Wajah-wajah manusia terlihat dari jendela kaca. Ada yang sendirian. Ada pula yang berpasangan. Jika dilihat lebih dekat, tampak lipatan-lipatan pada bagian permukaan. Itulah yang membuat wajah-wajah berbahan dasar kertas ini berbentuk 3 dimensi.

Etalase wajah-wajah 3 dimensi menjadi pemandangan khas dari studio LowpolyPaper yang berlokasi di Jalan Parangtritis Kilometer 4,5 Nomor 2, Yogyakarta. Bangunan yang menyatu dengan kantor pos ini menjadi ruang produksi sekaligus galeri mini untuk memamerkan hasil kreasi.

LowpolyPaper merupakan bisnis kreatif yang berfokus pada desain papercraft 3 dimensi. Inisiator di baliknya adalah Rahmansyah Iman Saputra (27) dan Gregoryo Tattit Cahyono (27) yang menjalin pertemanan dari lingkungan komunitas. Tinggal di kota yang menawarkan kenyamanan, duo cah Yogya ini justru terpacu untuk membuat sesuatu yang berbeda.

 

“Keputusan memulai bisnis bermula dari trial and error. Sebagai 3D artist, saya terbiasa membuat karya 3D dalam bentuk digital. Lalu, saya coba merealisasikannya dengan memanfaatkan bahan kertas karena mudah didapat,” ujar Rahmansyah, yang akrab dipanggil Maman, saat ditemui di Yogyakarta beberapa waktu silam. Awalnya, lulusan Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini berhasil membuat wajah 4 dimensi. Namun, proses produksi membutuhkan waktu lama.

Setelah mengawali dengan kreasi sendiri pada Mei 2015, beberapa bulan kemudian Maman mulai menggandeng Ryo untuk mewujudkan LowpolyPaper. Nama “Lowpoly” sebenarnya berasal dari istilah “low poly” yang lekat dengan program 3 dimensi. “Ada low poly dan high poly. Low poly memperlihatkan bentuk kotak-kotak atau poly-poly yang jumlahnya sedikit. Sedangkan high poly, bentuk poly semakin banyak sehingga hasil wajah mendekati bentuk realis dan semakin mirip,” terang Maman.

Tantangan

Kreasi papercraft dengan konsep 3D selfie bisa terbilang unik dan belum banyak diterapkan oleh pelaku bisnis lainnya. Namun, bukan berarti tanpa tantangan saat melakoninya. Maman dan Ryo harus lebih banyak memberikan edukasi dan pemahaman. Memastikan kepada publik bahwa produk yang dihasilkan tidak akan mengecewakan.

Proses produksi tidaklah instan. Meski didukung dengan sejumlah software, tetap saja membutuhkan tangan yang nyeni. Perlu kemampuan untuk membuat ilustrasi yang mendekati mirip sebelum menuju pada tahap komputerisasi. Ditambah lagi, sering kali pemesan mengajukan permintaan khusus dengan tambahan aksesori pada wajah.

Seiring dengan waktu, LowpolyPaper terus berproses hingga menemukan formula yang tepat. Untuk menjaga kualitas produk, tim memilih kertas jasmine untuk membuat papercraft. Jenis ini mampu menyerap tinta lebih baik, tidak mengilap. Bentuk wajah pun bisa lebih awet karena ketebalannya pas.

“Kami memang berproses. Pada tahun-tahun awal, tim hanya terdiri dari dua orang dengan beban pekerjaan yang terbatas. Jumlah pemesanan per bulan masih sekitar 20 wajah. Kini, tim bertambah dua orang. Kami bisa lebih produktif lagi. Di satu sisi, publik perlahan-lahan semakin aware berkat bantuan media sosial sebagai ruang promosi. Dalam sebulan, kami bisa mendapat pesanan 30–40 wajah,” tutur Ryo yang menangani bagian pemasaran. Jangkauan pemasaran pun tak lagi sebatas wilayah Indonesia, tetapi juga sudah merambah negara lain, yakni Malaysia dan Brasil.

Lama pengerjaan 1 wajah biasanya membutuhkan waktu 5 hari, mulai dari tahap modeling, folding, hingga finishing. Pemesan bisa menyertakan foto wajah tampak depan serta samping kanan dan kiri. Disarankan, tidak ada ekspresi wajah yang memperlihatkan gigi. “Pembeli bisa datang ke studio untuk difoto atau mengirimkan foto-foto lewat surel. Pastikan juga kualitas resolusinya baik. Tidak pecah. Ini demi menjaga hasil akhir yang baik pula,” tambah Maman.

Harga 3D Selfie LowpolyPaper dibanderol Rp 250.000 untuk tipe single face dan Rp 350.000 untuk tipe couple face. Harga ini sudah termasuk dengan pemasangan bingkai, tetapi belum mencakup biaya kirim dan custom design. Proses transaksi pun bisa dilakukan dengan cash on delivery (COD).

Usia LowpolyPaper memang masih terbilang muda. Perjalanannya masih panjang. Masih ada pula rangkaian mimpi dan inovasi yang ingin diwujudkan. “Kami berharap bisa menghasilkan produk massal. Tentunya, ini juga perlu ditunjang dengan jumlah tim produksi yang mumpuni. Penerapan low poly tak ingin sebatas berbentuk wajah. Menjadi bagian dari interior rumah, kantor, kafe, atau hotel pun bukanlah sebuah kemustahilan,” pungkas Maman. [GPW]