Tahun ajaran baru selalu terasa semarak. Meski demikian, tahun ini rasanya sungguh berbeda. Bila tahun lalu para murid bertemu muka dengan guru dan kawan-kawan baru di sekolah, kini mereka harus berkenalan dan saling menyapa secara daring (online). Menggunakan ponsel atau laptop.

Kesemarakan kali ini juga berpindah ke jagat maya. Bukan hanya murid yang sibuk menyambut sekolah gaya baru, orangtua pun menjadi bagian dari gempita ini. Orangtua menjadi lebih intens dan detail bertanya kepada guru atau sesama wali murid melalui grup-grup media sosial. Ini lumrah sebab amat mungkin sebagian besar orangtua murid baru pertama kali ini mengenal atau memakai beberapa aplikasi pembelajaran daring.

Murid jenjang sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) yang telah terbiasa menggunakan gawai (gadget), barangkali tak begitu mengalami kendala saat bersekolah secara daring. Berbeda dengan murid yang baru masuk jenjang sekolah dasar (SD) atau baru naik ke kelas 2, yang anak-anak ini masih belum terbiasa mengoperasikan aplikasi-aplikasi untuk berkomunikasi jarak jauh atau menggunakan program-program komputer untuk mengerjakan tugas sekolah.

“Jangankan menggunakan aplikasi, membaca saja anak-anak ini masih terbata-bata, masih harus dibantu,” kata Ibu Nova yang putranya baru masuk SD kelas 1, Selasa (14/7/2020). Ia adalah warga di bilangan Jalan Kaliurang, Yogyakarta.

Kendala berikutnya langsung menyusul, yakni sebagian orangtua tetap harus bekerja pada masa pandemi. Masih mending jika salah satu orangtua bisa bekerja dari rumah, masih bisa nyambi menemani anak-anak mengikuti pembelajaran daring. Namun, bagi orangtua yang semuanya harus ngantor atau bekerja di luar rumah, pembelajaran daring bagi si kecil tentu menjadi sangat menantang.

“Seperti saya ini, saya dan suami tetap harus ke kantor. Dari pagi sampai sore. Mau tak mau, anak kami baru bisa mengikuti pelajaran setelah saya pulang. Saya mencoba mengulangi secara cepat materi yang dikirimkan gurunya. Setelah itu, mengajari anak untuk mengerjakan tugasnya. Pihak sekolah sebenarnya juga cukup memahami situasi ini dengan melebarkan tenggat waktu mengumpulkan tugas hingga pukul 10 malam,” ujar Ibu Nur, warga Banguntapan, Bantul, yang putrinya baru duduk di kelas 2 SD.

Tak cuma itu, tantangan berikutnya datang dalam rupa keterbatasan akses internet, termasuk kebutuhan kuota internet yang makin besar. Meski Yogyakarta termasuk provinsi yang ramai penduduk, bukan berarti jaringan internet bisa diakses secara lancar di semua wilayah. Sebagai contoh, pada Agustus 2019, Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Sleman menyebutkan baru 75 persen wilayah di Sleman yang bisa tercakup jaringan internet.

“Rumah saya termasuk berada di kampung yang ramai. Tapi, untuk provider tertentu, sinyalnya masih lemah. Jadi, anak-anak sering kesulitan untuk belajar tatap muka dengan gurunya menggunakan Zoom. Akhirnya saya membeli simcard baru, tetapi ini terasa lebih boros ya. Terasa boros saat kita mengirim tugas dalam bentuk video atau pas waktu download materi pelajaran. Apalagi anak saya dua, satu naik kelas 3 SD, satunya lagi baru masuk kelas 1 SD,” ungkap Bapak Yoga yang tinggal di Purwomartani, Sleman.

Kebiasaan baru (new normal) yang tengah bergulir saat ini memang meminta sejumlah syarat. Di ranah pendidikan, orangtua dituntut untuk lebih erat dalam bekerja sama dengan pihak sekolah. Orangtua harus memerankan fungsi sebagai guru sebagaimana saat putra-putrinya berada di sekolah. Ini tentu tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa dilakukan.

Setelah bertemu beberapa orangtua murid, Klasika Kompas juga berusaha mewawancarai beberapa guru di Yogyakarta seputar kebiasaan baru ini. Dari obrolan Klasika Kompas dengan guru-guru tersebut, terungkap bahwa kebiasaan baru ini juga sangat menantang kinerja para pendidik. Guru harus berusaha ekstra keras menyiasati cara pembelajaran agar tidak terlalu membebani murid dan orangtua.

Datang ke rumah murid

Wargo Tomo, Guru Kelas 3 SD Kanisius Gayam Yogyakarta, mengungkapkan, bagi sekolah-sekolah swasta, situasi saat ini memberi tekanan lebih besar sebab mereka harus menghidupi dirinya sendiri.

“Saya memaklumi jika ada orangtua murid yang berpikir anaknya sekolah dari rumah, orangtuanya jadi ‘guru’, tapi SPP tetap harus dibayar setiap bulan. Percayalah, kami para guru tetap bekerja serius menyiapkan bahan pembelajaran, membuka komunikasi seluas-luasnya jika ada orangtua murid atau siswa yang hendak bertanya. Saya berusaha agar materi belajar bisa diserap murid dengan cara seefisien mungkin. Apalagi dalam kondisi seperti ini, pasti ada orangtua murid yang terdampak secara ekonomi,” katanya, Jumat (10/7).

Wargo Tomo

Menurut Wargo, pada jenjang sekolah dasar, guru merupakan roh dari pembelajaran. “Murid SD bisa mengerjakan setelah ada tuntunan dari gurunya. Dalam situasi saat ini, mau tak mau ada perubahan. Kami berusaha keras agar tuntunan para guru ini tetap dirasakan para murid. Kami mengusahakan tuntunan-tuntunan sederhana agar orangtua tidak terlalu kerepotan.”

Meski demikan, imbuh Wargo, dalam evaluasi bersama komite kelas, ternyata memang banyak yang tidak maksimal. “Contohnya, untuk menyampaikan bahan pelajaran diperlukan ponsel atau laptop orangtua, sementara kedua perangkat itu harus dibawa kerja juga oleh orangtua dan baru bisa dipakai anak pada sore atau malam hari. Saat sore atau malam hari, si anak dan orangtua pun mungkin sudah sama-sama lelah sehingga bahan pelajaran menjadi kurang tersampaikan secara lengkap.”

Kondisi itu sangat dipahami oleh guru. “Oleh sebab itu, saat raker kemarin di sekolah kami, diputuskan bahwa orangtua akan mendapat tugas untuk dikerjakan murid dan jawabannya untuk panduan orangtua. Jadi, jika murid sudah mengerjakan tugasnya, orangtua bisa mencocokkan jawabannya,” terang Wargo.

Guru tetap hadir di sekolah dan melaksanakan pembelajaran dari dalam kelas secara daring

Ia bersama guru-guru di sekolahnya juga memikirkan latar belakang murid yang berbeda-beda. “Di sekolah kami, ada murid yang orangtuanya berprofesi sebagai driver ojol. Ponsel milik orangtuanya tentu menjadi peralatan bekerja yang penting. Kami tidak mengharuskan murid ini untuk memegang ponsel. Untuk itu, sayalah yang datang ke rumahnya menyampaikan materi belajar.”

Kunjungan ke rumah murid yang memang membutuhkan bimbingan khusus ini sangat berarti. Meski hanya 30 menit, murid-murid ini sangat senang bisa bertemu gurunya. Tentu, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.

“Ada juga murid saya yang sudah mengalami persoalan yang pelik. Orangtuanya bercerai. Ini juga perlu didampingi secara khusus untuk menjaga kondisi kejiwaannya,” imbuh Wargo.

Pada jenjang pendidikan dasar ini, menurut Wargo, kondisinya cukup kompleks. Pengenalan pendidikan karakter, misalnya, yang biasanya dilakukan di sekolah, sekarang mesti dilaksanakan di rumah.

“Pendidikan karakter itu memerlukan pembiasaan. Ini bisa hilang kalau tidak ada pembelajaran tatap muka. Di sekolah kami, karakter ditanamkan melalui senyum, salam, sapa. Sedangkan selama di rumah ini, kami minta murid melakukannya dengan orangtua. Ditambah membiasakan diri untuk bangun pagi, merapikan kamar, berdoa, dan sejenisnya yang sederhana saja,” ujarnya.

Ia berharap agar pemerintah, khususnya pemerintah daerah, memberikan otonomi pada sekolah-sekolah untuk menentukan kriteria ketuntasan minimal (KKM) sendiri selama masa pandemi ini. Alasannya, hasil pembelajaran jarak jauh cenderung tidak maksimal, baik output maupun hasilnya.

“KKM ini menjadi acuan akreditasi. Kalau KKM dari dinas masih tinggi, tentu ini memberatkan,” kata Wargo.

Menjaga optimisme

Di jenjang SMP, tak kalah kompleks. Guru yang membidangi kelas 7, contohnya, harus sangat sabar membimbing murid yang baru saja beranjak dari SD untuk belajar secara daring. Murid di kelas 7 ini masih banyak yang belum terbiasa menggunakan aplikasi belajar jarak jauh.

Anindyasari.

Guru Bahasa Inggris SMP Pangudi Luhur 1 Yogyakarta, Anindyasari, berbagi kisah tentang kesulitan yang paling ia rasakan saat mempersiapkan tahun ajaran baru pada masa wabah ini.

“Ada beberapa kendala. Pertama, murid di kelas 7 hampir seluruhnya belum bisa menggunakan aplikasi belajar jarak jauh. Mereka baru saja selesai SD. Jadi, kita mesti sangat sabar, ya. Kedua, kami, guru di sini harus menemukan aplikasi dan teknologi yang tepat untuk pembelajaran. Murid sekolah kami kemampuan ekonominya beragam. Sekolah membuat rambu-rambu agar tidak terlalu sering telekonferensi sebab ini akan memberatkan orangtua,” ungkapnya.

Guru pun, imbuh Anindyasari, harus berinisiatif. Misalnya, menggunakan Whatsapp (WA) yang dinilai lebih murah. Namun, ini pun memiliki keterbatasan, yakni jumlah peserta yang bisa bergabung. Oleh sebab itu, Anindyasari kemudian membagi kelas yang diampunya menjadi beberapa kelompok siswa untuk kemudian secara bergantian berkomunikasi menggunakan WA.

“Guru-guru ini tetap datang di sekolah. Bekerja seperti biasa dengan menerapkan protokol kesehatan. Kami pernah mengalami hampir semua guru yang mengajar menggunakan Zoom pada saat bersamaan, pakai wi-fi sekolah. Akibatnya, internet di sekolah drop, pembelajaran pun menjadi terganggu,” ujar Anindyasari.

Pada kesempatan yang lain, lanjutnya, orangtua murid sempat mengeluh kenapa terkesan guru hanya memberi tugas untuk murid tanpa mengajar. Lantas ia pun mencoba melakukan tatap muka secara daring untuk menyampaikan materi.

“Orangtua kemudian merasakan bahwa jika guru sering mengadakan pengajaran secara tatap muka online, kuota internetnya menjadi boros. Akhirnya, baik guru maupun orangtua, mencapai pemahaman yang sama bahwa tatap muka online tidak perlu terlalu sering. Sebab, guru pun saat menyampaikan tugas untuk siswa sebenarnya juga memberikan panduan, misalnya melalui WA,” jelasnya.

Bagi guru, kata Anindyasari, saat ini menjaga semangat murid agar tetap optimistis jauh lebih penting. Sebab, siapapun tak menginginkan situasi seperti sekarang, yang mengubah keadaan dengan begitu cepat.

“Di sekolah, saya adalah guru. Di rumah, saya adalah orangtua yang anak-anak saya juga harus belajar jarak jauh. Jadi, saya sangat memahami kesulitan yang dialami orangtua, murid, dan guru itu sendiri. Karena itu, menjaga murid agar tetap optimistis menjadi prioritas saat ini. Caranya, saya mengurangi idealisme saya sebagai guru. Kita harus menjaga murid tetap semangat, tetap gembira. Setiap hari, saya berusaha menyapa anak-anak perwalian saya melalui grup medsos, sekadar menanyakan kabar mereka,” kisahnya.

Usaha para murid

Sebagai Kota Pelajar, Yogyakarta masih menjadi magnet kuat bagi peserta didik dari seluruh sudut Nusantara. Amat banyak pelajar yang rela pergi jauh dari kampung halamannya untuk menyesap pendidikan di Yogya.

Pada masa pandemi ini, memahami kesulitan murid akan membuat kita merasa takjub. Sebab, banyak murid dari luar Jawa yang terpaksa meninggalkan Yogya untuk kembali bersama keluarganya. Namun, dari kejauhan, murid-murid ini tetap berusaha berkomunikasi dengan guru-gurunya. Bahkan, dengan usaha yang membuat geleng-geleng kepala.

Siwi Sridinarti, Guru Bimbingan Konseling (BK) SMA Stella Duce 2 Yogyakarta, menunjukkan ponselnya kepada Klasika Kompas. Dalam layar ponsel itu, ada orangtua murid yang meminta kelonggaran waktu lebih panjang bagi anaknya untuk mengumpulkan tugas pembelajaran jarak jauh.

Siwi Sridinarti.

Alasannya, sang murid tinggal di daerah pedalaman Kecamatan Senggi, Papua. Untuk bisa mendapatkan sinyal internet, sang murid harus meninggalkan rumah sejauh 40 kilometer. Orangtua murid itu memastikan bahwa anaknya tetap akan mengumpulkan tugas-tugas, tetapi tak secepat murid lain yang bisa leluasa mengakses sinyal internet. Ini jelas membutuhkan usaha yang tak main-main.

“Bisa dibayangkan, guru mana yang tak merasa trenyuh melihat usaha muridnya sedemikian rupa. Guru dan sekolah pasti sangat memahami situasi seperti itu dan memberikan kebijakan khusus,” kata Siwi.

Siwi lalu memperlihatkan percakapan dengan orangtua murid lain di layar ponselnya. Masih dari murid yang berasal dari Papua, tepatnya dari Kabupaten Boven Digoel.

Setidaknya ada 2 muridnya dari kelas 10 yang perlu usaha ekstra untuk bisa mengakses sinyal internet. Satu murid harus datang ke kantor Telkom yang jaraknya setara 30 menit perjalanan; dan untuk mengakses sinyal kuat harus membayar Rp 10 ribu per jam. Satu murid yang lain mesti ikut dengan ayahnya ke kantor agar bisa menumpang akses internet.

“Jadi, kemerdekaan akses internet di luar Jawa harus lebih ditingkatkan lagi oleh pemerintah. Dalam situasi seperti ini, amat terasa dampaknya. Apalagi murid sekolah kami 70 persen berasal dari luar Jawa,” ujarnya.

Guru, lanjut Siwi, juga tak semata mengajar. Sebab, sebagai pendidik, guru juga didorong untuk menumbuhkan atmosfer empati di lingkungan sekolah, termasuk dalam kehidupan keseharian murid, dan relasinya dengan orangtua.

Kemauan untuk berempati, saling menguatkan satu sama lain, dan kebiasaan berbela rasa akan menjadi kekuatan penting dalam kondisi saat ini. Ia mencontohkan, meski sekolah tempatnya mengajar berada di tengah kota Yogya, bukan berarti semua muridnya berasal dari keluarga sejahtera.

“Kami memiliki murid yang orangtuanya tidak mampu membeli smartphone. Ponselnya masih tipe lama yang hanya bisa untuk menelpon dan SMS. Namun, saya bersyukur kondisi seperti ini selalu menumbuhkan keinginan untuk saling berbela rasa. Beberapa orangtua murid pun urunan untuk membeli ponsel model baru beserta kuotanya bagi murid yang mengalami kendala tadi,” ujar Siwi.

Guru BK turut memainkan peran signifikan dalam pembelajaran jarak jauh ini. Murid memiliki keluhan serupa, yakni kebosanan tinggal di rumah dalam waktu lama ditambah kerinduan untuk bertemu dengan teman-temannya. Situasi seperti ini biasanya akan memicu gesekan-gesekan antara murid dan orangtuanya. Nah, guru BK bisa membantu wali kelas untuk menemukan solusi setiap keluhan yang disampaikan murid.

“Sebelum korona, saya sering menerima murid untuk mencurahkan segala isi hatinya. Nah, selama pandemi ini, persoalan yang dialami murid sepertinya kian beragam. Ada lho siswi kami yang bermusuhan dengan ibunya sendiri. Ini tentu harus dijembatani, dibicarakan dari hati ke hati agar ada jalan keluarnya meski secara daring,” cerita Siwi.

Sambil memberikan konseling, ia atau wali kelas lainnya, juga akan menyampaikan muatan-muatan seputar pendidikan karakter.

Kantin menjadi salah satu area bagi komunitas suatu sekolah untuk berinteraksi sebelum pandemi.

“Setelah menyapa siswa, mendengarkan keluh kesah mereka, kami kemudian mencoba memeriksa kebiasaannya di rumah selama ini seperti apa. Apakah mereka tetap santun dengan sekitarnya, tetap berdisiplin, tetap menjaga kesopanan dalam berpakaian, dan sebagainya. Misalnya, kami tidak mengizinkan murid kami kutekan atau menyemir rambut, maka ketika tatap muka online kami akan menegur murid yang melanggarnya,” jelasnya.

Oleh sebab itu, ujar Siwi, dia bersama guru-guru di sekolahnya tidak setuju dengan wacana untuk mempermanenkan pembelajaran jarak jauh. Sebab, pendidikan itu bagian relasi manusia dengan lingkungannya, usaha untuk memanusiakan manusia, dan bertatap muka secara langsung adalah salah satu rupa kemanusiaan itu sendiri.

“Kita mengenyam pendidikan itu tidak hanya untuk menguatkan kognitif, ya, tetapi juga untuk menumbuhkan kepekaan kita terhadap orang lain, untuk menghargai setiap perbedaan yang ada di sekitar kita. Saya lebih setuju agar kelak murid dapat datang kembali di sekolah dengan protokol kesehatan yang lebih diperketat. Apalagi bagi guru BK, bertemu langsung dengan murid itu sangat penting untuk menggali perasaan dan pikiran mereka. Juga untuk mengamati gesturnya,” imbuhnya.

Nanti bila pandemi ini telah berlalu, semesta pendidikan kita akan memiliki warisan sangat berharga tentang bagaimana seharusnya kita bersikap agar nyala optimisme tak perlu padam dalam segala kesulitan. Seperti kata pepatah latin “adversis moveri nefas”: dalam setiap halangan janganlah berputus asa.