Punten, izin jump in dan minta follow-up terkait progress dari campaign kita….” Pernah menerima pesan seperti itu di grup obrolan kantor? Itulah contoh “bahasa korporat” yang sudah menjadi bagian dari keseharian para pekerja muda, terutama di industri startup, teknologi, marketing, dan industri kreatif di Jakarta. Karena keunikannya, gaya komunikasi ini kemudian viral di media sosial, jadi bahan guyonan, dan semakin banyak dibahas.

Bermula dari Budaya Kantor hingga Jadi Tren Medsos

Bahasa korporat sebenarnya bukan hal baru. Gaya komunikasi ini sudah lama digunakan untuk menjaga profesionalisme dan kesopanan di lingkungan kerja. Namun, belakangan ini, banyak pekerja muda yang mulai menyadari betapa unik dan terkadang bertele-telenya bahasa ini. Akibatnya, istilah-istilah ini diangkat menjadi konten media sosial dan menjadi tren karena terasa relatable sekaligus kocak.

Konten-konten di TikTok dan Twitter yang membahas bahasa korporat semakin banyak bermunculan, menampilkan bagaimana pekerja muda secara tidak sadar terbiasa menggunakannya. Sebagian orang merasa istilah ini membantu menjaga komunikasi profesional tanpa harus terdengar kaku, sementara yang lain bertanya-tanya, “Mengapa harus berbicara seribet ini?”

Bagaimana contoh “bahasa korporat”?

“Bahasa korporat” ala pekerja urban muda hadir dalam berbagai variasi, tetapi ada beberapa kata dan istilah yang paling sering digunakan. Beberapa di antaranya terdengar familiar karena merupakan serapan dari bahasa Inggris atau bahkan bahasa daerah, seperti punten (sering ditulis “pun10” – maaf) hanupis (hatur nuhun pisan – maaf sekali), yang biasa digunakan untuk meminta maaf dan mengekspresikan rasa sungkan.

Ungkapan “huhu” khas suara orang menangis juga sering digunakan untuk menetralisir situasi yang dianggap kurang menyenangkan, misalnya ketika menagih hasil pekerjaan dari rekan kerja yang dibutuhkan sesegera mungkin. Beberapa istilah lain yang umum antara lain seperti ini.

  • “Izin jump in. Ingin menyampaikan pendapat atau menambahkan sesuatu dalam diskusi.
  • “FU (follow-up)”. Menanyakan perkembangan tugas atau proyek.
  • Get back. Akan memberikan kabar atau update kembali nanti.
  • “Sundul”. Mengingatkan kembali agar pesan atau tugas tidak terlewat.
  • Escalate. Meneruskan masalah ke pihak yang lebih berwenang.

Ketika ingin mengemukakan ide lain, pekerja muda biasa menggunakan kalimat seperti, Izin jump in, aku punya POV lain…. Aku izin adjust formatnya, ya. Kalimat ini kurang lebih berarti, “Saya ingin menambahkan sudut pandang berbeda. Saya izin mengubah formatnya sedikit.”

Ketika seseorang menanyakan perkembangan pekerjaan, kalimat seperti, Izin follow up, Kak, konten untuk minggu ini sudah ada preview-nya belum? As per our last discussion, seharusnya hari ini sudah ada, nih, huhu,” kerap muncul dalam grup obrolan kantor.  Artinya, “Saya ingin menanyakan perkembangan tugas ini, sudah sampai mana? Berdasarkan diskusi terakhir, seharusnya hari ini sudah ada.”

Kala pekerjaan belum selesai, kalimat “Hanupis, Kak, saat ini masih on progress, nanti siang aku izin get back ke Kakak, ya,” kerap jadi senjata. Kalimat ini bermakna, “Mohon maaf sekali, pekerjaan ini masih dalam proses, nanti siang saya kabari lagi.”

Mengapa Bisa Populer?

Di dunia kerja, gaya komunikasi yang lebih formal sering digunakan untuk menjaga kesopanan. Beberapa kalimat yang seharusnya bisa disampaikan dengan singkat terkadang menjadi lebih panjang demi berbasa-basi. Alih-alih langsung menolak atau menyampaikan sesuatu secara lugas, pekerja cenderung menggunakan bahasa yang lebih halus. Inilah yang membuat ungkapan seperti “izin jump in” atau “minta FU” menjadi kebiasaan.

Banyak yang menyebut fenomena ini sebagai “bahasa korporat Jaksel” karena penggunaannya kerap mengandung bahasa Inggris, mirip dengan tren bahasa gaul Jaksel yang juga sempat viral beberapa tahun lalu. Dengan nada bicara dan susunan kalimatnya yang khas, gaya bahasa ini juga menjadi semacam “kode” antarpekerja muda. 

Jika diperhatikan, bahasa korporat begitu melekat dalam keseharian pekerja muda karena adanya pengalaman yang sama di lingkungan kerja. Pola komunikasi ini mencerminkan kebiasaan dan tantangan yang mereka hadapi. Tak heran, ketika bahasa korporat dijadikan bahan guyonan di media sosial, banyak orang merasa relate dan terhibur. 

Bermanfaat atau malah bikin ribet?

Di satu sisi, “bahasa korporat” bisa menyederhanakan konsep yang kompleks. Beberapa istilah, seperti “escalate” dan “get back”, dapat merangkum ide atau proses kerja yang panjang menjadi lebih ringkas dan efisien. Jika semua orang yang kita ajak berdiskusi sudah sama-sama paham dan nyaman dengan gaya bahasa ini, tentu bahasa ini bisa mempermudah kelancaran diskusi.

“Bahasa korporat” juga dinilai mampu membuat apa yang disampaikan terdengar lebih tidak kaku, tetapi tetap sopan dan profesional. Namun, jika digunakan berlebihan, gaya bahasa ini justru bisa membingungkan atau terasa tidak efisien. Beberapa istilah terlalu sering digunakan hingga kehilangan maknanya, sementara jargon tertentu bisa membuat komunikasi terasa bertele-tele.

Tren ini mungkin viral di media sosial sebagai bahan guyonan. Namun, pada akhirnya, bahasa ini tetap bertahan sebagai bagian dari interaksi profesional di dunia kerja. Yang terpenting, perusahaan dan karyawannya perlu menemukan keseimbangan antara penggunaan bahasa yang profesional dengan komunikasi yang tetap jelas, lugas, dan mudah dipahami agar pesan dapat tersampaikan secara efektif.

Baca juga: 4 Tips Adaptasi di Tempat Kerja Baru