Seni adalah medium untuk merefleksikan perasaan dan emosi. Ini diakui Toton Januar, perancang busana Tanah Air yang prestasinya telah merebut apresiasi di panggung internasional.

“Saya selalu percaya fashion dan karya seni itu merupakan suatu reaksi atas apa yang terjadi. Banyak koleksi yang tercetus karena emosi dan pandangan saya saat itu. Kemudian saya eksplor dan satukan lagi dengan unsur budaya dan kerajinan Indonesia, untuk menjadi sebuah karya yang mewakili perasaan,” cerita Toton yang melihat dirinya sebagai desainer yang instingtif, beberapa waktu lalu.

Desainer berusia 39 tahun itu telah menemukan kecintaannya terhadap dunia mode sejak kecil. Dibesarkan oleh ibu yang pandai menjahit baju, Toton menikmati betul kehidupan masa kecil hingga remaja di kota Makassar, Sulawesi Selatan.

“Kala itu, melihat ibu bisa mewujudkan selembar kain menjadi busana adalah pengalaman yang mencuri minat saya. Akan tetapi sesuai tamat SMA, saya diarahkan mengambil jurusan kuliah yang lebih tepat, yaitu teknik sipil,” kenangnya.

Walau sempat mencicipi jurusan itu di Universitas Hasanuddin, Toton merasa tidak klop dengan dunia teknik. Lantas, dengan meminta izin ibunya, Toton merantau ke Jakarta untuk mengadu peruntungan sekaligus berjanji untuk melanjutkan kuliah.

Setibanya di Ibu Kota, Toton menggeluti beberapa pekerjaan untuk menambah uang saku sembari belajar di jurusan Penyiaran Universitas Indonesia. Dia sempat menjadi anggota boy band, penyiar radio, dan model. Namun, semangatnya untuk mendalami profesi perancang busana terus menggebu. Usai menamatkan studi di UI, Toton mendalami pendidikan formal fashion di Parsons School of Design, New York, AS.

Tiga tahun di New York, wawasan Toton kian terbuka. Ketika menceritakan tempat asalnya, Indonesia, kepada teman-teman dari banyak negara, ia mendapat apresiasi dan ini membuat Toton lebih merefleksikan diri.

“Di situlah saya berpikir kenapa harus lihat keluar terus, kenapa tidak lihat ke dalam. Untuk itu, saya memutuskan label saya kelak mengambil inspirasi dan kekayaan budaya Indonesia, menjadi sesuatu yang baru saat direpresentasikan ke dunia luar, agar dapat dimasukkan di kehidupan sehari-hari,” ujarnya.

Sekembalinya ke Tanah Air, Toton menemukan kekayaan budaya dan seni Indonesia sebagai inspirasi yang tak akan habis digali. “Tak hanya dari kekayaan tekstil dan seni kerajinan, tapi seni tari dan musik, bahkan cara hidup sehari-hari dapat menjadi inspirasi untuk menciptakan koleksi.”

Perjalanan karier Toton acap kali bersinggungan dengan perasaan dan emosi. Termasuk ketika dia memutuskan membuat label sendiri bertajuk “Toton” pada 2012. Ini salah satunya dilatari oleh peristiwa meninggalnya ibu tercinta.

Meski sangat sedih, Toton berusaha memungut hikmah bahwa hidup yang singkat di dunia ini harus diisi dengan perbuatan nyata dan berani bermimpi. Dia pun memberanikan diri untuk memperkenalkan labelnya ke pasar internasional. Dia mengikuti ajang trade show dan presentasi di Blueprint Trade Show, Singapura, dengan membawa koleksi perdana.

“Tak dinyana, sambutan positif dari buyers mancanegara memberi semangat waktu itu dan membuat semakin yakin dengan keputusan saya,” kisahnya.

Amat personal

Selama lima tahun terakhir berkarya, Toton melihat karya-karyanya tercipta amat personal. Misalnya saja ketika membuat koleksi Fall Winter 2014 yang terinspirasi dari memori masa kecil dan kenangan terhadap sang ibu.

“Koleksi itu tercipta sebagai cara saya untuk deal with my lost. Jujur, kehilangan ibu terasa amat berkepanjangan, karena selama itu saya hanya tahu dan hidup dengan beliau. Maka, koleksi kala itu terinspirasi dari fragmen masa kecil, corak kain-kain Bugis, dan bunga anggrek yang merupakan kesukaan ibu. Saya terjemahkan pecahan memori tentang ibu ke dalam koleksi tersebut. Awalnya sedikit abstrak, mungkin sekilas tidak ada kaitannya, setelah dipadu padan jadi sesuatu yang masuk akal,” ungkapnya.

Keuletan dalam menciptakan karya-karya impresif membuahkan beragam apresiasi di mancanegara. Kini, Toton menjadi salah satu desainer muda Indonesia yang berhasil memikat salah satu kiblat fashion dunia, Paris. Ia acap terpilih untuk memamerkan koleksinya di sana.

“Di Paris, kami mendapat respons bagus sehingga setiap season berkesempatan untuk memboyong label Toton untuk dipamerkan. Ini menjadi bagian dari peneguhan label Toton sebagai merek woman ready to wear yang siap menampilkan karya dan bekerja sama dengan pangsa pasar internasional.”

Dalam perhelatan Jakarta Fashion Week (JFW) 2018 bertajuk “Dewi Fashion Knights” pada Oktober lalu, koleksi Toton merupakan reaksi dari konsep gerakan modernism di bidang seni, saat keberadaan dekorasi dianggap tidak perlu jika tidak memiliki fungsi. Maka, tercetuslah ide membuat koleksi dari limbah bahan baku di studio, ditambah pakaian bekas pakai yang didekonstruksi dan rekonstruksi kembali. Ini sebagai tanggapan atas keadaan industri fashion yang terus menghasilkan limbah yang banyak.

Foto-foto Iklan Kompas/E. Siagian dan Femina Group

Koleksi Toton tersebut mengeksplorasi ragam hias yang dipakai. Sepintas seolah tak mempunyai fungsi, tapi bila diamati lebih saksama, ini merupakan cara Toton mengomunikasikan konsep dan pesannya. Lewat komposisi yang tidak beraturan dan berbeda pasang (bahasa Jawa: selan-selen), koleksi ini menggambarkan keadaan yang tidak seimbang, kekacauan, dan ketidakadilan.

Toton menitip pesan untuk generasi muda Tanah Air, agar terus berkarya dan mengeksplorasi kreativitas di bidang apapun, dan berusaha untuk menghasilkan karya yang autentik. “Jangan enggan untuk belajar, melihat ke belakang dan mempelajari yang telah diciptakan dan dibuat, serta terus bekerja keras menghasilkan sesuatu yang memiliki unsur kebaruan. Di zaman kreativitas telah diolah dan dikembangkan sedemikian rupa, sangat penting untuk menghasilkan ide yang autentik,” pungkasnya.

Artikel ini terbit di Harian Kompas 22 November 2017