Seperti apa jika Kesultanan Melayu, Portugis, Belanda, Inggris, dan Tiongkok meninggalkan jejaknya di sebuah tempat? Malaka adalah jawabannya.

Jakarta punya Kota Tua, Penang punya George Town. Maka, jika menginjakkan kaki di Kuala Lumpur, sempatkan ke Malaka. Hanya berjarak dua jam perjalanan darat dari Kuala Lumpur, Malaka menawar dahaga bagi pengelana yang ingin sejenak menjauh dari hiruk-pikuk khas ibu kota. Keramaian Malaka terasa unik, dengan balutan nilai sejarah dan budaya yang tinggi.

Berjalan menyusuri Malaka sulit untuk tak menautkannya pada kisah sejarah. Berbagai bangunan bersejarah masih tegak berdiri dan tepelihara amat baik. Sehari saja berkelana di dalamnya sudah cukup memberi gambaran utuh perjalanan Malaka dimulai sejak masa pemerintahan Kesultanan Melayu, hingga kedatangan Portugis, pindah ke tangan Belanda dan Inggris, lalu akhirnya menjadi bagian dari Malaysia saat mengumumkan kemerdekaannya pada 1957.

Kedatangan Portugis ke Malaka pada 1511 pun menjadi titik penting pada perjalanan sejarah negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Malaka dianggap sebagai pelabuhan perdagangan terpenting pada masa itu.

Berkuasa di Malaka selama 130 tahun, Portugis meninggalkan jejak yang tak sedikit di tanah ini. Sentuhan Portugis bisa disimak di berbagai penjuru. Di antaranya Kampung Portugis yang merupakan keturunan bangsa Portugis dan telah berasimilasi dengan penduduk Melayu setempat. Sementara itu, berbagai bangunan khas Portugis pun masih bisa ditemui. Seperti halnya sisa benteng A Famosa, Porta de Santiago yang didirikan oleh Alfonso de Albuquerque pada 1512 sebagai benteng pertahanan.

Benteng tersebut mengelilingi Bukit Malaka dengan tembok setebal 3 meter. Porta de Santiago merupakan salah satu pintu masuk utama dari benteng A Famosa. Reruntuhan benteng ini pun disebut-sebut sebagai salah satu bangunan berarsitektur Eropa tertua di kawasan Asia Tenggara. Kedatangan Belanda pada 1641 dengan segera mengakhiri kekuasaan Portugis. Benteng ini pun berpindah tangan. Belanda merenovasi dan menambahkan simbol VOC sebagai penanda.

Dari benteng ini, perjalanan berlanjut menuju ketinggian Bukit Melaka. Puluhan anak tangga mengantar pada reruntuhan gereja St Paul, yang menunjukkan kekhasan arsitektur Portugis. Kini reruntuhannya menjadi daya pikat tersendiri bagi setiap turis yang menyambangi Malaka. Pada masa penjajahan Inggris, gereja ini tak lagi dipakai sesuai fungsinya, melainkan dijadikan gudang amunisi saat Inggris melawan Jawa pada 1810-1811.

Seperti halnya di Kota Tua Jakarta, Belanda juga membangun balai kota (Stadthuys) di Malaka. Balai kota ini menjadi pusat pemerintahan dan administratif pada masa Belanda, yang berlanjut pada masa pemerintahan Inggris. Gedung Merah, demikian sebutannya, mengacu pada warna temboknya yang seluruhnya dicat merah. Tepat di hadapan Stadthuys terdapat Christ Church, sebuah gereja Protestan yang didirikan Belanda.

Jejak masa kolonial di Stadthuys pun segera berganti dengan kehidupan Babah Nyonya yang bisa disimak di Jonker Street, tepat berseberangan dengan area Stadthuys. Di sini, Malaka menampilkan keindahan kehidupan multirasial penduduknya. Keturunan Melayu, Tionghoa, dan India saling berasimilasi dan membaur menciptakan kekhasan budaya baru. Peranakan Babah Nyonya, demikian sebutan untuk keturunan Tionghoa-Melayu, menambah kaya warna budaya Malaka yang juga menyebar di seluruh Malaysia, Indonesia, dan Singapura.

Tengok saja Baba Nyonya Heritage Museum di Jonker Street yang menampilkan cukilan hidup kaum Baba Nyonya dengan berbagai peninggalan benda antik yang terdapat di dalamnya. Makanan yang selama ini akrab di lidah Anda, seperti bumbu belacan, asam laksa, cendol, atau kuih talami tak lain merupakan makanan peranakan Baba Nyonya. Bumbu-bumbu Melayu diolah dengan cara masak khas Tionghoa, atau sebaliknya.

Kedatangan bangsa Tiongkok di Malaka pun bisa disusuri kembali sejak terjadinya perkawinan antara Sultan Mansur Syah dari Kesultanan Melayu dengan Putri Hang Li Po dari daratan Tiongkok. Hang Li Po datang dengan rombongan dayang dan pengikutnya yang mencapai jumlah ribuan orang. Mereka ditempatkan di wilayah khusus yang kini dikenal dengan sebutan Bukit China atau Chinese Hill. Seiring waktu, rombongan sang putri hidup berbaur dengan masyarakat setempat sehingga lahirlah asimilasi budaya, religi, hingga kuliner.

Hanya punya waktu singkat mengunjungi Malaka? Tak masalah karena perjalanan ke Malaka bisa tetap berkesan. Ada banyak biro perjalanan yang mengatur tur sehari Kuala Lumpur-Malaka tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam. Paket tur ini pun telah termasuk ongkos bus menuju Malaka, pemandu, dan makan siang di restoran Baba Nyonya untuk memperkaya pengalaman. [ADT]

Hanya di Malaka

  • Jalan Harmoni

Ruas jalan ini menjadi saksi bisu kehidupan pluralisme beragama penduduk Malaka yang saling bersisian dengan harmonis. Di dalamnya terdapat Masjid Kampung Kling yang dibangun pedagang Muslim asal India pada 1748, Kuil Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi yang menjadi kuil Hindu tertua di Malaysia, dibangun pada 1781, dan Kuil Cheng Hoon Teng yang dibangun pada 1645 dan menjadi tempat ibadah bagi penganut Taoisme, Buddha, dan Confusianisme.

  • Gereja St Peter didirikan pada 1710, masa penjajahan Belanda dan menjadi gereja Katolik Roma tertua di Malaka. Yang unik, lonceng gereja berukuran besar yang berada di gereja ini berasal dari Goa, India, dari tahun 1608.
  • Gereja St Paul didirikan oleh Portugis dengan nama awal Our Lady of the Hill.
  • Gereja Christ Church didirikan Belanda pada 1753 dan menjadi gereja Protestan tertua di Malaysia.

Toko Wah Aik, di Jalan Tokong, menjual khusus sepatu lotus atau sepatu khusus bagi kaki-kaki mungil yang pada abad ke-10 dianggap sebagai simbol kecantikan perempuan Tionghoa.

Â