Sejak akhir Oktober lalu, bertiupnya angin di Antwerp terasa lebih menggetarkan. Embusannya menggerakkan bilah-bilah bambu pada angklung yang tergantung di pinggir Bonaparte Dock. Menciptakan syahdu. Terdengar asing di latar tempat sebuah dermaga di Eropa, tetapi sekaligus hangat. Seperti sapaan salam jumpa pertama yang datang dari negeri orang.

Suara angklung itu menjadi hiburan kecil yang menjadi bagian sebuah instalasi bambu karya arsitek sekaligus seniman Eko Prawoto. Bale Kambang, begitu Eko memberi tajuk pada karya ini.

Bentuk sapa Indonesia untuk warga Eropa dalam ajang Europalia yang berlangsung September 2017–Januari 2018 di Antwerp, Belgia. Tahun ini, Indonesia memang didaulat sebagai negara tamu (guest country) pada festival kebudayaan terbesar di Eropa itu.

Foto-foto : dokumen Eko Prawoto Architecture Workshop

Bale Kambang disusun di Bonaparte Dock, Museum aan der Stroom (MAS). Instalasi ini memiliki dua bagian, yang di darat dan di air. Seperti diterangkan Eko, bagian yang di air berwujud seperti tanaman air yang mengapung, sementara bagian yang di darat adalah konstruksi vertikal yang memiliki platform, tempat orang bisa duduk di atasnya.

Di sekeliling konstruksi inilah digantungkan banyak angklung bambu yang berbunyi ketika angin bertiup. Bentuk instalasi yang cenderung lebih modular itu, juga material bambu yang tampak rustic sekaligus hangat, memberi kontras di antara bangunan-bangunan modern di Antwerp.

Eko memberi deskripsi yang indah tentang karyanya ini, “Bale Kambang adalah struktur yang menari dan mengapung, yang bentuk organiknya beradaptasi dengan fleksibilitas air. Ini adalah pertunjukan material di dalam air, makhluk yang menari seiring alunan angklung. Bingkisan dari Pertiwi Indonesia untuk kota Antwerp.”

Mengalami Indonesia

Sebagai arsitek dan seniman sekaligus, Eko kerap menggabungkan pendekatan arsitektur dan seni rupa dalam karya-karyanya. Suatu kali, Eko pernah berkata, “Situs tidak pernah terisolasi. Ia punya kaitan dengan masa lalu dan masa depan. Saya selalu melihat arsitektur sebagai nonpermanen.”

Itu pula barangkali yang tebersit di pikirannya ketika tahun lalu panitia Europalia menyodorkan Bonaparte Dock yang menjadi bagian dari Museum aan der Stroom sebagai situs penggarapan karyanya kelak, jika usulan desain instalasi Eko diterima para kurator.

Bonaparte Dock sendiri adalah situs yang bersejarah. Dermaga ini dibangun pada 1803 atas instruksi Napoleon Bonaparte yang bercita-cita menjadikan Antwerp pangkalan perang untuk melawan Inggris. Mulanya tempat itu bernama “Klein Dock” atau dermaga kecil. Setelah kekalahan Napoleon, namanya diubah menjadi Bonaparte Dock dan saat ini digunakan sebagai dermaga museum.

Eko membayangkan struktur bambu yang pas dibangun di latar badan air. “Karena lingkungannya air, saya teringat pada suasana yang mirip itu di tengah air, Bale Kambang atau juga permukiman nelayan atau rumah panggung di pinggir sungai. Ini mungkin bisa merepresentasikan budaya serta pengalaman ruang tentang Indonesia,” tutur Eko.

Eko menjelaskan lebih lanjut, konstruksi seperti tiang pancang ini mengambil referensi dari kampung laut atau kampung nelayan. Biasanya konstruksi dibuat dengan bambu atau kayu. Untuk instalasi ini, Eko ingin menampilkan bambu sebagai bagian dari tradisi Indonesia, yang memiliki akar panjang di masa lalu. Ini juga menjadi sekaligus pengingat untuk menjaga keberlangsungan bambu. Agar pengetahuan yang sudah kita miliki tentang material ini tidak surut atau punah.

Ide awal Eko adalah membuat semacam ruang publik di tengah air sehingga publik bisa mengalami ruang yang yang menggunakan konstruksi bambu sepenuhnya. Sekeping sensasi inderawi tentang budaya Indonesia. Yang membuatnya lebih menarik, orang Eropa begitu asing dengan bambu. “Bahkan ada yang baru pertama kali melihat bambu,” imbuh Eko.

Bale Kambang menunjukkan relevansi yang erat dengan tema “Lalu, Kini”, yang memayungi karya seni rupa ini. Lewat tema ini, Indonesia ingin menunjukkan realita budaya yang ada di negara ini, tentang dinamika, potensi, dan persoalannya. Karya bambu, yang sekarang kian populer lantaran kelangkaan kayu, bicara banyak tentang ini.

“Indonesia bukan sekadar penghasil bahan baku bambu, tetapi terlebih adalah pemilik aset budaya berupa bambu itu, yang berwujud pengetahuan dan keterampilan dalam DNA budaya Indonesia. Dalam konteks diplomasi budaya, saya pikir ini dapat menjadi sebuah jembatan yang baik untuk mengomunikasikan budaya Indonesia. Budaya bambu yang kebanyakan juga dikenal dalam wujudnya yang vernakular atau tradisional. Ini juga sebagai kesempatan untuk mengomunikasikan bambu secara kontemporer,” tutur Eko.

Sampai Januari 2018 nanti, Bale Kambang masih akan terus menari bersama riak air dan bersenandung seturut alunan angin di Antwerp…. [NOV]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 7 Desember 2017