Di antara riuh komposisi musik yang memadukan ragam bunyi alat musik, ada harmoni nada yang meski terdengar lirih, tetapi liuknya memberi nyawa sebuah simfoni. Suling atau seruling, menyelinap melalui indera pendengaran dan mengetuk jiwa.
Batagak, Bukittinggi, Sumatera Barat, medio 1990-an. Dua ekor kerbau berdiri saling berhadapan dengan mata ditutup. Alunan musik khas Minang yang rancak menambah ingar suasana tarung kerbau yang biasa dilakukan dua kali dalam setahun itu. Tiba saatnya untuk dimulai, penutup mata kerbau dibuka. Namun, kedua kerbau itu hanya berdiri saling berhadapan, tanpa bereaksi.
Tak lama terdengar bunyi serunai ditiup, kerbau pun mulai mengeluarkan suara. Seiring alunan musik rancak berbunyi, kedua kerbau ini saling bertarung. Alih-alih memperhatikan pertarungan, perhatian Donny Angkiry yang saat itu masih duduk di bangku SMP malah tertuju pada para pemain musik yang sepanjang pertarungan tak berhenti bermain. Bahkan, sang peniup serunai duduk bersila tetapi tidak menapak di permukaan tanah. Musisi berhenti bermain, kerbau ikut berhenti bergerak.
Saat itu, Donny baru memahami bahwa sebuah alat musik tiup tak hanya menghasilkan bunyi. Resonansi serunai mampu memengaruhi perilaku kerbau. Pertunjukan adu kerbau ini membuatnya jatuh cinta pada serunai, yang menggiringnya bergelut dalam dunia alat musik tiup selama 19 tahun terakhir.
“Alat tiup menghasilkan nada, memberi kedamaian, menenangkan seolah sedang mendengarkan desiran ombak, dan bercerita,” tutur Donny Angkiry pada Jumat (24/3).
Karakter budaya
Serunai, alat musik tiup tradisional Minangkabau. Terbuat dari bambu, bagian ujung alat musik ini menyerupai corong yang terbuat dari tanduk kerbau, fungsinya untuk meningkatkan volume suara serunai. Bukan hanya Sumatera Barat, alat musik tiup melodius semacam ini juga bisa ditemui mulai dari ujung Indonesia barat hingga di wilayah Indonesia Timur.
Alat musik tiup, dalam hal ini seruling, biasanya dibuat dari bahan bambu, yang di Indonesia sebagian besar merupakan suling bujur yang menggunakan tangga nada pentatonik. Bukan cuma namanya yang berbeda, cara meniupkannya pun berbeda. Ada pakem dan karakter tersendiri yang menyertai pola tiup dan notasi nada setiap suling. Perbedaan ini dipengaruhi lingkungan sosial dan budaya dari tempat suling berasal.
“Kita bisa meniup semua jenis suling, tetapi masalahnya (dalam hal ini) bukan sebatas meniup. Tetapi mengatur emosi dan pola meniup. Menumbuhkan nyawa, dengan memindahkan rasa dari yang satu ke rasa lainnya, itu yang tidak mudah,” ungkap Donny.
Ia mengambil contoh area pesisir Jawa Timur Indonesia, yang biasanya banyak mendapat pengaruh dari pendatang seperti dari China karena perdagangan, pada akhirnya akan berasimilasi dengan budaya setempat. Asimilasi itu antara lain bisa terdengar lewat nada suling. “Bentuknya mirip dengan suling Sunda, tapi notasinya berbeda. Lebih melengking dengan liukan yang soft, mirip dengan notasi tradisi China,” ujar Donny.
Ia menambahkan, bisa saja memainkan suling Sunda dengan notasi nada khas Bali atau sebaliknya. Namun, bunyi yang dihasilkan tak mampu menyentuh jiwa setiap pendengarnya.
Di Sumatera Barat, selain serunai, juga bisa ditemui alat musik tiup bansi dan saluang, yang menghasilkan nada rendah, dimainkan dengan tempo lambat, dengan nada yang terdengar sendu. “Secara tradisi, saluang dimainkan untuk melepas anak yang akan pergi merantau sehingga itu sebabnya nada yang dilantunkan terdengar sedih,” jelas Donny. Beda dengan Bansi, yang khas daerah pesisir, bunyinya terdengar tinggi dengan liukan lebih rancak.
Pun halnya dengan ragam jenis suling yang bisa ditemui di belahan dunia lain, suling mencerminkan kisah kehidupan masyarakat tempatnya berasal. “Suling dari Irlandia memiliki notasi riang dengan nada tinggi. Temponya juga lebih cepat. Kehidupan masyarakatnya memang kurang lebih begitu. Ketika sedang musim dingin, mereka tidak bisa ke mana-mana ya sudah berpesta terus,” tambah Donny.
Lain halnya dengan native flute yang dimiliki suku Indian. Bentuknya besar, dengan gantungan dreamcatcher di bagian bawahnya. Musiknya pun terdengar sendu dengan alunan lembut bernada rendah. Seolah merefleksikan kehidupan yang terimpit bangsa kulit putih sehingga membuat mereka terus berlari hingga ke dalam hutan dan pegunungan.
Tradisi modern
“Ketika pertama kali main alat tiup ini, sering dapat tanggapan, aduh hari gini main tradisi. Tapi ya saya udah terlanjur seneng. Padahal main (seni) tradisi ini tidak bisa karbitan. Ada proses panjang dengan melakukan observasi, berguru pada orang yang punya ilmu, riset, dan banyak lagi untuk mendapatkan ‘roh’-nya,” terang Donny.
Seiring berjalannya waktu, suling justru mendapatkan tempat tersendiri di tengah riuhnya ragam genre musik yang terus berkembang. Dunia musik, baik dalam negeri maupun mancanegara, kian banyak mengeksplorasi ragam alat musik tradisi sehingga menghasilkan sebuah komposisi yang kaya. Genre musik pop, jazz, reggae, balada, hingga underground music kini menjajal kekayaan khasanah tradisi Indonesia.
Eksplorasi musik akan terus terjadi, menjadikan alat musik tradisi menjadi kini. Membelai telinga dengan liuk melodius, mengajak setiap pendengarnya ikut berkenalan dengan budaya setiap wilayah Indonesia. [ADT]
Artikel ini terbit di edisi cetak Harian Kompas 27 Maret 2017
Foto dan Video : Iklan Kompas/Antonius SP dan Iwan A.