Ketika melihat sorotan bayangan wayang kulit di Museum Wayang, Jakarta, Rosa (26) teringat masa kecilnya. Ketika listrik padam dan lilin mulai dinyalakan, ayahnya akan memainkan jari lalu seolah tangannya menjadi bermacam bentuk. Hadirlah sosok-sosok fabel—buaya, anjing, kelinci, ular—yang hidup dalam cerita.
Malam seketika menghangat. Bukan hanya karena lilin yang memancarkan pendar, tetapi juga dongeng-dongeng yang digulirkan. Ayah Rosa akan menaruh lilin di dekat dinding, lalu mendekatkan tangannya pada cahaya. Bayangan sosok binatang yang dibentuk dengan tangan akan terefleksikan di dinding. Sang ayah menjelma dalang yang memainkan wayang dengan tangannya.
Wayang dalam bahasa Jawa memang secara harfiah berarti bayangan. Namun, ini juga bisa dimaknai lebih dalam. “Wayang itu, kalau kata orang Jawa, wewayanganipun urip. Bayang-bayang atau cerminan kehidupan,†ujar Didik, pemandu Museum Wayang, Jakarta, Jumat (15/7).
Cerita-cerita wayang pun sekaya kisah kehidupan itu sendiri. Bahkan, secara luas, permainan wayang begitu universal. Bentuknya bukan hanya yang sudah kita kenal pakemnya. Eksplorasi selalu memungkinkan, termasuk dengan medium yang dibuat sendiri, misalnya dengan tangan, kertas, rumput, atau plastik.
Di Museum Wayang, wayang sebagai medium pencerita ini berkumpul. Menuturkan kisah dari beragam penjuru bumi. Museum Wayang memiliki lebih dari lima ribu koleksi dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri, koleksi tersebut mencakup wayang kulit, wayang golek, wayang kardus, wayang janur, wayang klitik, wayang rumput, dan wayang kaca. Ada pula hibah wayang atau boneka dari negara lain, contohnya wayang kulit Kamboja, wayang golek Kanton, boneka guignol Perancis, atau boneka katakali dari Kerala, India.
Wayang kulit purwa adalah salah satu jenis wayang yang paling mudah kita jumpai. Penokohan dan ceritanya diambil dari pakem Mahabharata dan Ramayana. Cerita Mahabharata berisi tentang kehidupan Pandawa dan Kurawa. Sementara Ramayana berkisah tentang Rama dari Negeri Ayodya; Dewi Sinta, istrinya; dan Rahwana, sang raja dari Alengka.
Uniknya, di Indonesia, interpretasi wujud suatu tokoh bisa begitu berbeda-beda. Di salah satu sudut museum, dipajang wayang-wayang yang menggambarkan sosok Gatutkaca dari berbagai daerah di Indonesia, yaitu Bali, Banjarmasin, Banyumas, Mojokerto, Betawi, Ciamis, Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta. Masing-masing dengan langgam khasnya.
Museum Wayang memajang pula koleksi wayang mainan yang terbuat dari suket atau rumput, bambu, dan kardus. Wayang ini bermula dari permainan anak-anak. Dulu, anak-anak pedesaan kerap menggembalakan ternaknya sambil membuat mainan dari rumput atau irisan bambu yang dirangkai atau dianyam menyerupai bentuk wayang. Koleksi wayang mainan di Museum Wayang dibuat pada 1963 di Wonosari, Yogyakarta.
Dalam perkembangannya, wayang mainan banyak diperdagangkan di pasar-pasar tradisional pada 1980-an. Untuk dijual, wayang ini biasanya dibuat dari kardus bekas dan diwarnai supaya lebih menarik.
“Di museum ini, wayang tertua adalah wayang kulit intan yang dibuat Ki Guna Kertiwondo pada tahun 1870,†cerita Didik. Satu set wayang kulit intan ini dibuat dari kulit kerbau pilihan. Cat yang digunakan diperkirakan menggunakan bahan-bahan tradisional, seperti bubuk tulang sapi atau kerbau untuk warna putih. Warna hijau, kuning, dan biru diambil dari akar atau kulit pohon, daun, dan biji-bijian. Warna hitam diperoleh dari campuran jelaga dan minyak kelapa. Sementara itu, warna merah dihasilkan dari campuran hasil tumbukan batu kali yang masih muda dengan minyak.
Yang membuat wayang ini lebih istimewa, bagian-bagian tertentu seperti sambungan tangan, sumping, leher, dan mahkota ditaburi intan. “Selain jadi lebih indah ketika dilihat secara langsung, wayang yang menggunakan intan seperti ini juga memperlihatkan pendar yang berbeda ketika tertimpa cahaya waktu dipentaskan,†tambah Didik.
Untuk memberikan pengalaman menonton kepada para pengunjungnya, setiap akhir pekan Museum Wayang menggelar pentas wayang. Selain itu, museum ini juga memiliki fasilitas ruang audio visual, tempat film animasi tentang wayang diputar.
Dengan becermin pada wayang, kita membaca kembali kekayaan budaya dan cita rasa seni. Wayang juga menjadi pengingat untuk meneruskan tradisi bercerita. [FELLYCIA NOVKA KUARANITA]
foto-foto: Fellycia Novka Kuaranita
noted:Â Wayang dan Tradisi Bercerita