Guangzhou seolah tak mengizinkan pelancongnya pulang tanpa membawa kenang-kenangan, baik dalam wujud memori maupun fisik. Di sudut-sudut kotanya, disiapkan banyak area berbelanja suvenir salah satunya di Beijing Lu, agar kelak di kota asal, orang yang pernah menginjakkan kaki di Guangzhou bisa melihatnya lagi dan teringat pada salah satu kota terbesar di China ini.

Sore itu, Yoga, pemandu wisata yang menemani sejumlah pelancong asal Indonesia, sudah mewanti-wanti. Waktu berbelanja hanya tiga jam. Pada pukul 18.30, rombongan sudah harus berkumpul kembali di titik yang ditentukan untuk kemudian makan malam.

Dari pengalamannya sebagai pemandu, mungkin ia membaca, orang Indonesia yang gemar berbelanja dan getol menawar bisa lupa waktu di pusat perbelanjaan. Setelah mengulang instruksinya beberapa kali, Yoga berkata, “Selamat bersenang-senang di Beijing Lu!”

Foto-foto : Iklan Kompas/Fellycia Nokva Kuaranita

Jangan terkecoh. Kita masih di Guangzhou, sekitar dua ribu kilometer dari Ibu Kota China itu. Hanya namanya Beijing Lu. Lu dalam bahasa China berarti jalan. Jalan ini sudah ada sejak sekitar dua ribu tahun silam, pada masa Dinasti Han. Pada waktu itu, tentu jalan ini belum halus dan dilapisi dengan paving block seperti saat ini.

Yang menarik, kita masih bisa melihat bagaimana rupa asli jalan di daerah ini pada waktu itu. Pada poros Beijing Lu, jalan kuno yang berbatu ini dikonservasi. Letaknya lebih rendah dari permukaan jalan Beijing Lu saat ini. Lapisan kaca tebal transparan di atasnya melindungi jalan ini. Dari situlah pengunjung bisa melihat kontras antara yang lampau dengan yang kini.

Sekarang, jalan sepanjang 440 meter di Beijing Lu dipadati deretan pertokoan, kedai minuman, dan restoran. Di jalan utamanya saja, ada lebih dari 150 toko. Barang-barang yang dijual di sini sangat beragam, mulai dari jam tangan, pakaian, manisan, sampai gantungan kunci. Dari merek bergengsi sampai yang “kawe”.

Setelah beberapa lama berjalan-jalan, Lidya, seorang pengunjung dari Indonesia, memamerkan gantungan kunci berbentuk ikon-ikon kota Guangzhou. Yang membuatnya puas, ia bisa menawar sampai si penjual memberikan harga yang miring. “Saya bisa menawar sampai seperlima harganya!” kata Lidya bersemangat. Ia juga membeli beberapa bungkus camilan untuk kerabatnya di Tanah Air.

Sedikit informasi, beberapa penjual suvenir memang mematok harga terlalu tinggi ketika pertama kali calon pembeli bertanya tentang harga. Akan sangat membantu jika Anda tahu sedikit saja bahasa Mandarin yang digunakan untuk bertransaksi, misalnya kalimat “berapa harganya?” dan kosakata tentang bilangan untuk membuat kesepakatan harga. Biasanya penjual barang mau memberikan harga lebih rendah kepada pembeli yang bisa berbahasa Mandarin.

Selain untuk berburu oleh-oleh, Beijing Lu menjadi tempat yang menyenangkan untuk menikmati sore. Suasana yang hidup, lampion-lampion yang menggantung di pohon-pohon, cahaya warna-warni dari pertokoan, jajanan sepanjang jalan, dan arsitektur khas pada bangunan-bangunannya membuat kita betah berlama-lama di sini. Pantas saja pemandu berkali-kali menekankan untuk tepat waktu. Tiga jam seperti menguap tanpa terasa. [NOV]