Togar mengisi liburan sekolah dengan berkunjung ke rumah opung, ibu dari ayah Togar yang terletak di pinggiran danau terbesar Indonesia, Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara. Togar ke rumah Opung diantar oleh ayah dan ibunya.
“Opung…” Togar membuka pintu rumah opung.
Dari kamar tengah, muncul opung yang berjalan agak tertatih. Wajah opung heran sekaligus senang, tidak menyangka cucunya akan datang berlibur di kampung.
“Kenapa tidak bilang mau datang? Kalau tahu kalian akan datang, Opung ‘kan bisa masak arsik,” ucap opung.
“Tidak usah repot-repot, Pung. Mamanya Togar sudah mahir kok memasak arsik. Jadi, opung tinggal makan saja nanti,” ujar ayah meminta opung duduk tenang.
“Ya, sudah kalau begitu. Biar ikannya Opung ambil di keramba.” Togar lalu ikut ke belakang rumah dan memegangi opung agar tidak terjatuh saat mengambil ikan di keramba.
Sesampainya di keramba milik opung yang terletak di persis di tepi Danau Toba, Togar terkejut. Keramba-keramba di situ tidak seperti dahulu lagi. Dahulu, keramba opung jumlahnya bisa mencapai lima, bahkan lebih. Sekarang yang tersisa hanya dua. Togar juga baru menyadari, keramba-keramba milik para tetangga opung tampak berkurang jua.
“Kenapa keramba-keramba itu tidak banyak lagi, Pung?” Togar bertanya pada opung yang sibuk memilih ikan mas.
“Keramba telah menangis, Togar.” Kata-kata opung tidak dapat dimengerti Togar. Ia hendak bertanya lagi, tetapi opung melanjutkan, “Banyak yang menyakiti keramba itu. Mereka, para oknum pengunjung yang berwisata telah mencemari air danau. Ikan-ikan banyak yang tidak sanggup hidup pada danau yang semakin kotor. Lambat laun mereka mati. Terpaksa pemilik keramba mengurangi jumlah kerambanya masing-masing agar ikan-ikan yang sedikit dapat bertahan.”
Togar menunduk sedih mendengarnya. Opung dan para tetangganya memanfaatkan air danau di belakang rumah dengan memasang jaring untuk budi daya ikan. Semuanya hidup dari hasil penjualan ikan-ikan tersebut. Jika pencemaran air danau terus terjadi, opung dan pemilik keramba lainnya akan kesulitan.
Togar tiba-tiba mempunyai sebuah ide cemerlang. Sorenya, ia mengundang kedua sepupunya, Sahat dan Manan, untuk membantunya. Mereka bertiga membuat papan-papan pengumuman dari kayu bertuliskan larangan membuang sampah di danau Toba. Bahan untuk papan pengumuman sederhana itu adalah tripleks dan kayu kaso sisa-sisa renovasi rumah opung beberapa waktu lalu.
Esok paginya, Togar bersama Sahat dan Manan lalu memasang beberapa papan larangan membuang sampah di tempat-tempat yang banyak dikunjungi wisatawan di seputaran Danau Toba. Harapan mereka, dengan cara begitu, tak akan ada lagi tangis keramba di Danau Toba.*
Penulis: Geti Oktaria Pulungan
Pendongeng: Paman Gery (Instagram: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita