Indonesia dipenuhi dengan tradisi menyambut Ramadhan yang kaya akan makna dan keindahan.

Di Indonesia, bulan suci Ramadhan bukan hanya tentang puasa dan ibadah semata, tetapi juga merupakan momen di mana berbagai tradisi budaya khas daerah tumbuh subur.

Dari Sabang sampai Merauke, setiap komunitas memiliki cara unik untuk merayakan dan menghormati bulan Ramadhan dengan cara mereka sendiri. Kami melihat, bahwa tradisi-tradisi ini tidak hanya menjadi bagian penting dari warisan budaya lokal, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, persatuan, dan keragaman yang memperkaya kehidupan beragama di Indonesia.

Tradisi menyambut ramadhan khas Indonesia

Kami mencari tahu dan ternyata menemukan bahwa ada beberapa tradisi Ramadhan yang jarang terdengar namun memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Dari meugang di Aceh hingga padusan di Jawa Tengah.

Setiap tradisi punya cerita uniknya yang menghubungkan masyarakat dengan sejarah dan spiritualitas masyarakat. Dalam keberagaman ini, kami melihat betapa kaya dan beragamnya budaya Indonesia serta bagaimana masyarakat setempat memelihara dan mewariskan tradisi-tradisi ini dari generasi ke generasi.

Kami merangkum sedikit cerita dari beberapa tradisi unik menyambut Ramadhan yang mungkin hanya ada di Indonesia

1. Megengan (Surabaya, Jawa Timur)

tradisi menyambut ramadhan apem
Apem simbol dari megengan

Masyarakat Surabaya pastinya sudah sangat familiar dengan tradisi megengan. Tradisi ini, biasanya diadakan beberapa hari menjelang atau pada awal Ramadhan.

Megengan dianggap masyarakat sebagai sebuah upacara sebagai sarana menyampaikan permintaan maaf satu sama lain, sesuatu yang umumnya dilakukan setelah berakhirnya Ramadhan.

Penduduk tetangga biasanya saling memberikan kue apem satu sama lain. Kata ‘apem’ diambil dari bahasa Arab ‘afuwwun’ yang berarti ampunan.  Makna simbolisnya adalah sebagai permohonan maaf kepada tetangga. Dalam tradisi Jawa, apem merupakan simbol pengampunan atau permohonan ampun dari berbagai kesalahan. Selain itu, penawaran kue apem juga dibarengi jajanan lain seperti lemper, donat, dan kue lembaran.

2. Meugang (Aceh)

Berakar pada abad ke-17 saat Sultan Iskandar Muda berkuasa atas seluruh provinsi yang kini dikenal sebagai Aceh, tradisi meugang atau makmeugang sering diadakan selama momen-momen Islami besar, termasuk Ramadhan.

Tradisi meugang umumnya terdiri dari pemotongan berbagai jenis hewan ternak seperti kambing, sapi, kerbau, ayam, dan angsa. Makanan ini kemudian akan dimasak dan dikonsumsi bersama-sama warga.

Tradisi ini melambangkan arti dan pentingnya berbagi satu sama lain.

Tradisi ini lebih lanjut melambangkan arti dan pentingnya berbagi satu sama lain — khususnya, berbagi makanan antara yang lebih beruntung dan yang kurang beruntung. Dipercaya bahwa meugang berakar pada kepercayaan Sultan Iskandar Muda bahwa, sebagai seorang sultan, dia juga harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya tanpa membedakan status ekonomi mereka.

3. Ziarah Kubro (Palembang, Sumatera Selatan)

Bagi masyarakat Palembang dan sekitarnya, Ramadhan tidak bisa dimulai tanpa menghormati yang sudah meninggal terlebih dahulu.

Dalam tradisi yang dikenal sebagai ziarah kubro, penduduk setempat akan memulai Ramadhan mereka dengan melakukan ziarah ke pemakaman yang merupakan milik beberapa tokoh Islam paling berpengaruh di sana.

Salah satu tujuan ziarah kubro yang wajib dikunjungi adalah makam para pendiri Kesultanan Palembang Darussalam.

Kesultanan tersebut pertama kali dirintis pada abad ke-17, yang juga memicu penyebaran ajaran Islam di masyarakat yang kini dikenal sebagai Palembang. Kabarnya, keturunan langsung dari kesultanan ini masih hidup hingga hari ini.

Baca juga : 5 Tradisi Masyarakat Indonesia Menjelang Lebaran

4. Padusan (Boyolali, Jawa Tengah)

Di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, penting untuk memulai Ramadhan dengan melakukan tradisi lokal yang dikenal sebagai padusan. Tradisi ini biasanya dipimpin oleh kepala kabupaten dan dianggap sebagai aktivitas yang diizinkan oleh pemerintah.

Dalam melakukan tradisi ini, masyarakat lokal akan mandi di sumber air alami di seluruh kabupaten yang diyakini suci secara religius, seperti Umbul Temanten, Umbul Duda, dan Umbul Ngabean. Kata ‘umbul’ dalam bahasa Jawa dapat diterjemahkan secara kasar dalam bahasa Inggris sebagai ‘sumur’.

Dengan mandi di sumber air suci tersebut, masyarakat percaya bahwa mereka bisa keluar dari sana bersih dan suci untuk Ramadhan. Tradisi ini juga biasanya diikuti dengan hiburan dangdut dan pesta lokal.

5. Megibung (Karangasem, Bali)

tradisi Megibung
Megibung

Meskipun sebagian besar penduduk asli Bali adalah penganut agama Hindu, namun ada juga mereka yang memeluk Islam. Kaum Muslim Bali banyak berada di Karangasem, Bali.

Mereka memiliki tradisi menjelang Ramadhan, yang disebut megibung. Pada dasarnya, tradisi megibung adalah derivasi dari sebuah pesta lokal, di mana sejumlah besar nasi putih ditempatkan dalam wadah yang disebut gibungan.

Ada serangkaian perilaku etis yang harus diikuti oleh masyarakat selama tradisi ini berlangsung, yaitu peserta harus duduk dalam lingkaran dan posisi bersila.  Mereka wajib mencuci tangan sebelum makan. Perilaku mereka akan dianggap tidak pantas jika menjatuhkan nasi atau remah dari bibir mereka selama pesta dan tidak ada peserta yang boleh meninggalkan lingkaran sampai setiap orang telah selesai makan. Megibung diyakini oleh masyarakat sebagai simbol persatuan dan kesetaraan agama.

6. Malamang (Minangkabau, Sumatera Barat)

Tradisi Malamang
Malamang

Berbeda lagi dengan masyarakat Minangkabau yang punya tradisi malamang. Saat melakukan tradisi ini, penduduk setempat akan berkumpul sebelum atau setelah Ramadhan untuk memasak hidangan lokal yang disebut lamang, sebuah hidangan dari beras ketan yang disajikan dalam wadah bambu.

Lamang dimasak di atas perapian selama sekitar enam jam. Beras ketan juga bisa dicampur dengan bahan lain, seperti pisang, kunyit, gula merah, dan jagung.

Di beberapa kabupaten di Minangkabau, lamang disiapkan oleh keluarga perempuan yang sudah menikah karena kemudian menjadi hadiah untuk mertuanya.

Masyarakat percaya bahwa hidangan lamang dan tradisi yang diikuti setelahnya pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh Islam bernama Syekh Burhanuddin Ulakan pada pertengahan abad ke-17 saat dia mengunjungi Minangkabau untuk pertama kalinya.

Baca juga

6. Pacu Jalur (Kuantan Singingi, Riau)

tradisi menyambut ramadhan Pacu Jalur
Pacu Jalur

Pacu Jalur merupakan sebuah perlombaan perahu tradisional dan telah menjadi tradisi budaya, bukan lagi perayaan lokal yang meriah. Tradisi yang sudah ada sejak abad ke-17 ini memang awalnya untuk menyambut Ramadhan. Tradisi ini diadakan di Sungai Kuantan. Kata “pacu” berarti lomba dan “jalur” artinya perahu.

Pada saat itu ketika belum ada transportasi darat, penduduk setempat biasa mengandalkan transportasi berbasis sungai untuk mengunjungi desa-desa terdekat. Seiring waktu, sebuah perlombaan perahu di antara penduduk lokal berkembang, di mana perahu akan dihias dengan aksesori seperti selendang, gulang-gulang, dan lambai-lambai.

Satu perahu bisa berisi 50-60 peserta, yang disebut sebagai “anak pacu” yang berarti “anak-anak lomba” alias peserta lomba. Seorang penari, biasanya yang termuda di antara peserta pada setiap ketukan, akan berdiri di depan perahu dan menari sementara peserta lainnya akan mendayung perahu menuju garis finish. Selama masa penjajahan Belanda, pacu jalur sering diadakan untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina setiap tanggal 31 Agustus.

Baca juga : Melihat Uniknya Tradisi Hari Raya Idul Fitri di Berbagai Negara

7. Mattunu Solong (Polewali Mandar, Sulawesi Barat)

Penduduk asli di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, lebih suka memulai Ramadhan dengan membawa tradisi yang disebut mattunu solong, sebuah tradisi yang juga telah diwariskan dalam keluarga dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Menyambut awal Ramadhan, penduduk setempat akan menyalakan lentera di berbagai tempat di kediaman mereka masing-masing, seperti gerbang, serambi, di bawah tangga, dan bahkan dapur.

Lentera, juga dikenal secara lokal sebagai sulong, juga akan diletakkan di pinggiran jalan, sehingga seluruh lingkungan terlihat menyala terang setelah matahari terbenam.

Penduduk percaya bahwa mattunu solong bisa membawa cahaya bagi umat manusia di tengah kegelapan dosa mereka. Penduduk juga akan membuat sulong sendiri; berbagai lentera terdiri dari buah kemiri yang dibungkus kapas.