Jangan khawatir, semua itu dapat disimak kembali pada The Matrix Resurrections. Namun, edisi keempat franchise The Matrix ini boleh jadi akan disambut mendua, dengan sukacita atau malah menuai cerca. Sebagian penonton yang merupakan penggemar setia The Matrix dapat bernostalgia dengan para karakter dan elemen-elemen khas film ini. Namun sayangnya, tidak ada kisah baru yang terlalu menarik untuk disimak.
Kembalinya yang satu
The Matrix pada masanya merupakan salah satu franchise film fiksi ilmiah yang paling populer. Ketika pertama kali keluar pada 1999, bukan hanya sosok Neo (Keanu Reeves), Trinity (Carrie-Anne Moss), dan Morpheus (Laurence Fishburne) yang menjadi fenomenal dan ikonis dengan kostum dan kacamata serba hitam. Adegan laga yang begitu cepat, bahkan lebih cepat dari peluru, merupakan hal baru yang menjadi “trade mark” film ini. Ceritanya pun sangat menantang akal, tentang dunia ilusi yang disebut The Matrix.
Dikisahkan bahwa suatu ketika di masa depan, manusia berperang melawan mesin. Setelah manusia kalah, mereka terbuang ke kota bawah tanah Zion. Sementara itu, mesin-mesin memanfaatkan tubuh manusia untuk menghasilkan tenaga biolistrik. Tubuh riil manusia disekap dalam kapsul-kapsul, sedangkan pikiran mereka menyatu dalam dunia buatan yang disebut The Matrix.
Seorang manusia diramalkan akan menjadi “yang satu” (the one) yang akan membebaskan manusia dari perbudakan mesin. Rangkaian cerita dalam trilogi The Matrix berkisar pada sosok Neo, yang dipercaya sebagai yang satu. Namun, pada akhir trilogi, Neo dikisahkan mati.
Dalam kelanjutannya di The Matrix Resurrections, Neo ternyata belum mati. Mengambil setting waktu 20 tahun setelah kejadian pada The Matrix Revolutions (2003), ia kembali hidup sebagai seorang pembuat game yang sukses bernama Thomas Anderson di San Francisco.
Thomas kerap mengalami halusinasi. Pada suatu kesempatan, ia bertemu dengan perempuan bernama Tiffany, yang telah berkeluarga dan memiliki 3 anak. Meski merasa pernah bertemu, mereka tidak tahu di mana. Hingga suatu ketika, Thomas bertemu kembali dengan Morpheus (Yahya Abdul-Mateen II) yang menjelaskan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya selama ini—sama halnya pada film-film terdahulu.
Bukan sekadar nostalgia
Nostalgia barangkali menjadi alasan utama penonton melangkahkan kaki ke bioskop untuk menonton film ini. Kecuali Morpheus yang diperankan pemeran baru, karakter-karakter utama kembali muncul dan diperankan oleh pemeran aslinya.
Tapi, setelah berjarak dua dekade, tentu saja mereka sudah menua. Sosok Neo yang pada trilogi awal tampil klimis, kini gondrong dan brewokan. Sementara itu, meski masih dengan potongan rambut pendek, Trinity jelas jauh lebih tua. Sedangkan Morpheus, kali ini yang hadir adalah sosok mudanya.
Bagi mereka yang baru pertama kali menonton, tidak perlu khawatir. Ada banyak flashback yang menjelaskan tentang berbagai situasi yang diceritakan. Bahkan, ada karakter yang telah muncul pada film terdahulu tetapi tidak terlalu menarik perhatian, kali ini mendapat porsi yang cukup penting. Singkatnya, film ini tetap dapat dinikmati secara terpisah tanpa harus menonton terlebih dahulu film-film sebelumnya.
Di satu sisi, hal itu boleh jadi menguntungkan. Tetapi, di sisi lain, bagi yang sudah sangat paham tentang franchise ini, ceritanya jadi terasa seperti mengulang-ulang. Beberapa kali mungkin menyenangkan, karena seperti diingatkan kembali pada film-film terdahulu. Tetapi, kalau keseringan jadi terasa membosankan.
Pada sejumlah bagian film, adegan terlalu berputar-putar menceritakan halusinasi dan kebingunan Neo. Beberapa di antaranya menarik dan mengundang tawa, karena seakan meledek perusahaan film pembuat The Matrix. Namun, selebihnya terkesan bertele-tele.
Sementara itu, kemunculan karakter baru Bugs (Jessica Henwick) semula cukup memberi harapan akan cerita baru yang menyegarkan. Ia digambarkan sebagai seorang yang percaya pada sosok legendaris Neo, seperti halnya Trinity pada film-film terdahulu. Tapi, pada perkembangannya, perannya malah menjadi sekadar tempelan yang kurang begitu penting.
Secara keseluruhan, terlepas apakah Anda penggemar The Matrix atau bukan, Resurrections tetap merupakan film aksi fiksi ilmiah yang menyenangkan untuk ditonton. Anda dapat menonton film ini di teater terdekat dan pastikan dengan tetap mematuhi protokol kesehatan demi keamanan bersama.
Baca juga:Â Review Film Last Night in Soho
Review overview
Summary
7Kisah peperangan antara manusia dan mesin kembali berlanjut. Neo kini menghadapi tantangan yang jauh lebih sulit dari sebelum-sebelumnya.