Dalam sejarah, perempuan yang berperan penting dan memiliki pengaruh di dunia politik dan militer dapat dihitung dengan jari. Apalagi yang berasal dari negara-negara berkembang di Afrika, boleh jadi tak banyak diketahui. Oleh karena itu, kisah kepahlawanan perempuan yang diangkat The Woman King terasa unik dan menyegarkan.
The Woman King mengikuti kisah Nanisca (Viola Davis), pemimpin kelompok pejuang Agojie dari Dahomey, kerajaan di Afrika Barat, pada abad ke-19.
Agojie merupakan pasukan khusus yang terdiri atas sepenuhnya perempuan. Mereka memiliki aturan tidak boleh berhubungan dengan laki-laki. Mereka tunduk kepada raja dan tinggal dalam lingkungan istana. Dengan keahlian dan keberaniannya, Agojie menjadi pasukan yang ditakuti di seputar Afrika barat.
Dikisahkan, Dahomey terlibat peperangan dengan kerajaan tetangga, Oyo, yang mendapat pengaruh dari negara-negara barat. Oyo misalnya telah menggunakan senjata api, sedangkan kerajaan-kerajaan lain masih menggunakan pedang dan tombak.
Hubungan Dahomey dan Oyo mengalami pasang-surut. Namun, Oyo memiliki pasukan yang jauh lebih besar ketimbang Dahomey.
Hingga suatu kali, pasukan Agojie di bawah pimpinan Nanisca membebaskan sekelompok warga Dahomey yang ditawan oleh kerajaan Oyo. Tawanan itu hendak dijual sebagai budak kepada pendatang kulit putih.
Insiden ini membuat Ghezo (John Boyega), raja Dahomey, menyuruh untuk bersiap diri menghadapi serangan balasan kerajaan Oyo.
Pasukan elite
Dahomey adalah kerajaan yang berdiri sejak abad ke-17 hingga tahun 1904. Kerajaan ini berada di lokasi yang kini menjadi wilayah Republik Benin, negara bekas jajahan Perancis.
Gagasan membuat film ini muncul ketika produser Maria Bello mendengar kisah tentang pejuang Agojie saat berkunjung ke Afrika Barat. Ia lalu memberikan buku tentang para pejuang tersebut kepada produser Cathy Schulman, yang membutuhkan waktu sekitar tujuh bulan untuk benar-benar memahami kisah yang ditulis bahasa Perancis tersebut.
“Saya terkejut ketika mengetahui bahwa ada bagian dari sejarah yang saya belum pernah dengar sebelumnya, dan secara khusus bahwa pernah ada di salah satu bagian planet ini pasukan yang sepenuhnya perempuan mencatatkan sukses besar,” ujar Cathy.
Tidak lama, aktris kelas Oscar, Viola Davis, bergabung. Lalu setelah mendapat kepastian perusahaan yang mau mendanai film ini, skenario pun mulai disusun. Yang mendapat tugas adalah Dana Stevens. Ia langsung tertarik ketika mendengar hendak membuat sebuah kisah nyata yang tidak banyak diketahui, meskipun terjadinya belum terlalu lama.
“Saya tercekat melihat foto-foto dari para pejuang tersebut, juga penggambaran para saksi mata tentang kemampuan mereka,” tutur Stevens. Ia sangat antusias untuk menggarap epik yang mengangkat para perempuan hebat tersebut.
The Woman King memang sepenuhnya berupaya menggambarkan sosok-sosok perempuan pejuang itu, mulai dari kehebatannya di medan pertempuran, keseharian mereka, latihan-latihan yang harus dihadapi, ujian bagi seorang calon Agojie, hingga problematika psikologis yang mereka hadapi—terutama mengingat mereka adalah perempuan yang memiliki kekhasan. Termasuk, bagaimana mereka bisa tergabung dalam Agojie.
Hal tersebut antara lain ditampilkan dari sudut pandang Nawi (Thuso Mbedu), perempuan muda yang berseteru dengan ayahnya sehingga diserahkan kepada istana.
Agojie menjadi pasukan elite yang mendapat tempat khusus di istana raja. Bahkan, berkat keberanian dan kepemimpinan Nanisca, ia kemudian dipercaya menjadi perempuan raja, yang mendapat kedudukan setara dengan raja.
Perbudakan
Isu lain yang mendapat perhatian dalam film ini adalah perbudakan. Salah satu pokok perseteruan Dahomey dengan Oyo karena Dahomey menolak perbudakan. Sedangkan Oyo, yang dekat dengan pendatang dari Eropa, menumpuk kekayaan melalui perdagangan budak.
Dalam film, dikisahkan bagaimana pengembangan minyak kelapa diusulkan kepada raja Dahomey sebagai komoditas untuk mendorong perekonomian kerajaan.
Namun, hal ini menjadi sasaran kritik karena menurut data sejarah, Dahomey menjadi kerajaan besar justru antara lain karena memperdagangkan budak. Tentang hal ini, Davis berkilah bahwa film tersebut memang fiksi, bukan dokumentasi sejarah.
Terlepas dari kritik, bahkan sempat berkembang menjadi ajakan boikot, menarik untuk menggali sisi lain dari sejarah perbudakan. Selama ini perbudakan banyak disorot di tempat hal itu dipraktikkan. Yang dibahas seputar praktiknya serta bagaimana para budak berjuang untuk merebut kembali kebebasannya.
The Woman King justru berkisah sebelum perbudakan terjadi, bagaimana warga Afrika ditangkap oleh sesama mereka, lalu dijual kepada para pedagang kulit putih. Bukan lagi soal rasisme, karena mereka sesama orang kulit hitam, tetapi di tempat yang menjadi sumber perbudakan, yang kalah terpaksa menerima nasib dijual oleh yang menang. Dan, semuanya atas dasar keuntungan.
Ada banyak sisi menarik The Woman King, karena kisah yang diangkat film ini belum banyak terungkap. Dengan akting prima dari para pemeran, terutama Viola Davis dan Thuso Mbedu, film ini menjadi alternatif menarik untuk menghayati kisah kepahlawanan perempuan. Dan, itu berdasarkan kisah nyata, bukan sekadar rekaan.
Review overview
Summary
8The Woman King bertutur tentang kisah kepahlawanan pasukan Agojie yang sepenuhnya perempuan, hingga mendapat tempat setara dengan raja.