Yang pertama-tama menawan dari Tumbak adalah lanskap alamnya. Desa di Minahasa Tenggara ini menjadi pintu masuk untuk mengeksplorasi pulau-pulau Sulawesi Utara yang masih begitu alami. Namun, sekali melangkahkan kaki ke sana, kita mendapatkan lebih dari sekadar keelokan. Tumbak mengisahkan narasi tentang para pengembara.

Bekendara sejauh seratus kilometer dari Manado ke arah tenggara, para pelancong dari Jakarta itu menemui apa yang tak mereka jumpai di hiruk-pikuk perkotaan. Mobil kerap mlipir ke pinggir lantaran menghindari kambing atau sapi yang bersimpuh di tengah jalan. Cengkeh dijemur di separuh badan jalan raya. Anak-anak berseragam berjalan ke sekolah, kadang tanpa alas kaki. Belum sampai di desa tujuan, kami sudah banyak “cuci mata”.

Setelah beberapa kali bertanya kepada penduduk sekitar, kami mengarah ke Tumbak Island Cottage. Joan, pemiliknya, menyewakan kapal untuk mengantar kami ke Pulau Baling-baling dan Pulau Punten, yang letaknya tak jauh dari desa.

Kala itu ombak cukup besar. Jika ingin menyambangi Pulau Baling-baling, kami harus segera bergegas. “Di atas jam 10 nanti ombak sudah terlalu besar, kapal tidak bisa bersandar di Pulau Baling-baling,” kata Kanta, pemandu yang mengoperasikan kapal.

Pulau itu tampak di depan kami, seperti gundukan bukit kecil dengan gumpalan rumput-rumput kecil di atasnya. Bibir pantai Pulau Baling-baling begitu sempit, pantaslah kapal tak bisa bersandar jika air pasang.

Melewati setapak yang cukup curam, mungkin dengan kemiringan 60 derajat, kami mendaki sampai ke pucuk bukit itu. Dari puncaknya, gradasi warna laut tampak begitu cantik. Buih-buih ombak yang putih, toska di perairan dangkal, dan biru yang semakin gelap di area yang lebih dalam.

Tak bisa berlama-lama di Baling-baling, kami segera bergeser ke Pulau Punten, berjarak tempuh sekitar 15 menit dari Baling-baling. Di sana sudah ada enam wisatawan asing, dari Perancis dan Brasil. Di sini orang bisa menghabiskan waktu lebih lama. Snorkeling, berjemur, atau mendaki bukit bisa menjadi pilihan aktivitas.

Laut di sekitar Tumbak kaya akan keanekaragaman hayati. Terumbu-terumbu karang dan ratusan spesies ikan. Koralnya menghampar seluas kurang lebih 100 hektar. Jika beruntung, Anda juga bisa bertemu ikan-ikan cantik seperti banggai, nudibranch, cardinal fish, clown fish, atau napoleon. Pada kedalaman 3–6 meter, terdapat hutan kipas laut seluas kira-kira 300 meter.

Para penjelajah

Tumbak adalah desa yang merekam kisah para penjelajah. Sejumlah literatur mencatat hal ini. Sebagian besar warga Tumbak adalah suku Bajo. Ini bermula pada 1918, ketika rombongan suku Bajo dari Tilamuta (Gorontalo), melintasi pesisir Minahasa Tenggara dengan perahunya. Salah seorang anggota keluarga mereka sakit dan mereka harus mendirikan gubuk untuk mengobatinya. Gubuk itu didirikan di tempat yang sekarang bernama Tumbak.

Oleh warga sekitar, rombongan Bajo di bawah pimpinan Abdussamad Bachdlar ini diminta lalu tinggal lebih lama untuk menjaga keamanan desa mereka. Mereka pun, yang biasanya tinggal nomaden di atas perahu mereka, akhirnya menetap di Tumbak.

Kehadiran orang Bajo di Tumbak kian mengentalkan budaya bahari di wilayah ini. Mereka hidup dengan mengumpulkan ikan dan hasil laut lain. Namun, seperti disebutkan Djajeng Pudjowibowo dalam penelitiannya yang dimuat di Jurnal Arsitektur Daseng Universitas Sam Ratulangi (November 2016), pola permukiman mereka di Tumbak berubah drastis. Mereka menjadi warga yang menetap.

Ini memunculkan konsep dengan pemaknaan baru. Piddi tikkolo’na lamong ‘nggai makale le goya’, artinya yang kehidupannya tidak dapat dipisahkan dengan gemuruh ombak. Mereka bisa hidup di darat selama tidak jauh dari laut.

Perubahan ini memunculkan konsekuensi baru, mereka harus beradaptasi menjadi orang darat. Proses adaptasi inilah yang sayangnya tidak mulus. Penduduk Tumbak, yang kini juga tak hanya orang-orang yang berasal dari Bajo, harus membangun rumah dan jalan. Namun, dengan alasan biaya, mereka mengganti batu sebagai bahan ideal fondasi rumah dan jalan raya dengan batu karang.

2509-LANGGAM_6
2509-LANGGAM_9
2509-LANGGAM_8
2509-LANGGAM_1
2509-LANGGAM_7
2509-LANGGAM_2
2509-LANGGAM_4

Dalam risetnya pada 2012, Inggrid Sembiring, Adnan Wantasen, dan Edwin LA Ngangi mengungkap, sebesar 70 persen responden memanfaatkan karang sebagai fondasi rumah. Padahal, di sisi lain sebagian besar juga sadar manfaat karang sebagai tempat bernaungnya ikan dan peredam ombak. Yang cukup memberi harapan, survei ini juga melansir hasil, sebesar 90 persen penduduk ke depannya menyatakan kesediaan untuk melestarikan ekosistem karang.

Pariwisata punya kontribusi yang menarik dalam pelestarian itu. Keragaman terumbu karang dan ikan adalah daya tarik utama Tumbak. Jika kekayaan bawah laut ini tak terawat, minat wisatawan untuk berkunjung menurun. Dan hal itu bisa berimbas pada pendapatan warga Tumbak yang kini juga menyewakan kamar atau rumah mereka sebagai penginapan. Pariwisata bisa menjadi pintu masuk yang baik untuk mengembalikan lagi kesadaran warga tentang pentingnya pelestarian lingkungan.

Joan, pemilik Tumbak Island Cottage, adalah contoh warga asing dari Perancis yang terpikat Tumbak dan memutuskan untuk tinggal. Ia datang pada 2006 untuk meneliti terumbu karang. Rencananya untuk kembali ke Perancis berubah menjadi keinginan untuk menetap di Tumbak. Ia mendirikan penginapan dan mengundang lebih banyak wisatawan dari luar negeri.

Ketika kami berkunjung ke Tumbak, Morgane Seger, seorang mahasiswa dari Universite de Versailles Saint-Quentin-en-Yvelines (UVSQ) juga sedang melakukan riset di Tumbak. “Saya senang mempelajari bahasa dan budaya Tumbak. Ini semakin menarik karena alam di sini masih begitu cantik. Saya bisa sewaktu-waktu snorkeling di laut dan melihat koral serta ikan yang cantik.”

Pengalaman di Tumbak ditutup dengan harapan, semoga penduduk keturunan Bajo di Tumbak benar-benar menganggap laut sebagai saudara dan naungannya lagi. Seperti syair yang kerap dinyanyikan orang Bajo lama, “Dilaokku kallumangku, Ma bukoknu busayangku lepaku, Ma bittaknu tummuangku dalleku.” Mereka melantunkan, lautku penghidupanku, di pundakmu kukayuh bahteraku, di perutmu kutemukan rezekiku. [NOV]

Foto-foto Iklan Kompas/ Fellycia Novka dan Tommy B. Utomo

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 22 September 2017