“Oh, Seoul! May you prosper forever! To the world! To the future!” Doa itu terukir pada prasasti yang didedikasikan untuk seluruh warga Seoul di Namsagol Hanok Village, Korea Selatan. Isi prasasti mengingatkan mereka akan hari bersejarah 29 November 1994 itu. Ulang tahun ke-600 Seoul sebagai Ibu Kota Korea Selatan.

Pada hari itu, pemerintah membenamkan 600 benda yang merepresentasikan sisi tradisional dan modern Seoul di bawah tugu batu besar, Time Capsule for the Seoul Millenial. Benda-benda yang dikubur itu kelak menjadi warisan bagi generasi Korea Selatan mendatang, dan akan digali pada ulang tahun ke-1.000 Seoul.

“Kami berharap warga Seoul pada waktu itu akan dengan bangga menengok ke belakang, melihat jejak nenek moyang mereka, kita, warga Seoul hari ini,” begitu kira-kira terjemahan bebas dari salah satu kalimat yang tertera pada prasasti itu.

Yang menarik, di tugu batu raksasa yang berbentuk melingkar, Seoul juga mengukir sejumlah ucapan selamat dari gubernur berbagai kota di dunia, termasuk Gubernur Jakarta pada waktu itu, Surjadi Soedirja. Ucapan itu ditulis dalam bahasa Indonesia, “Dirgahayu Seoul ke-600. Jakarta dan Seoul seiring langkah menjalin kerja sama mewujudkan kesejahteraan kedua bangsa dan menggelorakan semangat perdamaian dunia.”

Apa yang ditinggalkan Seoul untuk generasi mendatang itu sangat menyentuh. Lewat Time Capsule for the Seoul Millenial, generasi sekarang menjaga agar ikatan dengan anak-cucu tak putus. Benda-benda tradisional dan modern yang dijadikan satu sekaligus menjadi simbol, Korea Selatan hidup tanpa memisahkan kedua hal itu.

Komitmen untuk mempertahankan yang tradisional itu secara fisik pun tampak di area kecil Namsagol Hanok Village. Di tengah-tengah Seoul yang modern, tempat ini menjadi suaka bagi hanok, rumah-rumah tradisional Korea Selatan. Pengunjung bisa merasakan lagi suasana Korea Selatan tempo dulu lewat arsitekturnya yang khas.

Taman-taman di Namsagol Hanok Village pun sekaligus berfungsi sebagai ruang publik. Pada siang hari, banyak ditemui sekelompok pelajar setingkat SD atau TK yang belajar di bawah rindang pepohonannya. Kolam-kolam yang tersebar di area ini juga membuat suasana semakin sejuk.

 

Panorama dari ketinggian

Setelah puas berjalan-jalan di Namsagol Hanok Village, kita bisa naik ke puncak Namsan dan memandang kota dari N Seoul Tower. Dari jendela-jendela kaca di ruangan lantai ke-3 N Seoul Tower yang berbentuk melingkar, kita bisa menikmati lanskap Seoul. Pemandangan itu bisa diamati lebih jelas dengan menggunakan teleskop yang tersedia.

Di jendela-jendela itu pula, terdapat keterangan tentang jarak ibu kota negara lain, sesuai dengan arah mata anginnya dari titik kota Seoul. Dari salah satu jendela yang menghadap selatan, misalnya, kita menemukan keterangan “Jakarta, Indonesia, 5.218.98 km.”

Tentu saja, warga Seoul dan wisatawan tak pergi ke N Seoul Tower hanya untuk melempar pandangan ke lanskap kota di bawah. Sebagian, terutama mereka yang muda, antusias untuk memasang semacam gembok cinta di sepanjang pagar N Seoul Tower.

Pada waktu-waktu tertentu, pengunjung juga bisa menikmati pertunjukan tradisional Korea Selatan di pelataran N Seoul Tower. Namsadang Nori termasuk salah satu yang kerap dipertontonkan. Dalam pertunjukan ini, sekelompok pria memainkan alat musik tradisional, sementara yang lain beraksi akrobatik, misalnya memutar piringan di ujung sebilah tongkat kayu. Agar lebih interaktif, beberapa kali mereka melibatkan penonton untuk turut memegang tongkat dan memintanya berusaha agar piringan yang berputar di atasnya tidak jatuh.

Sebagai destinasi wisata maupun ruang publik, Namsagol Hanok Village maupun N Seoul Tower menawarkan area yang sejuk sekaligus kekayaan budaya. Tidak hanya menghibur secara visual, tempat ini juga memperkaya pengalaman dan pengetahuan. [NOV]

noted: Warisan untuk Warga Seoul Kelak