata alam, tanpa lingkungan alam maka aktivitas pariwisata tidak bisa dilakukan. Pada destinasi yang mengunggulkan pariwisata budaya, ketika budaya asli tidak lagi terawat dan hilang maka sirna pula daya tariknya. Demikian seterusnya. Dampak lebih jauhnya akan dialami masyarakat, salah satunya hilangnya manfaat ekonomi pariwisata yang sebelumnya diperoleh.
Indikator utama keberhasilan pertumbuhan pariwisata yang bertitik tolak pada peningkatan jumlah pengunjung menjadi pemicu terus berlangsungnya pariwisata massal. Pada 2009, United Nation Environmental Programme (UNEP) pun menekankan perbedaan antara pertumbuhan pariwisata dengan pembangunan pariwisata.
Pembangunan pariwisata ditandai dengan terjadinya pertumbuhan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja lokal, serta adanya manfaat lingkungan dari aktivitas pariwisata yang dilakukan berdasarkan daya dukung lingkungan. Perbedaan ini mengimplikasikan bahwa pembangunan pariwisata adalah pariwisata berkelanjutan, sementara pertumbuhan pariwisata belum tentu berkelanjutan (Daya Dukung Pariwisata Berkelanjutan Raja Ampat oleh Victor P Nikijuluw, Renoldy L Papilaya, dan Paulus Boli, 2017).
Berbagai upaya mulai dilakukan untuk menerapkan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang mencakup aspek alam, budaya, dan lingkungan dan memberi manfaat bagi komunitas lokal.
Tahun ini pun menjadi Tahun Internasional untuk Pembangunan Pariwisata secara Berkelanjutan (International Year of Sustainable Tourism for Development) yang dicanangkan oleh UNWTO. Meski kini telah di pengujung tahun, mengingat kembali pencanangan ini menjadi alarm untuk selalu menyelaraskan jalur ekonomi dengan daya dukung alam, budaya, dan masyarakat demi keberlanjutan hingga generasi mendatang. Manakah yang kita inginkan, mass tourism atau quality/specific tourism? [ADT]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 20 Desember 2017